Mongabay.co.id

Walhi Sumut Banding Kala Gugatan pada Mini Zoo Kandas

 

 

 

 

Nuansa Alam Nusantara (NAN), yang bergerak dalam kegiatan kebun binatang (mini zoo), di Kabupaten Padang Lawas Utara, Sumatera Utara, digugat perdata oleh Walhi Sumatera Utara ke Pengadilan Negeri Padang Sidempuan. Kasusnya, mereka punya puluhan satwa liar langka dan dilindungi diduga ilegal. November lalu, majelis hakim tolak gugatan, Walhi pun banding.

Balai Besar Konservasi Sumberdaya Alam (BBKSDA) Sumut juga turut tergugat. Sebelumnya, dalam kasus lain BBKSDA Sumut sempat dipraperadilkan warga Kota Medan karena menguasai dua satwa sitaan padahal bukan endemik Indonesia dan tak dilindungi sesuai peraturan pemerintah P. 106.

Walhi Sumut memberikan kuasa hukum kepada LBH Medan. Alinafiah Matondang, Kepala Divisi Sumberdaya Alam LBH Medan, kuasa hukum Walhi mengatakan, alasan gugatan ini, antara lain, berdasarkan temuan Bareskrim Mabes Polri yang menggerebek dan menyita setidaknya 53 satwa endemik dilindungi dan terancam punah. Ada juga komodo dan beruang serta berbagai satwa terancam punah lain disita dari perusahaan NAN ini. Satwa-satwa ini diduga tak memiliki izin atau ilegal.

Alasan lain, gugatan lingkungan hidup ini diajukan kepada perusahaan, karena ada indikasi dugaan perdagangan satwa ilegal yang hanya menjerat orang-orang tanpa bisa menyentuh aktor besarnya.

Kalau sebatas hukum pidana, perbedaan otak pelaku atau orang yang diduga sebagai pemodal tak pernah terjerat hingga dianggap tak efektif karena tak menyentuh akar persoalan.

 

Baca juga: Mabes Polri Bredel Kebun Binatang Diduga Ilegal di Padang Lawas Utara

Binturong dari mini zoo pada 2019. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Ali mengatakan, ada 35 bukti di persidangan gugatan perdata ini, salah satu profil NAN yang menerangkan, sejak 2017-2019 belum memiliki izin sebagai lembaga konservasi.

Dengan begitu, tak ada persetujuan dari negara, namun mereka bisa menguasai dan melakukan kegiatan konservasi satwa.

Juga bukti Peraturan Menteri P. 106 tahun 2018 terkait perubahan kedua atas peraturan menteri tentang jenis satwa diterbitkan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Ada juga data publik dari IUCN tahun 2017 yang menyampaikan kepada majelis hakim kalau orangutan Sumatera merupakan satwa dilindungi, sudah status kritis.

“Bukti penggerebekan dan penggeledahan dari penyidik Bareskrim Mabes Polri di lokasi NAN, kemudian satwa-satwa itu dititipkan di sejumlah lembaga konservasi untuk mendapat perawatan mengantisipasi kematian.”

Dalam gugatan perdata ini, Walhi menuntut NAN bersalah dengan sengaja memiliki satwa dilindungi tanpa izin.

Ketika putus bersalah, katanya, tergugat akan diberikan tanggung jawab mengganti seluruh biaya yang timbul dalam upaya penanggulangan lingkungan hidup dan kerusakan yang dibuat mereka.

Beberapa rincian biaya itu adalah, perawatan dan rehabilitasi satu orangutan selama satu tahun, sampai pelepasliaran. Selanjutnya, patroli tambahan selama orangutan dilepasliarkan. Berbagai hal itu dikonversi dengan nilai uang sebesar Rp712 juta.

Adapun sitaan Bareskrim Mabes Polri pada 2019, berbagai jenis satwa sitaan dari Mini Zoo di Padang Lawas Utara itu ada 25 satwa. Satwa-satwa ini titip ke Taman Hewan Pematang Siantar. Satu orangutan Sumatera titip ke Karantina SOCP di Batu Mbelin, Sibolangit.

Ada juga yang titip ke lembaga konservasi, Taman Hewan Pematang Siantar yaitu cendrawasih bilah rotan (1), cendrawasih kecil (2), kakatua Maluku (4), nuri bayan (1), beo tiong emas (2), nuri kepala Hitam (2) dan binturong (1).

Barang bukti berikut yang turut diamankan BBKSDA Sumut juga titip ke Taman Hewan Pematang Siantar, yaitu kakatua raja (2), cendrawasih kecil (2), komodo (1), beruang madu (2), siamang (3) dan rangkong badak (2).

 

Kakatua raja diamankan Mabes Polri pada 2019. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Ajukan banding

Majelis hakim yang memegang perkara itu diketuai Afrizal Hadi, menolak seluruh gugatan Walhi. Majelis hakim berpandangan, satwa merupakan titipan BBKSDA Sumut.

Putusan majelis hakim pada 2 November 2021 itu dianggap LBH Medan belum berkeadilan. Mereka langsung banding.

LBH Medan sudah menyampaikan nota banding pada Senin 8 November 2021. Alasan banding, karena perusahaan tidak memiliki izin tetapi majelis hakim tidak mempertimbangkan itu dan mengabaikan penegakan hukum Bareskrim Mabes Polri.

“Putusan ini belum berkekuatan hukum tetap, karena masih tingkat pengadilan pertama. Kita mengajukan banding karena majelis hakim tidak mempertimbangkan fakta-fakta hukum yang kami hadirkan di persidangan, ” kata Ali.

Dikutip dari LKBN Antara, Tirta dan Ramses Kartago, kuasa hukum NAN mengapresiasi putusan majelis hakim.

Tirta bilang, dalam perkara ini tidak ada kalah dan menang, semua untuk kepentingan umum dan kemajuan serta pembangunan Paluta.

Nanda P Nababan, Wildlife’s Lawyer Indonesia mengatakan, ada beberapa catatan terkait kasus ini. Pertama, merupakan kasus perdana kejahatan konservasi yang dibawa ke ranah perdata. Secara. Umum, biasa muara dari kasus kejahatan satwa liar ke pidana.

Kedua, terjadi pergeseran pandangan kepada satwa itu sendiri. Gugatan ini bertujuan untuk pemulihan satwa-satwa. “Patut diapresiasi.”

Apakah perusahaan bisa kena gugatan pidana? Dia bilang, untuk memastikan dia melakukan tindak pidana atau tidak, perlu penyelidikan lebih lanjut. “Ini penting sebenarnya bagi publik, supaya ada kepastian hukum. Sebenarnya betul tidak sih perusahaan ini melakukan tindak pidana.”

Ketika ada dugaan penyalahgunaan jabatan dan dugaan penyalahgunaan kewenangan, katanya, negara punya alat untuk melakukan penyelidikan. Ada kepolisian dan PPNS.

“Ini bukan mau menyalahkan siapapun, tapi baiknya alat-alat negara yang sudah diberikan kewenangan dengan contoh kasus ini, bisa dengan serius menjalankan tugas, ” kata Nanda.

Di dalam persidangan, turut tergugat BBKSDA Sumut karena ada menyerahkan sejumlah bukti soal satwa di NAN merupakan hasil serah terima warga kemudian titip di sana.

Menurut Ali, tidak ada satupun dokumen menunjukkan serah terima satwa dari masyarakat ke BBKSDA, kemudian titip kepada NAN. Dia bilang, ada keganjilan status barang bukti satwa ini.

“Harusnya ada dokumen satwa penyerahan warga kepada BKSDA Sumut. Fakta di persidangan, tidak ada satupun bukti siapa warga yang menyerahkan satwa-satwa itu, statusnya apa dan berasal darimana.”

Nanda bilang, seharusnya kalau ada masyarakat menyerahkan satwa, BKSDA melakukan pencatatan. Setelah itu, BKSDA harus memberikan klasifikasi satwa-satwa itu.

“Hal ini penting untuk menjaga kredibilitas Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan hidup. Dalam hal ini BKSDA Sumut untuk menjamin keterbukaan publik dan eksistensi pekerjaan mereka, ” katanya.

Penjelasan BBKSDA Sumut waktu itu saat diwawancarai Mongabay mengatakan, kalau perusahaan ini belum memiliki izin definitif sebagai lembaga konservasi bahkan izin prinsip juga belum keluar.

 

 

Di persidangan gugatan perdata, para pengacara LBH Medan juga melampirkan bukti bahwa perusahaan ini sudah ada satwa pada 2017-2019 yang diduga ilegal karena belum memiliki izin definitif sebagai lembaga konservasi.

Lebih disesalkan lagi, satwa sitaan BBKSDA Sumut titip di sana padahal sesuai aturan jelas salah karena perusahaan belum memiliki izin sah.

“Ini asumsi kita saja ya, kalau mempunyai izin 2020 tetapi sudah memiliki satwa endemik terancam punah sejak 2017-2019, dapat dipastikan itu sudah melanggar tindak pidana dan tidak berlaku surut.”

Roni Saputera, Direktur Hukum Yayasan Auriga Nusantara dikutip dari Betahita, mengatakan, pertimbangan majelis hakim di luar nalar atau logika hukum.

Secara faktual, katanya, NAN membuka kebun binatang dengan menempatkan satwa dilindungi tanpa izin sah. Jadi, bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

“Tapi ditafsirkan sah secara hukum. Pertimbangan ini dapat saja jadi preseden bagi banyak orang yang ingin memelihara satwa dilindungi tanpa harus memiliki izin,” katanya.

Juga pertimbangan majelis hakim soal niat menguasai satwa untuk menyelamatkan satwa dari kepunahan, katanya, jelas tidak dapat diterima akal sehat. Satwa, katanya, secara alami punya habitat sendiri. Yayasan Auriga Nusantara, katanya, juga menyusun sahabat peradilan (amicus curae) untuk kasus ini.

 

******

Foto utama:  Nuri kepala hitam sitaan. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Exit mobile version