Mongabay.co.id

Mereka Bikin Arsitektur Ramah Lingkungan untuk Masyarakat

 

 

 

 

Arsitektur di banyak tempat di Indonesia tak tertata baik. Terkesan asal-asalan. Ketimpangan sosial, salah satu penyebab. Melihat kondisi ini, kalangan arsitek tergerak membantu masyarakat dengan rancangan ramah lingkungan. Mereka merancang bangunan seperti rumah komunitas maupun homestay di desa-desa wisata agar bisa memberikan dampak ekonomi bagi warga. Salah satu arsitek itu adalah Yu Sing, dari Studio Akanoma, Bandung.

Laporan Credit Suisse pada 2016, hanya 1% (2,6 juta jiwa) orang yang menguasai 49% dari total kekayaan nasional. Sekitar 10% orang terkaya (26 juta jiwa) menguasai 77% kekayaan nasional, dan sekitar 100 juta orang termiskin (40%) berebut 1,4% total kekayaan Indonesia.

Dalam akses kepemilikan tanah berdasarkan laporan World Bank pada 2015, sebanyak 0,2% orang terkaya menguasai 74% tanah, 99,8% penduduk hanya memperoleh 26% sisanya.

Melihat berbagai ketimpangan yang dia sebut karena kapitalisme kroni itu, Yu Sing tidak berpangku tangan. Dia turun ke tengah-tengah masyarakat untuk pendampingan arsitektur ramah lingkungan, antara lain pendampingan di sepanjang Sumbu Candi Pawon dan Candi Borobudur, Jawa Tengah, dan Jombang.

Pada 2012, dari kalangan arsitek menggagas upaya pendampingan arsitek bertajuk “Merajut Bambu Seribu Candi” yang diselenggarakan di sepanjang Sumbu Candi Pawon dan Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah. Selain Yu Sing, penggagas gerakan itu adalah alm Galih Widjil Pangarsa, Paulus Prijotomo, Adi Purnomo, dan Josef Prijotomo.

“Ada persamaan perspektif. Kami memandang, di tanah air ini keguyuban kehidupan bersama tampak terancam punah, masyarakat makin egois dan individualis. Dengan menindas yang lebih lemah, yang kuatlah yang akhirnya dapat bertahan,” katanya.

 

Bambu, tanaman yang masih dipandang sebelah mata. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Kehidupan budaya, termasuk arsitektur, tergusur demi kepentingan kapitalisme global. “Sudah barang tentu pihak yang terlemah, alam lingkungan, adalah yang paling menderita.”

Merajut Bambu menggalang upaya perbaikan, sesuai kemampuan, kesanggupan, dan kesempatan yang tersedia. “Betapa kecil pun itu, katanya, akan bermakna besar dalam kebersamaan,” kata Yu Sing, dalam diskusi daring beberapa waktu lalu.

Dalam Merajut Bambu itu juga melibatkan sekitar 300 mahasiswa dan arsitektur muda dari berbagai kampus dan daerah. Mereka secara bergotong royong mengerjakan segala jenis pekerjaan pada semua tahapan mulai pengawetan, penyiapan elemen konstruksi, sampai pemasangan.

Dalam beberapa pendampingan oleh Yu Sing, selalu menggunakan bambu sebagai kostruksi bangunan karena pertumbuhan tanaman ini cepat, mudah, dan ramah lingkungan.

“Bangunan bambu pasti relatif lebih bertahan terhadap gempa … ketika bencana gempa,… kerusakannya lebih kecil dibanding beton yang strukturnya kurang kuat,” kata alumni Institut Teknologi Bandung (ITB) itu.

“Sayangnya … di pemerintah standar bangunan bambu dan kayu masih dianggap belum layak huni.”

Saat pendampingan pembuatan dapur komunitas di Dusun Mendira, Jombang, Jawa Timur, pada 2016, Yu Sing juga menggunakan konstruksi bambu dalam membuat dapur milik sebuah komunitas, Kelompok Perempuan Sumber Karunia Alam.

Komunitas itu terdiri dari para perempuan. Mereka bergerak di bidang pangan dan pertanian. Kelompok perempuan di Dusun Mendira itu menyewa lahan untuk berkebun organik. Mereka memerlukan dapur komunitas sebagai tempat belajar tentang tanaman pangan liar, sayuran organik, membuat resep dan produk makanan.

Lokasi pembangunan dapur bersebelahan dengan Kebun Pangan Liar.

Yu Sing bilang, ingin menunjukkan bagaimana sebuah sistem pangan berdasarkan pada keanekaragaman hayati adalah sistem yang menjamin kedaulatan pangan.

Cara paling efektif melestarikan pangan lokal, katanya, dengan memproduksi, mengkonsumsi, dan memodifikasi. Hasil dari dapur komunitas ini adalah produk-produk pangan lokal Dusun Mendira yang akan dijual dan didistribusikan di perkotaan.

Konsep arsitektur dapur yang dibangun pakai estika dan desain yang memperhatikan lingkungan, gunakan material yang tersedia di lingkungan serta mendukung dalam pemanfaatan limbah dapur sebagai kompos dan penggunaan biogas sebagai sumber energi dapur.

Menurut Yu Sing, pembangunan dapur dikerjakan oleh warga Dusun Mendira yang seumur hidup belum pernah membuat bangunan berstruktur bambu dan tanah. Padahal, di sekitar Dusun Mendira banyak sekali tanaman bambu.

Doa membina masyarakat mengawetkan bambu dengan cara memberinya garam, boraks, boric acid, dimasukkan ke bambu secara vertikal. Bagian dinding diberi tempelan adonan tanah (dicampur beberapa material tertentu) tanpa semen, dicampur dengan diinjak-injak dan ditempelkan ke dinding pakai tangan.

Hal itu sekaligus mengenalkan kembali hubungan potensi alam dengan arsitektur dan budaya supaya masyarakat bisa melestarikan alam, maupun pengetahuan.

 

Gazebo bambu. Bambu jadi bahan yang dinilai ramah lingkungan karena tamabahn bisa tumbuh cepat dan mudah didapat. Foto: M Tamimi/ Mongabay Indonesia

 

Homestay ramah lingkungan

Perhatian Yu Sing juga tertuju pada homestay. Menurut dia, pengembangan pariwisata di Indonesia masih bergantung pada sistem kapitalisme kroni hingga masyarakat sekitar tempat wisata hanya jadi obyek dan buruh wisata. Sedang penghasilan terbesar terakumulasi pada investor.

Dia katakan, berbagai kawasan wisata bisa dikembangkan secara bersama dengan warga lokal sebagai pemilik. Dengan begitu, pertumbuhan ekonomi berputar bagi kesejahteraan rakyat.

Kalaupun ada investor masuk, pola kerjasama lebih adil adalah usaha bersama, lahan tetap milik warga.

Pengembangan homestay, kata Yu Sing, bisa menjadi salah satu penghasilan warga di sekitar tempat wisata. Hanya saja, tanpa desain bagus homestay akan tumbuh berantakan.

Selain merancang homestay pakai bambu, Yu Sing ikut membantu mendesain ulang rumah warga yang jadi homestay hingga pemasukan warga makin besar. Dia lakukan itu di Temanggung, dengan mendesain ulang kamar yang kurang terurus menjadi taman. Ada pula sebuah kamar tidur cukup besar didesain ulang jadi enam kamar kapsul.

“Kita perlu berpikir bagaimana mendampingi masyarakat … walaupun kalah dalam bersaing dengan kapitalisme kroni ini, tapi paling tidak secara ekonomi masyarakat dapat penghasilan lebih besar.”

 

Banjir pasang air laut yang terjadi di pesisir utara Jawa. Kalangan arsitek sudah menemukan konsep bangunan, yang bisa ‘anti’ rob. Foto: A. Asnawi/ Mongabay Indonesia

 

Rumah panggung hidrolis

Selain Yu Sing cs, yang coba usung arsitektur ramah lingkungan, ada juga para peneliti yang usung ompalis (omah panggung hidrolis) atau rumah panggung hidrolis. Ini model rumah adaptif terhadap banjir rob.

Model rumah ini dikembangkan empat peneliti yakni, Etty Endang Listiati, IM. Tri Hesti Mulyani, B. Tyas Susansi, dan Widija Suseno W.

Rumah panggung hidrolis ini dibangun di RW IV, Kelurahan Kemijen, Kecamatan Semarang Timur, sebagai sampel dalam penelitian yang diketuai oleh Etty Endang Listiati itu pada 2017.

Bagian utara Semarang sering terkena banjir rob sejak 1990, per November 2016, sudah tak banjir dengan sistem polder banger (pompanisasi kali banger). Kecuali di RW IV Kelurahan Kemijen, Kecamatan Semarang Timur masih banjir karena drainase buruk.

Ompalis ini salah satu solusi dalam pembuatan rumah di daerah itu karena bisa dinaikkan dan diturunkan dengan empat dongkrak yang diposisikan di setiap sudut lantai, berfungsi menghindari air banjir yang mengalir.

Konstruksi ompalis pada bagian atas (tiang, lantai, konstruksi atap) gunakan bambu, tiang bagian tengah pakai pipa dengan diameter berbeda. Sedangkan pondasi, tiang bagian bawah dan sloof pakai beton bertulang.

Ada lubang pengunci di bagian pipa hingga ketinggian bisa disesuaikan dengan keinginan pemilik.

“Desain rumah panggung dan konstruksi dipilih dari bahan-bahan yang relatif ringan hingga memudahkan saat didongkrak. Ukuran rumah panggung menggunakan modul 3×3,” kata Etty.

Material bambu juga sebagai lantai, plafon, dinding dan ventilasi. Bagian dinding dalam dilapisi kalsiboard, sedangkan plafon diberi aluminium foil agar tidak panas alias sejuk.

Berhubung lantai rumah model ini tinggi, maka air bah yang biasa hampir menenggelamkan rumah warga bisa sedikit teratasi. “Bahkan, bagian bawah rumah yang ada sisa air bah bisa untuk budidaya ikan, tempat mancing,” kata Endang.

 

*****

Foto utama:

Contoh, konsep restoran ramah lingkungan Yu Sing. Foto: dari blog Yu Sing

 

Exit mobile version