Mongabay.co.id

Komunitas Salabia, Upaya Anak Muda Jaga Burung Mamua

 

 

 

 

Belasan anak muda ini kemping bersama, awal November lalu. Anak-anak muda ini datang ke tempat penangkaran burung mamua untuk belajar konservasi. Mereka dari berbagai komunitas di Kota Ternate, Halmahera Selatan, Halmahera Tengah, Halmahera Timur dan Sofifi Kota Tidore Kepulauan.

Saat itu, mereka mau belajar konservasi mamua di Desa Simau Galela Utara, yang digagas sejumlah anak muda yang berhimpun dalam Komunitas Salabia. Nama itu diambil dari Bahasa Galela yang berarti mamua.

Oleh masyarakat Galela, burung induk gosong Maluku ini disebut mamua atau salabia. Sementara anakan mamua disebut puka.

Burung mamua atau induk gosong Maluku ini oleh The International Union for Conservation of Nature (IUCN) masuk status sebagai burung endemik rentan terhadap kepunahan (vulnerable).

Komunitas ini membuat penangkaran semi alami di Pantai Desa Simau Galela, Halmahera Utara, Maluku Utara. Kawasan ini dikenal sebagai tempat kembang biak hewan endemik Maluku dengan nama latin Eulipoa wallacei atau Moluccan scrubfowl, dalam bahasa Inggris ini.

Penangkaran mamua oleh Komunitas Salabia terbilang berhasil. Hingga kini, mereka sudah lepas liar hampir 1.000 anak mamua hidup ke alam bebas. Mereka kerjakan konservasi ini sendiri tanpa ada dukungan pemerintah.

Adalah Safri Bubu, seorang petani di Desa Simau Galela Halmahera Utara, yang khawatir mamua habis karena sejak lama telur mereka diambil buat konsumsi.

 

Telur mamua. FotoL Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

 

Awalnya, dia sering menjadi guide bagi peneliti atau wisatawan yang mau menyaksikan burung mamua, terutama saat bertelur. Sadar keterancaman mamua, Safri pun terpanggil untuk melindungi satwa ini. Dia mengajak warga lain, terbentuklah Komunitas Salabia.

Dia bilang, konservasi mamua mereka lakukan karena panggilan hati guna melindungi kekayaan hayati kawasan itu.

Pantai Desa Simau Galela Utara ini salah satu tempat bertelur mamua di Halmahera Utara. Di lahan berpasir hitam sekitar tiga hektar setiap saat burung ini bertelur. Sekitar pantai ini, seratusan hektar hutan mangrove cukup lebat.

Para peneliti dari berbagai belahan dunia juga datang ke kampung ini untuk meneliti mamua. Orang-orang luar Halmahera Utara juga datang berwisata mau menyaksikan mamua dan keindahan hutan mangrove di sini.

“Hutan mangrove ini memang belum pemetaan tetapi secara kasar bisa dilihat luas mencapai 100 hektar,” kata Safri.

Hutan mangrove ini menjadi tempat singgah sementara sebelum dan sesudah mamua bertelur. Di hutan mangrove inilah, mamua betina mengeluarkan telur sampai selesai. Tempat hidup burung ini sendiri sangat jauh ke dalam hutan, sampai di ketinggian 700 meter di atas permukaan laut.

Dia bilang, keragaman hayati di kampungnya merupakan kekayaan tak ternilai. Para peneliti dan wisatawan datang di Simau untuk meneliti maupun hanya ingin merasakan sensasi menunggu mamua bertelur di tengah malam di tepi pantai.

Lelaki yang biasa disapa Om Gode ini bercerita, awalnya, mengajak warga tak menghabiskan telur mamua. Untuk konservasi biasa warga yang menggali atau mengambil telur menyisakan satu atau dua telur agar bisa berkembang biak. Dia merasa tak cukup, terlalu sedikit, maka tidak ada cara lain perlu penangkaran.

Kala itu , katanya, ada peneliti dari Amerika yang dia temani, menyarankan perlu segera konservasi. Peneliti itu menjelaskan mengenai mamua, dari waktu bertelur, kebiasaan sampai membedakan jantan dan betina setelah menetas. Tak menunggu lama, Safri pun beraksi walau awalnya sendirian.

 

Proses penangkaran mamua kala telur mulai ditanam. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

 

Dia mulai gerakan perlindungan di lahan milik orang tuanya di hutan mangrove dekat pantai tepat di belakang Kampung Simau.

Kemudian, Safri mulai penangkaran semi alami usai mendapat pendampingan dari LSM Burung Indonesia dan Universitas Halmahera (Uniera).

Sebenarnya, proses penangkaran mulai 2016. Setelah ada pendampingan pada 2019, baru penangkaran sampai ratusan telur dan terbentuk Komunitas Salabia. Dia jadi koordinator komunitas ini.

Penangkaran disebut semi alami karena telur ditanam di alat penangkaran alami di sekitar tempat bertelur baru dirawat sebentar di kandang pemeliharaan lalu lepas liar.

Dalam konservasi mamua ini, kata Safri, mereka menghadapi tantangan luar biasa. Pertama, ketika pendekatan kepada mereka yang memiliki lahan tempat mamua bertelur, tidak paham. Kedua, memberikan pemahaman soal konservasi kadang sulit.

Meski demikian, dengan berbagai pendekatan kepada pemilik lahan, akhirnya mereka bersepakat mendukung gerakan menjaga dan melindungi burung ini.

Caranya, ketika menggali telur-telur mamua, mereka sisakan telur atau antar telur-telur itu ke Komunitas Salabia untuk ditetaskan di kandang penangkaran.

 

Komunitas Salabia, yang lakukan penangkaran mamua. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

 

Ternyata, katanya, warga Simau banyak yang belum pernah melihat anakan mamua secara langsung. “Ketika kita tanam telur di pasir dan menetas serta lepas liar,  warga beramai-ramai menonton dari dekat. Ini  sekaligus jadi pengetahuan bagi mereka agar lebih menjaga dan melindungi kekayaan ini.”

Hasilnya mulai dirasakan sekarang. Saat ini, mamua yang bertelur di Pantai Simau makin banyak. Setahun belakangan, ketika masuk musim bertelur mereka bisa panen hingga ratusan butir per hari.

Berbeda sebelumnya, hanya beberapa puluh telur.

Mamua bertelur selama enam bulan dalam setahun, enam bulan berikutnya masa istrahat. Kalaupun bertelur hanya satu dua saja.

Upaya anak-anak muda yang tergabung dalam Komunitas Salabia ini belum mendapat perhatian terutama pemerintah daerah. Di tingkat desa, misal, sampai saat ini belum ada perhatian berupa bantuan menambah sarana konservasi dan wisata burung mamua.

“Kita belum mendapatkan bantuan apapun dari pemerintah guna mendukung penyelamatan mamua. Yang ada dukungan LSM dan kampus untuk belajar penangkaran,” kata M Alfan Soleman, Pengurus Komunitas Salabia.

 

Anakan mamua siap lepas liar. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

 

*******

Exit mobile version