Mongabay.co.id

Kala Pengadilan Rengat Hukum Ratusan Miliar Perusahaan Sawit Samsung di Riau

Petugas Badan Penanggulan Bencana Daerah kota Pekanbaru bersama TNI dan Polri memadamkan api di kawasan hutan lindung yang berbatasan dengan lahan masyarakat di Kecamatan Rumbai Pesisir, Pekanbaru, Riau, Senin (1/3/2021) malam. Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutla) di wilayah provinsi Riau menjadi ancaman baru ditengah Pandemi Covid-19. (Wahyudi/Mongabay)

Petugas Badan Penanggulan Bencana Daerah kota Pekanbaru berusaha memadamkan api yang membakar hutan di Pekanbaru, Riau, Senin (1/3/2021) malam. Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutla) di wilayah provinsi Riau menjadi ancaman baru ditengah Pandemi Covid-19. (WAHYUDI)

 

 

 

 

Angin segar bagi lingkungan hidup di penghujung tahun. Majelis Hakim PN Rengat, menghukum perusahaan sawit, PT Gandaerah Hendana (GH) pidana denda Rp8 miliar dan tambahan Rp208, 848 miliar November lalu. Area konsesi perusahaan Samsung ini terbakar hingga terbukti melanggar Pasal 98 UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Majelis hakim yang diketuai Nora Gaberia Pasaribu, bersama dua anggotanya Maharani Debora Manullang dan Mochamad Adib Zain, berpendapat, GH tak mencegah dan mengendalikan kebakaran, serta mengabaikan prinsip kehati-hatian dalam mengelola maupun melindungi lingkungan hidup.

Majelis juga menyayangkan, GH tidak belajar dari dua peristiwa kebakaran yang pernah terjadi sebelumnya. Menurut majelis, andai perusahaan itu bersungguh-sungguh dan berupaya keras, peristiwa buruk itu pasti tidak akan terulang kembali. Nyatanya, GH terbukti abai dan sengaja membiarkan kebakaran terjadi.

Selanjutnya, majelis menyebut kebakaran lahan pada areal hak guna usaha (HGU) GH berulang, menimbulkan dampak buruk bagi lingkungan hidup yang juga berpengaruh pada kehidupan manusia. Kebakaran itu menyebabkan pelepasan gas rumah kaca, bahkan kandungan zat beracun turut mengancam kesehatan manusia.

Kemudian, kebakaran lahan mempengaruhi perubahan iklim global gambut tak bisa pulih kembali karena fungsi tidak akan pernah optimal hingga tidak dapat dinikmati generasi sekarang maupun akan datang.

“Hal itu tentu menyebabkan ketidakadilan antar generasi dan menciptakan beban eksternalitas pembangunan bagi generasi yang akan datang,” tulis majelis dalam putusan nomor 256/Pid.Sus/2021/PNRgt, halaman 276.

Majelis juga menyentil pemerintah agar lebih selektif mengeluarkan perizinan berusaha yang berdampak dengan lingkungan hidup. Kata majelis, jangan sampai atasnama pembangunan mengakibatkan perusakan lingkungan besar-besaran. Pemberian izin harus mempertimbangkan kemakmuran rakyat sebesar-besarnya dengan prinsip berkelanjutan.

“Negara khususnya instansi yang berwenang memiliki andil terhadap kebakaran lahan di areal HGU GH. Faktanya, pemerintah tidak memberi respon cepat saat adanya konflik dengan masyarakat yang jadi dasar perusahaan abai mencegah dan mengendalikan kebakaran yang dibebankan padanya,” jelas majelis dalam halaman sama.

Asep Ruhiat, penasihat hukum GH, tidak menerima putusan majelis dan akan banding. Asep, tetap dengan keyakinan bahwa GH tidak bersalah.

Jangankan sengaja membakar, masuk ke tempat yang terbakar saja tidak bisa dibuktikan di persidangan, baik dengan bukti surat maupun keterangan saksi-saksi.”

Meskipun begitu, Asep tetap menghormati putusan majelis. Walaupun, katanya, ada beberapa hal yang tidak dipertimbangkan. Salah satunya, kata Asep, tuduhan sengaja membakar itu di luar nalar hingga tidak cukup alasan untuk dibuktikan.

“Sementara bukti-bukti kami lengkap, jelas dan terang. Mudah-mudahan kemenangan dan keadilan berpihak pada kami kelak,” katanya via Whatsapp, November lalu.

 

Karthula di Riau yang menyebabkan kabut asap pada 2019. Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

Membiarkan kebakaran

Lahan GH terbakar sepanjang 3-24 September 2019 di Desa Seko Lubuk Tigo (Seluti), Kecamatan Lirik, Kabupaten Indragiri Hulu, Riau. Tepatnya di Estate III, Afdeling XIV. Itu, bagian dari izin usaha perkebunan (IUP) seluas 14.387 hektar dan masuk dalam HGU No. 16, seluas 6.087 hektar.

Kebun GH memang langganan terbakar. Pada 1997, lahan terbakar 214 hektar. Tahun berikutnya, meningkat jadi 1.090 hektar. Areal usaha ini merupakan lahan gambut yang memang rawan terbakar.

Sehari sebelum kebakaran pada 2019, di lokasi itu sudah terdeteksi lima titik panas melalui satelit VIIRS. Setelah diverifikasi, terkonfirmasi sebagai titik api.

GH, tidak memiliki sarana maupun prasarana pencegahan dan pengendalian kebakaran yang memadai. Sebagian sarpras hanya tersedia di areal yang telah ditanami sawit. Sedangkan pada areal terbakar, tidak jadi prioritas pemantauan. Alasan perusahaan, areal itu berkonflik dan dikuasai masyarakat.

Kebakaran saat itu, baru diketahui, dua hari sejak api mulai menghanguskan lahan gambut. Itu pun, ketika dua mandor, Bendris dan Belman Sirait, sedang bekerja di Blok Q-46. Mereka menyaksikan kepulan asap tebal di batas blok, hingga menghalangi pandangan ke sumber api.

Kejadian hari itu sampai ke telinga Asisten Afdeling XIV, Andi Marito Pasaribu. Dari situ, informasinya sambung menyambung sampai ke Manager Estate III, Syahrin Rambe. Tetapi tidak ada perintah untuk menghentikan laju api.

Keesokan harinya, Ali Usman, mandor lain, kembali mengabarkan kondisi kebakaran makin meluas. Kali ini, informasi sampai ke telinga General Manager, Jeandry P. Hasiholan Hutauruk. Hanya saja pimpinan tertinggi di kebun itu sekedar meneruskan laporan ke direktur operasional dan direktur utama.

Meski sudah sampai ke pucuk pimpinan perusahaan, sama sekali tidak ada perintah mengendalikan kebakaran pada tim penanggulangan keadaan darurat. Padahal, penanggungjawab perusahaan mengetahui kalau lokasi itu bagian dari wilayah kelola mereka hingga wajib lakukan perlindungan dari kebakaran.

Yang berjibaku padamkan api hanya personil Polsek Lirik, anggota TNI, tim Manggala Agni, Kelompok Masyarakat Peduli Api (MPA) Desa Seluti, regu pemadam kebakaran dari perusahaan sempadan serta sejumlah masyarakat. Mereka minim ketersediaan air di tengah kemarau dan angin kencang. Api sangat sulit dikendalikan.

Setelah mengerahkan segala upaya, tim yang tergabung dalam Satgas Terpadu Karhutla, Kecamatan Lirik, akhirnya meminta GH mengirim personil dan peralatan pemadam kebakaran. Permintaan itu baru dipenuhi pada 12 September, sekitar 10 hari sejak api membakar lahan gambut.

GH mengerahkan enam personil yang dibekali dengan satu mobil damkar, mesin robin, mesin honda mini strike serta delapan gulung selang. Empat hari kemudian, perusahaan hanya menambah eskavator PC 100 untuk membuat embung. Api padam, setelah hujan lebat mengguyur sekitar lokasi.

Berbeda dengan kebakaran pada hamparan HGU lain yang telah ditumbuhi sawit produktif. Persisnya, di batas Blok Z 31, Afdeling I, Estate I yang terjadi pada 18 September. GH lebih cekatan dan bertindak cepat.

Hari itu, perusahaan langsung kerahkan 42 personil. Dilengkapi satu mobil pemadam kebakaran, mobil tangki air kapasitas 5.000 liter, mesin pompa air mark three, tiga mesin pompa air robin juga satu eskavator PC 100. Api padam hari itu juga, sekitar pukul 10.00 malam.

Berdasarkan analisa laboratorium dari observasi dan pengecekan lapangan oleh ahli kebakaran hutan dan lahan, Bambang Hero Saharjo, kebakaran di lahan GH merusak lapisan permukaan gambut. Kebakaran itu turut menyumbang pemanasan global akibat pelepasan ribuan ton gas rumah kaca beracun dari dalam tanah.

Ahli kerusakan tanah dan lingkungan, Basuki Wasis, memperkuat temuan ini. Basuki menyebut kebakaran di lahan GH masuk kriteria kerusakan dari sejumlah parameter. Mulai dari keragaman spesies, populasi flora maupun subsiden. Kemudian, populasi fauna/binatang tanah, pH, C organik, nitrogen, kadar air, bobot isi serta porositas tanah.

 

Kala lahan gambut jadi kebun sawit. Risiko kebakaran pun meningkat.  Foto: Zamzami/  jadi Mongabay Indonesia

 

Tidak patuh

GH, perusahaan perkebunan dan pengolahan sawit ini didirikan pada 24 Agustus 1988, di Jakarta. Pada 2008, PT Samsung (Republik Korea) mengakuisi manajemen lama dan menjadikan kepemilikan saham oleh asing. Sejak itu, GH beberapa kali mengalami perubahan susunan kepengurusan. Terakhir, pada 10 Februari 2021, pasca kebakaran, Jeong Seok Kang ditunjuk sebagai direktur utama.

Kegiatan usaha GH terletak di dua kabupaten, yakni, Pelalawan, meliputi Desa Kerumutan, Kecamatan Kerumutan dan Desa Ukui II, Kecamatan Ukui. Adapun di Indragiri Hulu, hanya di Kecamatan Lirik namun tersebar di Desa Redang Seko, Banjar Balam, Seluti (lokasi kebakaran) dan Lb. Sari V.

Keseluruhan hamparan ini dibagi tiga. Estate I: Kecamatan Kerumutan dan di Kecamatan Ukui, Estate II: Kecamatan Ukui dan Kecamatan Lirik serta Estate III: Kecamatan Lirik (areal kebakaran). Kegiatan di lokasi terakhir ini dipertanggungjawabkan oleh delapan orang pengurus kebun. Mulai dari general manager sampai asisten afdeling.

Khusus titik kebakaran, berada di bawah pengawasan afdeling XIV. Seluruh kegiatan dilaporkan ke direktur operasional termasuk ke direktur utama.

GH memiliki sejumlah izin berupa, izin pelepasan kawasan hutan seluas 14.000 hektar; izin lokasi seluas 6.500 hektar untuk areal di Indragiri Hulu; izin lokasi 7.500 hektar untuk di Kampar (sekarang Pelalawan).

Pada 13 Agustus 1995, izin lokasi di Indragiri Hulu berkurang jadi 6.112 hektar, izin lokasi di Kampar bertambah jadi 7.888 hektar.

Setelah itu, GH mendapatkan sertifikat HGU dari Menteri Negara Agraria/Kepala BPN. Pertama, HGU No. 16 terdaftar di Kantor BPN Indragiri Hulu seluas 6.087 hektar. Kedua, HGU No. 1 dan 2, terdaftar di Kantor BPN Pelalawan seluas 7.797 hektar.

GH, juga beberapa kali tercatat mengambil alih HGU dari perusahaan lain, yakni, HGU No. 14 seluas 200 hektar, dibeli dari PT Sentosa Asih Makmur. Kemudian, HGU No. 18, seluas 200 hektar, dibeli dari PT Putra Lirik Domas, HGU No. 21, seluas 103 hektar, dibeli dari PT Sumatera Unggul Makmur. Semua tercatat di BPN Indragiri Hulu. Total luasan HGU perusahaan ini 14.387 hektar.

Belakangan, setelah terjadi kebakaran sebagian areal HGU No. 16, GH meminta Kepala BPN Indragiri Hulu mengurangi hak atas tanahnya seluas 2.791,49 hektar. Ini, terkait okupasi masyarakat yang jadi alasan GH tidak dapat melindungi areal tersebut, meski masih jadi tanggungjawabnya.

Sebelumnya, GH telah melengkapi sejumlah dokumen lingkungan, berupa analisis dampak lingkungan (andal), rencana pengelolaan lingkungan (RKL) dan rencana pemantauan lingkungan (RPL). Atas dasar itu, Badan Pelayanan Perizinan Terpadu, Riau, mengeluarkan IUP pada 28 Februari 2014, seluas 14.387 hektar.

Nelson Sitohang, ahli lingkungan Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Riau, mengatakan, GH wajib menaati dan melaksanakan seluruh ketentuan dalam dokumen lingkungan seperti mengantisipasi dan melindungi areal dari bahaya maupun ancaman kebakaran. Tidak terkecuali areal yang berkonflik dengan masyarakat sepanjang perusahaan belum mengubah izin lingkungan.

 

 

*****

Foto utama:  Ilustrasi. Kebakaran hutan dan lahan di Riau, pada 2019. Wahyudi

Exit mobile version