Mongabay.co.id

Wisata Cahaya dan Dampaknya Bagi Ekosistem Kebun Raya Bogor

 

 

Program wisata edukasi Glow di Kebun Raya Bogor [KRB] menjadi perdebatan ilmiah sejumlah peneliti dan pegiat konservasi. Banyak yang menyakini keberadaan wisata cahaya berdampak buruk bagi ekosistem KRB. Namun, ada yang berpendapat wisaya cahaya merupakan inovasi agar publik berkunjung ke kebun raya yang sudah berusia dua abad tersebut.

Damayanti Buchori, Profesor Ekologi Serangga IPB, tak menampik masalah ini. Menurut dia, teknologi telah mengubah wajah kehidupan, walau sebagian sudah ada yang kita ketahui dampaknya, dan sebagian belum.

“Pengaruh cahaya buatan yang tidak langsung, yaitu dampak perubahan yang terjadi di KRB terhadap ekosistem kawasan Bogor, dapat menyebabkan gangguan pada ecosystem service seperti kelelawar, lebah, dan satwa lain, terhadap pertanian di sekitar Bogor,” terang  Damayanti dalam webinar Institute For Political Ethics Studies [INPECTUS], Sabtu [27/11/2021].

Menurut Damayanti, semua makhluk hidup butuh keseimbangan. “Siang dan malam memiliki konsekuensi pada kehidupan,” tuturnya.

Salah satu peran penting keseimbangan itu untuk proses kimiawi dalam tanaman yang memerlukan cahaya. Terutama, saat untuk fotosentesis dan memproduksi energi. Sedangkan malam, ketika tidak ada cahaya, saatnya bagi tumbuhan untuk melakukan respirasi, yaitu menguraikan energi untuk growth dan pembungaan.

“Kegelapan sebetulnya sangat penting bagi siklus pertumbuhan tanaman.”

Apabila dipaksakan merubah keseimbangan ini melalui penggunaan cahaya buatan, tentu dapat mengganggu proses biologis makhluk hidup di sekitarnya, baik itu tumbuhan, hewan, maupun manusia sendiri.

“Cahaya buatan dapat mengubah ritme jam biologis [circadian rhythm] suatu makhluk hidup,” tuturnya.

Pada tumbuhan, cahaya buatan menganggu proses pertumbuhan dan aliran fotosentesis, seperti terjadinya kerontokan daun yang tidak wajar. Sementara pada hewan, akan menganggu orientasi dan migrasi pada malam hari.

“Tak menutup peluang gangguan pada manusia. Sebab, cahaya buatan ini menganggu kesehatan seperti menyebabkan penyakit insomnia, depresi, serta gangguan makan.”

Baca: Kebun Raya Bogor dan Wisata Berbasis Ilmiah yang Harus Dipertahankan

 

Semua makhluk hidup butuh keseimbangan dalam hidupnya. Keseimbangan yang harus dijaga agar tidak merusak tatanan ekosistem alam yang sudah ada. Foto: Pixabay/Public Domain/Fietzfotos

 

Bagaimana serangga menangkap cahaya?

Damayanti menuturkan, proses menangkap cahaya pada serangga melalui mata. Namun, panjang gelombang cahaya serangga tidak sama dengan manusia.

“Pada manusia sekitar 400-700 nanometer berupa infra merah, sedangkan serangga sekitar 300-650 nanometer berupa ultra violet.”

Respon serangga terhadap cahaya buatan pun beragam. Ada yang tertarik atau fototaksis positif, sehingga serangga mendatangi sumber cahaya tersebut. Tetapi, ada juga yang menolak atau fototaksis negatif, sehingga menjauh dari sumber cahaya.

“Tentu saja akan mengganggu jam biologis serangga,” jelasnya.

Perubahan jam biologi berakibat pada perubahan perilaku, misalnya pada serangga yang cepat melakukan adaptasi [umum terjadi pada serangga nokturnal]. Malam yang terang membuatnya bertindak seperti siang hari, sehingga diam tak bergerak.

“Padahal malam untuk perilaku terbang dan kawin. Cahaya tentunya mengganggu serangga yang beraktivitas malam hari yang terekspos sinar.”

Tak hanya itu, cahaya buatan juga bisa menjadi racun [ligh toxicy]. Sebab, ketika retina pada mata mejemuk terapapar sinar UV dan radiasi sinar biru menjadi rusak, maka serangga dapat mengalami keracunan.

Baca: Kebun Raya Bogor Harus Dikelola dengan Agenda Ramah Lingkungan

 

Kunang-kunang yang sangat terganggu dengan hadirnya wisata cahaya malam Glow di Kebun Raya Bogor. Foto: Unsplash/Alexander Andrews/Free to use

 

Pengaruh cahaya buatan terhadap serangga penyerbuk

Sejumlah penelitian, kata Damayanti, menunjukkan cahaya buatan berpengaruh negatif terhadap aktivitas serangga penyerbuk nokturnal ke tanaman, yang menurun hingga 62 persen, dibandingkan dengan area gelap dengan pencahayaan alami.

Pembentukan buah juga mengalami penurunan hingga 13 persen, dibandingkan area yang gelap. Hal ini karena kunjungan penyerbuk pada bunga menurun.

Pengaruh negatif pada penyerbuk nokturnal juga mempengaruhi keberadaan penyerbuk diurnal. Hal ini dikarenakan reproduksi tanaman menurun, sehingga penyerbuk diurnal sulit memperoleh  nektar/polen pada tanaman tersebut.

“Penggunaan cahaya buatan berdampak negatif terhadap perilaku, kelimpahan, kekayaan spesies, proses transportasi serbuk sari serta pembentukan fruit set.”

Cahaya buatan juga berpengaruh pada kunang-kunang [Lampyridae], terutama proses intraspesifik/kompetisi antarindividu. Hewan ini memancarkan sinar pada malam untuk saling mengenali dan memberi tanda kawin. Mereka menggunakan panjang gelombang sinar yang berbeda, tergantung spesies.

Sedangkan serangga lain adalah lebah madu raksasa [Aphis dorsata], yang menjadi berbahaya [harmfull]. Serangga ini sering ditemukan di pohon-pohon tinggi, namun tak menutup kemungkinan bersarang di pohon rendah.

Begitu juga pada laba-laba [Tetragnathidae]. Cahaya buatan menyebabkan penurunan populasinya sebanyak 44 persen. Penurunan kekayaan famili serangga aquatik juga terjadi hingga 16 persen dan ukuran tubuh serangga tersebut turun hingga 76 persen. Sementara, ukuran serangga terestrial yang memasuki kawasan perairan meningkat hingga 309 persen.

“Ini menunjukkan, telah terjadi perubahan struktur komunitas serangga dan fungsi ekosistem akibat adanya reciprocal aquatic-terrestrial fluxes of invertebrates.”

 

Kupu-kupu dan katak merupakan satwa liar yang merupakan bagian penting dalam ekosistem lingkungan. Foto: Pixabay/Public Domain/FrankWinkler

 

Beda pendapat

Hal berbeda disampaikan Sukma Surya Kusumah, Plt Kepala Pusat Riset  Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor, Badan Riset dan Inovasi Nasional [BRIN]. Dia menegaskan, program wisata edukasi Glow merupakan inovasi yang menawarkan pengalaman menjelajah KRB di malam hari, sambil menikmati instalasi lampu serta proyeksi visual. Selain itu, wisata cahaya dapat dijadikan penelitian.

Bahkan, penelitian sudah berlangsung sejak September 2021. BRIN secara bertahap melakukan tiga penelitian mengenai perubahan karakteristik hewan dan tumbuhan dari faktor cahaya, polusi udara dan polusi suara.

Menukil Kompas.com, penelitian pertama mengangkat topik Permodelan Spasial Dampak Cahaya Malam Buatan Terhadap Kesehatan Tumbuhan Menggunakan Unmanned Aerial Vehicle dan Pembelajaran Mesin [Studi Kasus Kebun Raya Bogor].

Penelitian ini akan mengidentifikasikan area tumbuhan yang terpapar cahaya malam buatan, baik dari dalam maupun luar kawasan KRB. Riset tersebut menganalisis kandungan  klorofil dan nitrogen pada daun yang terpapar cahaya buatan yang dilakukan setahun, dari Januari hingga Desember 2022. Sebanyak 300 pohon dijadikan sebagai sampel penelitian.

Penelitian kedua, mengangkat tema Analisis Pengaruh Cahaya Malam Buatan/Artificial Light at Night [ALAN] pada Fungsi-fungsi Ekofisiologi Beberapa Jenis Tumbuhan Tropis Kebun Raya Bogor.

Tujuannya, untuk  mengetahui spektrum [panjang gelombang] ALAN yang memiliki pengaruh minimal terhadap fungsi-fungsi ekofisiologi tumbuhan tropis dan intensitas radiasi. Parameter yang diamati, yaitu panjang daun, luas daun, ketebalan daun, warna daun, kerapatan stomata, konduktansi stomata, klorofil total, laju fotosintesis, laju rerspirasi, senyawa metabolit sekunder, dan ekspresi gen terutama ada tiga perlakuan, antara lain tipe cahaya, intensitas, dan durasi.

Penelitian ketiga berupa komparasi keanekaragaman serangga antara zona gelap dan terang, pengaplikasian cahaya Glow, serta jenis polinator yang bermigrasi dan menjadikan Kebun Raya Bogor sebagai tempat bersarang.

“Kami ingin mengetahui seberapa jauh pegaruh keberadaan cahaya Glow terhadap populasi polinator dan seberapa besar pengaruhnya pada proses penyerbukan,” kata Sukma.

 

Sejumlah spesimen satwa yang dapat kita lihat di Museum Zoologicum Bogoriense-BRIN, di Kebun Raya Bogor. Foto: Rahmadi Rahmad/Mongabay Indonesia

 

Menjaga marwah kebun raya

Dedy Darnaedy, Kepala Kebun Raya Bogor 1997-2003, meminta BRIN dan pengelola agar menjaga Kebun Raya Bogor dengan berpegang teguh pada lima tugas dan fungsi kebun raya, yaitu konservasi tumbuhan, penelitian, pendidikan, wisata ilmiah, dan jasa lingkungan.

Menurutnya, 204 tahun umur KRB adalah waktu yang panjang sehingga menjadinya ekosistem  yang unik. “Kebun Raya sebagai jawaban atas kerisauan dunia karena tingginya laju kepunahan jenis tumbuhan di Indonesia,” tuturnya Dedy Darnaedy dalam webinar INPECTUS, Sabtu [27/11/2021].

Dunia memang dalam ancaman kehilangan keanekaragaman hayati [biodiversity lost].

“Upaya yang harus dilakukan adalah peduli dengan kegiatan konservasi, mulai dari in-situ, ex-situ, dan konservasi sumber daya genetik. Kebun raya adalah tempat menjaga keanekaragaman hayati Indonesia,” tuturnya.

Manusia, kata Dedy, tidak bisa melepaskan diri dari ekosistem. “Jika manusia meninggalkan ekosistem, akan banyak terjadi fenomena alam yang mengancam karena tidak ada keseimbangan lingkungan,” terangnya.

Kebun Raya Bogor merupakan kebun raya tertua di Asia Tenggara, yang diresmikan oleh Gubernur Jenderal Baron van der Capellen, dengan nama Lands Plantentuin te Buitenzorg. Luasnya 87 hektar, terletak di tengah Kota Bogor, Jawa Barat.

Dari Kebun Raya Bogor, lahir beberapa institusi ilmu pengetahuan lain, seperti Bibliotheca Bogoriensis [1842], Herbarium Bogoriense [1844], Kebun Raya Cibodas [1860], Laboratorium Treub [1884], dan Museum dan Laboratorium Zoologi [1894].

 

 

Exit mobile version