Mongabay.co.id

Nelayan Gunakan Alat Tangkap Bubu, yang Lebih Mudah dan Ramah Lingkungan

 

Keberadaan alat tangkap bubu sudah mulai hilang seiring perkembangan zaman dan munculnya berbagai alat tangkap modern. Namun, di Desa Kandang Semangkon, Kecamatan Paciran, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur, nelayan justru mempertahankan alat tangkap yang ramah lingkungan itu.

Berbeda dengan tempat-tempat lain yang alat tangkap bubu terbuat dari bambu, di desa yang terletak di pantai utara kabupaten berjuluk kota tahu campur itu, nelayan menggunakan alat tangkap bubu yang bahannya terbuat dari jaring dan besi, bentuknya kotak dengan ukuran panjang 2 meter, sementara lebarnya 1-1,5 meter.

Selain digunakan untuk menangkap ikan kakap merah (Lutjanus campechanus), alat tangkap tersebut juga dipakai untuk menangkap ikan kerapu (Epinephelus sp.), ikan kerapu sunuk (Plectropomus leopardus), ikan baronang (Siganus Sp), dan juga ikan lencam (Lethrinus Sp).

Karjono (65) nelayan setempat mengkisahkan, sebelum menggunakan alat tangkap bubu, dulunya dirinya memakai alat tangkap jenis jaring pukat cincin atau dikenal juga dengan purse seine, yang prinsip kerjanya mengurung atau melingkari gerombolan ikan, targetnya merupakan jenis ikan pelagis atau yang terlihat dipermukaan air, seperti ikan cakalang (Katsuwonus pelamis), ikan kembung (Rastreligger sp.) dan ikan selar (Atule mate), ikan-ikan tersebut merupakan ikan musiman. Bagi Karjono jika hanya mendapatkan ikan musiman itu kurang maksimal, sehingga mengharuskan untuk mengganti jenis alat tangkap lain.

“Kurang lebih sudah 10 tahun menggunakan alat tangkap bubu, kalau orang sini mengenalnya dengan sebutan wuwu,” kata pria yang mengaku sudah 40 tahun merasakan pahit-manis kehidupan di laut ini, Senin (29/11/2021).

baca : Bubu, Alat Tangkap Ikan Tradisional Ramah Lingkungan yang Digunakan Kembali di Flores Timur

 

Seorang nelayan sedang membuat bubu sebagai alat tangkap di Desa Kandang Semangkon, Kecamatan Paciran, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Lebih Mudah

Salah satu kendala yang terjadi saat menangkap ikan dengan alat tangkap purse seine yaitu pada saat ombak laut sedang tinggi, arus laut dan angin yang kencang membuat penangkapan ikan sulit. Sehingga sering juga rugi diperbekalan, dalam bahasa lokal perbekalan merupakan biaya operasional untuk berangkat melaut.

Untuk itu, Mat Rokhim (48), nelayan lainnya mengatakan sekarang ini lebih nyaman menggunakan alat tangkap bubu. Selain lebih mudah dalam pembuatannya. Alat tangkap ini ketika dipasang di laut juga tidak perlu menggunakan umpan.

Bapak tiga anak ini menjelaskan, sebelum alat tangkap bubu dimasukkan ke dalam perairan dengan menggunakan tali, nelayan terlebih melakukan penentuan daerah penangkapan. Penentuan tersebut didasarkan pada tempat yang diperkirakan terdapat banyak ikan demersial, biasanya hal itu ditandai dengan banyaknya terumbu karang.

Begitu sampai di daerah penangkapan, maka dilakukan penurunan pelampung tanda, kemudian dilanjutkan dengan penurunan bubu dan pemberatnya. Setelah posisinya sudah baik maka pemasangan bubu dianggap sudah selesai.

“Bubu dibiarkan selama 2-3 hari, berikutnya baru diangkat. Kalau ikan sudah masuk ya susah keluarnya. Jika terlalu lama dioperasikan kemungkinan ikan yang tertangkap akan mengalami kematian atau luka-luka,” ujarnya.

baca juga : Inilah Bubu Apung, Perangkap Ikan Tanpa Merusak Karang

 

Saat melaut nelayan membawa bubu dengan jumlah 15-20 biji, masing-masing bubu disebar dengan jarak yang berdekatan. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Saat melaut nelayan membawa bubu dengan jumlah 15-20 biji, masing-masing bubu disebar dengan jarak yang berdekatan. Dalam menebar bubu tersebut nelayan menggunakan alat Global Positioning System (GPS). Untuk harga bubu per bijinya antara Rp250-Rp500 ribu, tergantung bahan dan ukurannya.

Mardiono (53), ketua Rukun Nelayan Desa Kadang Semangkon mengatakan ada 400-an nelayan dengan 40 perahu di desa tersebut yang menggunakan alat tangkap bubu. Selain menggunakan alat tangkap bubu, dengan waktu melaut yang bersamaan nelayan setempat juga menggunakan alat tangkap jaring dan pancing.

Pria yang pernah menjabat sebagai Kepala Sekolah SMP Muhammadiyah 28 Lamongan ini menjelaskan, bubu merupakan alat tangkap warisan turun temurun dari nenek moyang dulu. Selain dipercayai sebagai alat tangkap yang ramah lingkungan, melaut dengan menggunakan alat tangkap bubu hasilnya juga tidak kalah dengan alat tangkap cantrang.

“Kalau semua nelayan menggunakan cantrang laut akan semakin hancur. Lha wong sekarang saja sudah banyak yang rusak,” ujarnya saat ditemui di warung kopi di kawasan pelabuhan perikanan rakyat desa setempat.

Untuk itu, nelayan Desa Kandang Semangkon masih bersikukuh mempertahankan bubu sebagai alat tangkap mencari ikan. Hanya ketika di laut bubu yang digunakan nelayan ini seringkali hilang karena terseret alat tangkap cantrang dan mini trol yang masih marak digunakan nelayan tradisional lainnya.

perlu dibaca : Cerita Nelayan Selam di Perbatasan Indonesia-Singapura

 

Nelayan bubu mempersiapkan perbekalan sebelum berangkat melaut. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Sedang Dikaji

Cantrang dan mini trol menurut Peraturan Pemerintah merupakan alat tangkap yang dianggap tidak ramah lingkungan, sehingga keberadaan kedua alat tangkap tersebut seharusnya diganti. Koordinator Satuan Pengawas Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Kabupaten Lamongan, Suryono mengatakan, PSDKP sampai sekarang ini masih terus melakukan sosialisasi rencana pengganti alat tangkap cantrang, yaitu dengan cara dimodifikasi supaya tidak merusak lingkungan.

Setelah dimodifikasi, nama alat tangkap tersebut sudah tidak cantrang lagi, dan alat baru ini sudah dianggap ramah lingkungan. Selain itu, perizinannya juga bisa diurus.

Saat ini alat tangkap jenis cantrang perizinannya sudah tidak bisa. Sehingga, semua alat tangkap jenis cantrang yang ada di Lamongan ini dianggap sudah expired atau mati. Untuk diperbarui izinya, alat ini harus diubah sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku.

Ada beberapa yang harus dimodifikasi, termasuk ukuran jaring diperbesar minimal 2 inchi. Selain itu, tali selambar atau tali yang digunakan untuk menarik itu harus diperpendek, jangan sampai seperti yang sekarang ini digunakan.

“Ada lagi kriteria-kriteria modifikasi lainnya, sehingga alat ini nanti namanya sudah tidak cantrang lagi. Itulah baru nanti bisa diurus perizinannya,” ujar pria asal Banyuwangi tersebut.

 

Selain dipercayai sebagai alat tangkap yang ramah lingkungan, melaut dengan menggunakan alat tangkap bubu hasilnya juga tidak kalah dengan alat tangkap cantrang. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Menurut Suryono, di Lamongan kapal-kapal perikanan perlu dilakukan pengukuran ulang dengan diterbitkan surat ukur. Selain itu juga dokumen kapal. Setelah ada surat ukur kapal, dan dokumen tentang kapal juga terbit. Baru kapal tersebut bisa disebut layak, setelah itu izin penangkapan baru bisa diurus. Karena untuk izin penangkapan itu harus disertai dengan dokumen kapal yang resmi.

“Jadi pada intinya saat ini masih dalam proses penertiban itu. Kalau sudah ditertibkan proses ini, nanti semua kapal yang ada di Lamongan ini suratnya baru semua, dan namanya sudah tidak cantrang lagi. Setelah itu kita bisa menertibkan kapal-kapal yang ada di laut,” katanya.

Sementara ini cantrang masih banyak beroperasi karena masih dalam proses pengurusan dokumen. Sedangkan untuk memodifikasi ini membutuhkan waktu yang lama, dari pengukuran hingga pengurusan dokumen. Selama menunggu proses ini nelayan masih banyak yang melaut.

 

Exit mobile version