Mongabay.co.id

BMKG Peringatkan Potensi Bencana di Sulsel, Aktivis Harap Pemerintah Tidak Salahkan Cuaca Buruk

 

Badan Meterologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Wilayah IV Makassar memberi peringatan dini terkait potensi terjadinya gelombang tinggi dan bencana longsor di sejumlah daerah di Sulawesi Selatan.

Menurut Darmawan, Kepala BMKG Wilayah IV, dalam 3 hari (5-7 Desember 2021) hujan dengan intensitas sedang hingga lebat disertai angin kencang berpotensi terjadi di wilayah Sulsel bagian barat meliputi Kab/Kota Pinrang, Parepare, Barru, Pangkep, Maros, Gowa, Makassar dan Takalar.

“Selain itu juga terjadi di wilayah Sulsel bagian utara meliputi Enrekang, Luwu, Luwu Utara, Palopo, Luwu timur, Toraja Utara dan Tana Toraja. Serta potensi angin kencang di pesisir barat, selatan dan utara Sulsel,” katanya dalam rilisnya kepada media, Sabtu (4/12/2021).

Ia juga menghimbau warga untuk mewaspadai gelombang tinggi di perairan sekitar Sulsel. Dijelaskan antara lain, gelombang dengan ketinggian sedang atau moderate sea (1,25-2,5 m), terjadi di perairan Spermonde Pangkep, Teluk Bone bagian utara, Teluk Bone bagian selatan, perairan timur Kepulauan Selayar, Laut Flores bagian utara, barat dan timur, perairan Pulau Bonerate-Kalaotoa bagian utara dan selatan.

Selain itu potensi gelombang yang lebih tinggi, rough sea (2,5-4.0 m) terjadi di perairan Parepare, perairan Spermonde Pangkep bagian barat, perairan Spermonde Makassar bagian barat, perairan barat Kepulauan Selayar dan perairan Sabalana, serta gelombang sangat tinggi, very rough sea (4.0-6.0 m) di Selat Makassar bagian selatan.

baca : Kala Semeru Muntahkan Lahar Panas, Belasan Orang Tewas

 

Ilustrasi. Gelombang tinggi masih terjadi di Cilacap, Jateng, sehingga nelayan tidak melaut. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Darmawan juga menyampaikan peringatan dini di sejumlah kabupaten/kota di Sulsel, yaitu Kabupaten Lutim, Lutra, Palopo, Luwu, Toraja Utara, Tana Toraja, Enrekang, Sidrap, Pinrang, Parepare, Barru, Pangkep, Maros, Gowa, Makassar dan Takalar, terkait potensi terjadinya dampak buruk akibat curah hujan yang tinggi.

“Dihimbau agar masyarakat pengguna layanan transportasi darat, laut, udara agar tetap waspada dan berhati-hati terhadap dampak yang dapat ditimbulkan dan potensi curah hujan tinggi, angin kencang, dan gelombang tinggi yang akan terjadi pada 3 hari ke depan, 5-7 Desember.”

Potensi bencana yang dimaksud antara lain potensi banjir, genangan, tanah longsor, angin kencang, pohon tumbang, meluapnya area tambak budidaya, dan keterlambatan jadwal penerbangan atau pelayaran.

“Masyarakat diharapkan tetap memperhatikan informasi dari BMKG serta instansi terkait untuk memastikan mitigasi bencana hidrometeorologi dapat dilakukan dengan baik.”

Dikatakan Darmawan, kondisi dinamika atmosfer saat ini menunjukkan terjadinya peningkatan aktivitas Mansun Asia yang dapat menyebabkan penambahan massa udara basah, pola pertemuan massa udara (konvergensi) dari Laut Jawa hingga Sulawesi, dan meningkatnya anomali suhu muka laut di wilayah selat Makassar dan teluk Bone.

“Kondisi dinamika atmosfer tersebut meningkatkan potensi hujan sedang hingga lebat, angin kencang, dan gelombang tinggi di wilayah Sulawesi Selatan.”

baca juga : Pentingnya Literasi Kebencanaan di Negeri Rawan Bencana

 

Ilustrasi. Masyarakat yang hidup di sekitar Danau Tempe, Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan setiap tahunnya harus bergelut dengan banjir. Mereka menggunakan sungai dan danau sebagai tempat aktivitas mandi dan mencuci. Foto : Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Dalam beberapa pekan terakhir tercatat sejumlah bencana banjir dan longsor di sejumlah daerah seperti Jeneponto, Luwu, Bone, Takalar, Enrekang, Makassar, Parepare dan Toraja Utara.

Terkini, akibat curah hujan tinggi menyebabkan Sungai Lappa Angin di Parepare meluap pada Minggu 28 November 2021. Beberapa remaja yang sedang mandi di sungai terseret arus dan terjebak di arus sungai. Salah satu dari remaja tersebut bernama Jibril (15) sempat dinyatakan hilang, sebelum ditemukan tim SAR dalam kondisi tak bernyawa dua hari kemudian.

Bencana lain adalah tanah longsor terjadi di Dusun Buntu Karua, Lembang Karua, Kecamatan Balusu, Toraja Utara, Rabu, 1 Desember 2021, yang menimbun satu unit rumah milik warga. Dua rumah milik warga lainnya, juga rusak terseret tanah longsor. Dalam longsor ini, seorang siswi kelas 1 SMP berusia 13 tahun tewas tertimbun material rumahnya.

Badan Search and Rescue (SAR) Nasional sendiri mencatat  setidaknya  wilayah Sulawesi Selatan memiliki 42 titik rawan bencana dan kecelakaan. Puluhan titik itu terdiri atas enam titik kecelakaan penerbangan atau udara,  tujuh titik kecelakaan pelayaran/laut, delapan titik bencana gempa, delapan titik longsor, lima titik banjir, dan dua titik tsunami.

baca juga : Banjir Bandang di Kabupaten Luwu Bukti Kegagalan Pemerintah Jaga Hutan dan DAS

 

Curah hujan tinggi menyebabkan terjadinya genangan air yang tinggi di beberapa titik lokasi di Makassar menyebabkan kemacetan. Foto: Mongabay Indonesia/Wahyu Chandra.

 

Kerentanan Masyarakat Pesisir dan Pulau-pulau Kecil

Menurut Asmar Exwar, aktivis dari Jaring Nusa, menyimak prediksi curah hujan oleh BMKG hingga akhir 2021 terdapat sejumlah wilayah di Indonesia yang akan mengalami musim hujan dengan intensitas lebih tinggi dibanding biasanya, sehingga butuh kewaspadaan bersama.

“Hal ini tentu harus kita waspadai, dan berkaca pada tahun-tahun sebelumnya untuk mengambil langkah-langkah yang tepat mengurangi risiko bencana iklim. Terlebih untuk wilayah yang memiliki risiko dan kerentanan tinggi dalam hal banjir, angin kencang, longsor atau tanah bergerak.”

Menurutnya, perlu menjadi perhatian bersama untuk meningkatkan kewaspadaan menghadapi cuaca ekstrem pada bulan Desember bahkan hingga Februari mendatang.

“Upaya yang tepat untuk mengurangi risiko bencana dan menyiapkan early warning system serta emergency respons harus sudah lebih ditingkatkan.”

Asmar juga menilai tingginya kerentanan masyarakat pesisir dan pulau kecil terhadap cuaca ekstrem tersebut, yang akan sangat berpengaruh tidak hanya dalam konteks kegiatan melaut yang berkurang khususnya bagi nelayan namun juga abrasi wilayah pesisir yang dapat mengancam pemukiman.

“Kerentanan pada ketersediaan pasokan kebutuhan pokok khususnya untuk masyarakat pulau kecil. Hal ini harus menjadi perhatian pemerintah.”

Khususnya di Sulsel, Asmar menilai pemerintah harus lebih serius lagi memperhatikan kondisi dan kelestarian ekosistem pesisir, antara lain dengan meminimalkan pembangunan yang berisiko menciptakan degradasi lingkungan.

“Upaya perlindungan wilayah kelola nelayan dan menguatkan kelompok nelayan atau masyarakat pesisir harusnya terus ditingkatkan sebagai bagian menguatkan resiliensi masyarakat pesisir dan pulau kecil.”

perlu dibaca : Banjir dan Longsor di Sulsel, Pemda Dinilai Abai pada Hasil Kajian

 

Pemerintah diharap harus lebih serius lagi memperhatikan kondisi dan kelestarian ekosistem pesisir, antara lain dengan meminimalkan pembangunan yang berisiko menciptakan degradasi lingkungan. Foto: Mongabay Indonesia/Wahyu Chandra.

 

Jangan Semata Salahkan Cuaca Buruk

Menurut Direktur Jurnal Celebes, Mustam Arief, menyikapi kondisi cuaca buruk, hujan dan angin kencang yang kemudian menyebabkan bencana banjir dan longsor di beberapa daerah di Sulsel, pemerintah jangan semata menyalahkan cuaca buruk sebagai penyebab tunggal terjadinya bencana tersebut.

“Pemerintah ataupun pemerintah daerah jangan menjadikan faktor cuaca atau hujan sebagai penyebab utama banjir dan longsor. Sebab, anomali cuaca yang menyebabkan hujan melebihi ambang batas wajar itu akibat dari dampak perubahan iklim karena rusaknya lingkungan. Hilangnya tutupan hutan melebihi ambang wajar hingga mengakibatkan bencana rutin. Kita hendaknya menyadari deforestasi mengakibatkan multi-bencana ekologi,” katanya.

Menurutnya, mustahil untuk menahan dampak perubahan iklim, karenanya yang dibutuhkan adalah perbaikan lingkungan, mitigasi dan adaptasi bencana dampak perubahan iklim.

“Pemerintah harus berhenti menjadikan curah hujan atau cuaca buruk sebagai kambing hitam terjadi bencana. Pemerintah harus konsisten merencanakan pembangunan fisik dengan tata kelola hutan dengan daya dukung lingkungan yang memadai. Daerah-daerah yang mengalami bencana rutin, pemerintah hendaknya me-review kembali tata ruang untuk pemulihan daya dukung lingkungan.”

Mustam juga menyoroti pemberian izin, baik itu untuk kehutanan ataupun pertambangan, yang kerap kali melebihi ambang batas.

“Kalau kemudian ternyata ada izin industri melebihi ambang batas tata kelola dan berpotensi merusak lingkungan, harus konsisten untuk membatalkan atau menata kembali.”

Demikian juga penerbitan izin industri, terutama industri ekstraktif berbasis lahan atau hutan hendaknya konsisten dengan pertimbangan kerusakan lingkungan. Jangan karena dalih investasi atau kepentingan tertentu, lalu seenaknya memberi izin.

“Tidak ada manfaatnya investasi kalau muaranya adalah bencana. Lalu, ke depan kita hanya sibuk mengurusi bencana ekologi yang rutin.”

 

Exit mobile version