Mongabay.co.id

Mangrove Simau, Ekowisata yang Belum Tergarap di Halmahera Utara

 

Hutan mangrove tak hanya berfungsi menjadi tempat bertelurnya ikan, pelindung pantai dari abrasi air laut dan penyerap nitrogen terbesar, tetapi juga menjadi tempat wisata yang sangat memikat. Hutan mangrove juga menyimpan kekayaan sumber pangan, dan beragam keanekaragaman hayati tak ternilai. Kekayaan keanekeragaman hayati ini tidak sekadar jadi tontonan tetapi titipan anak cucu di masa depan.

Seperti halnya hutan mangrove Desa Simau, Kecamatan Galela Utara Halmahera Utara Maluku Utara. Luasnya kurang lebih 5.465,6 ha dengan panjang 8,54 km dan lebar rata-rata 0,64 km menyimpan beragam potensi. (Journal of Maritime Empowerment, Volume 1 No 2 Tahun 2019 ISSN 2656-9981)

Keberadaannya tidak hanya memikat karena keindahannya. Kawasan pantainya menjadi tempat bertelur burung Gosong Maluku atau orang Galela Maluku Utara menyebutnya salabia atau mamua. Untuk perlindungan spesies endemik ini, pemuda setempat membentuk sebuah komunitas bernama Salabia yang bekerja menjaga dan mengembangbiakkan mamua, sekaligus melindungi ekosistem mangrove dari berbagai ancaman.

Awal November lalu, saya mengunjungi hutan mangrove itu untuk mengikuti kgiatan belajar konservasi lapangan dan camping bersama Komunitas Pecinta Alam (KPA) Maluku Utara yang diinisiasi LSM Burung Indonesia.

Saya bersama peserta belajar konservasi turut melakukan pengamatan mamua bertelur semalam suntuk. Termasuk ikut kegiatan susur mangrove, melihat panorama alam hutan mangrove jelang sore.

baca : Wisata Mangrove di Jantung Sofifi, Kaya Kehati Jadi Pelindung Kota

 

Air yang tenang di hutan mangrove Simau menambah eksotisnya daerah ini. Foto : Mahmud Ichi/Mongabay Indonesia

 

Kawasan hutan mangrove Simau berjarak 25 menit berkendaraan dari Kota Tobelo, Kabupaten Halmahera Utara. Ditemani personil komunitas Salabia atau warga setempat menggunakan perahu bermesin tempel 15 PK milik nelayan, saya berkeliling menyusuri lebatnya hutan mangrove saat air pasang naik.

Hutan mangrove ini belum dibangun fasilitas pendukung seperti jembatan susur mangrove maupun sarana wisata penunjang lainnya. Karena itu masih terlihat alami.

Terdapat jalan keluar masuk air laut seperti kanal. Ada juga beberapa danau kecil cukup indah. Dari pantai ada seperti mulut sungai   masuk ke luar air laut saat pasang naik dan   surut. Selain menikmati lebatnya ragam jenis mangrove, terlihat berbagai biota, seperti berbagai ikan dan burung-burung yang terbang atau bertengger di dahan mangrove. Obyek menarik bagi fotografer.

Pada pagi hari, terdengar kicauan berbagai burung dari hutan mangrove, dengan suasana mempesona dari pinggir pantai. Di sebelah barat, berdiri kokoh Gunung Gamarmalamo Galela dihiasi kabut pagi. Di selatan berdiri gunung Mamuya, salah satu gunung berapi di Halmahera Utara.

Mangrove Simau ini menarik dieksplorasi sebagai destinasi wisata penting. Sayang kesiapan fasilitas ekowisata mangrove ini belum tersedia seperti yang lain di Maluku Utara.

baca juga : Pertama di Maluku dan Malut, Kawasan Ekosistem Esensial untuk Konservasi Biota Mangrove Tanjung Boleu

 

Kegiatan susur mangrove Simau salah satu tawaran kegiatan yang bisa dinikmati pengunjung di hutan mangrove Simau. Foto : Mahmud Ichi/Mongabay Indonesia

 

“Tahun depan, Pemerintah Desa menjanjikan pembuatan fasilitas dengan dana des. Kami Komunitas Salabia yang melakukan konservasi burung mamua dan melindungi mangrove ini, belum dapatkan sentuhan dari pemerintah. Semisal perahu bermesin untuk antar tamu berkeliling tidak ada. Kami gunakan perahu milik nelayan Simau bermesin tempel jika ada tamu. Fasilitas seperti ini kami sangat butuhkan,” kata Safri Bubu Ketua Komunitas Salabia di Galela.

Safri bilang, upaya mereka ini sebagai bentuk konservasi mamua dan menjaga hutan mangrove demi anak cucu di masa depan. “Beruntung ada kampus dan LSM yang bantu kami untuk upaya upaya ini,” jelasnya.

 

Menyaksikan Gosong Maluku Bertelur

Selain nikmati hutan mangrove dan keindahannya, ada satu atraksi menarik bisa disaksikan pengunjung, yakni melihat dari dekat Gosong Maluku bertelur. Burung endemik Maluku ini, menjadikan pantai berpasir hitam di hutan mangrove ini sebagai tempat bertelur.

Sebelumnya, telur Gosong Maluku ini diambil untuk dikonsumsi atau dijual. Tetapi sejak hadirinya komunitas Salabia yang melakukan konservasi, beranggotakan anak muda di kampung Simau, sebagian telur yang didapat dilakukan penangkaran untuk keberlanjutan populasinya.

Burung yang hidup jauh di tengah hutan dan bertelur di pantai ini, bisa dilihat pengunjung dari dekat saat bertelur pada tengah malam hingga jelang pagi.

baca juga : Mangrove Terakhir Ternate Dibabat, Burung dan Ikan Lenyap, Rumah Warga Kebanjiran

 

Aktivitas warga Simau menggali telur mamua atau salabia. Foto : Mahmud Ichi/Mongabay Indonesia

 

Saat di pantai tempat bertelur Gosong Maluku, dilarang bersuara atau ada bayangan yang terlihat membuat burung terbang menjauh. Pengunjung diminta menghindari pakai-pakaian berwana terang. Saat menerangi burung yang hendak bertelur, senter terus dinyalakan, lalu mendekat hingga jarak dua tiga meter. Meski dekat burung tidak akan lari atau terbang. “Syaratnya tidak boleh berisik ataupun menggunakan baju putih,” jelas Safri Bubu Ketua Komunitas Salabia.

Sayangnya, kami tidak menemui burung akan bertelur. “Sekarang ini masuk masa jeda bertelur. Biasanya banyak yang bertelur sepanjang enam bulan mulai awal tahun. Enam bulan berikutnya jedah. Biar begitu ada satu dua ekor tetap turun bertelur,” jelas Safri.

Keesokan paginya, warga menggali pasir mencari telur gosong Maluku pada bagian pasir pantai yang terlihat tapak burung itu. Telur itu biasanya dipendam di pasir dengan kedalaman 1 – 1,25 meter.

Penggali telur mamua terbilang lincah. Tahu posisi telur diletakkan induknya. Telurnya diletakkan agak menjauh dari bekas injakan kaki burung itu. Karena itu para penggali sudah paham posisi telurnya. Saat menggali, kepala dan badan hilang masuk ke dalam pasir.

“Memang cukup dalam karena itu kemampuan orang menggali telur ini paling banyak 50 sampai 60 butir saja sudah kewalahan,” jelasnya. Jika sudah didapat telurnya lalu dikumpul. Ada juga telur disisakan untuk menetas. Sementara ada juga beberapa telur diserahkan ke komuntas Salabia untuk dilakukan penangkaran. “Sudah empat kali tetaskan telur mamua dan anakanya sudah dilepasliarkan,” jelas Safri.

 

Safri Bubu ketua komunitas Salabia saat bersama anggota KPA menyaksikan proses pengambilan telur mamua oleh warga. Foto : Mahmud Ichi/Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version