Mongabay.co.id

Masyarakat Seram Barat Ingin Pertahankan Negeri Adat

 

 

 

 

“Tolak pemilihan pilkades serentak. Tolak pilkades. Katong Negeri Adat. Katong Negeri Raja-raja. Katong bukan desa administrasi atau pendatang hingga harus menggelar pemilihan kepala desa. Katong negeri sudah ada sebelum negara ini lahir.”

Begitu teriakan ratusan warga adat dari sejumlah negeri (desa adat)di Kabupaten Seram Bagian Barat, Maluku. Aksi mereka protes ke Pemerintah Seram Bagian Barat agar menghentikan dan membatalkan pemilihan kepala Desa, 1 November lalu.

Sejumlah tokoh dan masyarakat adat dari ‘Tiga Batang Air’ turun jalan untuk ritual adat pasawari. ‘Tiga Batang Air’–Tala, Eti, Sapalewa–merupakan tiga sungai terbesar di Seram Bagian Barat. Tiga sungai ini dipercaya masyarakat di Maluku, sebagai tempat leluhur mereka turun dan menyebar.

Hari itu, mereka mengenakan kaos hitam berikat kepala kain berang, masyarakat adat melaksanakan pasawari adat di tengah terik mentari di Tugu Ina Ama, Piru, Seram Bagian Barat.

Dengan kapal,  truk, tua-tua adat bersama masyarakat rela menempuh perjalanan jauh mendatangi lokasi ritual.

 

Masyarakat adat dari tiga batang air menuju lokasi ritual pasawari di SBB. Foto: Christ Belseran/ Mongabay Indonesia

 

Mereka dari berbagai negeri dan organisasi pemuda adat di Seram Bagian Barat, seperti Negeri Piru, Hunitetu Kamariang, Loki, Nuruwe dan Taniwel dan pemuda adat Saka Mese Nusa.

Pasawari adat merupakan doa bagi leluhur, alam dan sang pencipta. Mereka berharap lewat ritual ini, negeri-negeri adat masih bisa diselamatkan.

Ritual adat yang mereka adakan sebagai bentuk penolakan pilkades ini dipimpin tetua adat dari Negeri Hunitetu, Wem Mauwene. Dia melafaskan bahasa tanah (bahasa ibu Pulau Seram), lanjut dengan tiupan tahuri(alat music tradisional dari kulit kerang). Ritual adat ini berlangsung hikmat.

Setelah pasawari, masyarakat adat dengan tertib ke Kantor Bupati dan DPRD menggelar aksi dengan dikoordinir Saman Amirudin Patty, pemuda adat dari Negeri Latu.

Tarian adat cakalele oleh pemuda adat Nuruwe dibarengi kapata dan pukulan tifa di depan pintu gerbang Kantor Bupati SBB.

Amirudin Patty, pemuda Seram Barat juga koordinator aksi mengatakan, demo dan ritual adat pasawari, sebagai bentuk mengingatkan masyarakat adat masih ada dan tak boleh dipaksakan jadi desa administrasi.

Pemerintah, katanya, sengaja memaksakan negeri adat menjadi desa administrasi agar investor masuk gampang menguasai tanah-tanah adat.

“Aksi demo ini juga sudah berkali-kali, namun tidak ada tanggapan dari Pemerintah SBB. Kami masyarakat adat akan tetap berjuang mempertahankan hak ulayat,” katanya.

Pemuda asal Negeri Latu ini juga mengingatkan, agar Badan Pemusyaratan Desa (BPD) harus musyawarah dengan masyarakat untuk menentukan status desa. Kalau ingin jadi desa administrasi, BPD boleh membentuk panitia pilkades. Sebaliknya, kalau mau jadi negeri adat, harus dipilih saniri negeri untuk mempersiapkan penentuan raja dari mata rumah parentah.

Dia juga tak menginginkan adat istiadat yang ada sejak turun temurun hilan . SBB, katanya, adalah negeri adat.

Aksi damai masyarakat adat ini tidak ditanggapi sama sekali oleh Bupati Seram Barat, Timotius Akerina, maupun pejabat lain. Mereka dihadang pasukan Satpol PP dan tidak boleh masuk ke halaman kantor bupati.

Meski demikian, orasi tetap jalan bergantian oleh para tokoh pemuda adat, seperti Musa Lisakin dari Negeri Kasie dan Alvin Nahady dari Hunitetu. Mereka mengingatkan bupati, tidak lupa identitas SBB, sebagai negeri-negeri adat.

Peralihan status negeri adat juga akan menyebabkan hak ulayat hilang. Kalau ini terjadi, katanya, akan jadi ancaman besar karena tanah adat mudah dikuasai para pengusaha dan penguasa untuk kepentingan kelompok mereka.

“Masyarakat adat akan dibuat tak berdaya dengan status baru. Ancaman pidana menanti, saat masyarakat adat berani memasuki tanah yang awalnya milik mereka,” kata Alvin Nahady, pemuda adat dari Negeri Hunitetu.

 

Usai ritual, masyarakat adat di SBB, lalu aksi di depan Kantor Bupati SBB, menolak pilkades dan ingin mempertahankan negeri adat. Foto: Christ Belseran/ Mongabay Indonesia

 

Ranperda Negeri Adat

Abe Sekeronej, Tokoh Adat Negeri Piru mengatakan, penolakan terhadap kebijakan Bupati SBB untuk pilkades, sebagai bentuk perlindungan hak ulayat.

Dia menguraikan kelemahan kalau jadi pilkades. Kalau negeri adat ada pilkades, hak ulayat atau tanah adat akan hilang, dikuasai pemerintah.

Abe ingin DPR dan pemerintah segera sahkan Perda Negeri Adat. Sejak 2016, katanya, DPRD SBB menggodok Rancangan Peraturan Daerah Negeri Adat. Ranperda ini merupakan insiatif DPRD.

“Saat itu, Ranperda Negeri Adat digodok Komisi I yang diketuai Timotius Akerina yang kini sebagai bupati,” katanya.

Ironisnya, harapan agar Bupati Timotius Akerina ikut mendukung percepatan penetapan ranperda adat kini tidak terwujud.

Sikap bupati yang berubah ini, kata Abe Sekerone, sangat mengecewakan hati masyarakat adat. Padahal, katanya, ranperda sudah melalui kajian akademis dan tinggal disetujui bupati.

Masyarakat adat, katanya, mendesak Perda Negeri Adat segera disahkan agar negeri adat dapat melaksanakan pelantikan raja dari mata rumah parentah.

“Hanya itu yang kami minta. Jangan hilangkan adat dari Bumi Saka Mese Nusa. Adat dari leluhur turun temurun yang mempersatukan kani selama ini. Jangan ambil identitas kami dengan paksa.”

Dia juga menilai, Badan Pemusyawaratan Desa(BPD) yang dibentuk di negeri-negeri tidak melaksanakan tugas semestinya.

“Musyawarah desa tidak dilaksanakan untuk menentukan apakah akan jadi negeri adat atau mengikuti pilkades sebagai desa administrasi. BPD tanpa musyawarah dengan masyarakat, menyetujui pilkades secara sepihak hingga masyarakat marah.”

Kalau ingin menjadi desa, BPD harus bentuk panitia pilkades, sebaliknya tetap ingin jadi negeri adat, harus ada saniri untuk menentukan calon yang dilantik sebagai raja.

Abdul Rasyid Lisaholet, Ketua DPRD Seram Bagian Barat, di hadapan warga adat mengatakan, sudah beberapa kali memanggil bupati, untuk mempertanyakan sejauh mana keseriusan Pemerintah SBB membahas Raperda Negeri Adat.

“Karena ini sudah diberikan kepada semua desa untuk identifikasi. Setelah itu kalau sudah identifikasi dan ditetapkan bupati lalu DPRD tinggal menunggu ranperda yang mau dibahas,” katanya.

DPRD, katanya, telah bekerja sama dengan Kementerian Hukum dan HAM terkait semua peraturan daerah di Kabupaten Seram Bagian Barat.

 

Pilkades

Tercatat 42 negeri adat dari 11 kecamatan di SBB telah mengikuti pilkades gelombang pertama pada 25 Oktober 2021. Masih ada lagi pilkades gelombang kedua.

Timotius Akerina, Bupati Seram Barat, kepada sejumlah awak media 11 Oktober lalu mengatakan, dari 91 desa di SBB, 71 desa akan mengikuti pilkades tahap pertama, 21 desa lain masih menunggu pengesahan Peraturan Daerah tentang Negeri.

“Pemerintah tidak paksakan desa ikut pilkades. Semua dikembalikan ke masyarakat melalui Badan Permusyaratan Desa,” katanya.

Sebelumnya, aksi penolakan pilkades juga dilakukan sejumlah desa di SBB. Di Negeri Kamarian, Kecamatan Amalatu, masyarakat protes dengan memblokade jalan lintas antar tiga kabupaten di Pulau Seram.

Masyarakat geram dan memblokade akses jalan raya yang menghubungkan tiga kabupaten di Pulau Seram, yakni Kabupaten Seram Bagian Barat, Maluku Tengah, dan Seram Bagian Timur.

 

 

*****

Foto utama:  Masyarakat adat di Seram Bagian Barat, ritual pasawari untuk protes pilkades dan ingin tetap pertahankan negeri adat. Foto: Christ Belseran/ Mongabay Indonesia

Exit mobile version