- WALHI NTT mencatat selama 3 tahun terakhir terjadi beberapa konflik agraria antara masyarakat adat dan pemerintah serta masyarakat dan pihak investor. Perdebatan panas antara Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat dengan Umbu Maramba Hau di Kabupaten Sumba Timur mengenai tanah 500 hektar yang diklaim sudah merupakan milik pemerintah provinsi sejak tahun 2001 menjadi viral dan heboh
- WALHI NTT melihat beberapa konflik agraria yang terjadi merupakan fenomena gunung es yang menjelaskan betapa buruknya penanganan tata kelola agraria di NTT. Baik oleh eksekutif, legislatif, yudikatif hingga distorsinya kelembagaan adat dalam konteks agraria
- Gubernur NTT dinilai lemah dalam melakukan konsolidasi birokrasi mulai dari protokoler hingga dinas teknis dalam kepastian hukum atas tanah dan membangun komunikasi dengan rakyat. Serta buruk atau tidak bergeraknya fungsi pengawasan, kebijakan dan anggaran di DPRD NTT sehingga yang tampak gubernur melakukan One Person Show bukan One System Show
- WALHI NTT meminta masyarakat adat melakukan konsolidasi dan revitalisasi kelembagaan masyarakat adat untuk kembali ke khitahnya sebagai komponen utama dalam distribusi tanah ulayat yang berkeadilan bagi masyarakat adat sebagai wilayah kelolanya. Misalnya mengembalikan makna tanah ulayat sebagai kepemilikan bersama, bukan kepemilikan individual atau tokoh tertentu
Konflik agraria di Nusa Tenggara Timur (NTT) menurut WALHI NTT terus berlangsung dan meningkat setiap tahunnya terutama konflik vertikal antara pemerintah dan rakyat maupun perusahan dan rakyat.
Peningkatan ini berbanding lurus dengan meningkatnya jumlah investasi yang masuk ke NTT dan eskalasi pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah.
Dalam konferensi pers WALHI NTT, Kamis (2/12/2021), WALHI mencatat beberapa kasus yang mencuat dalam 3 tahun terakhir di ruang publik
Direktur WALHI NTT, Umbu Wulang Tanaamahu Paranggi memaparkan pertama, kasus agraria di Manggarai Timur bersamaan dengan rencana operasi tambang batu gamping dan pabrik semen di Desa Satar Punda.
Kedua, kasus konflik agraria dan hutan adat di Besipae, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) bersamaan dengan rencana pemerintah provinsi untuk mengembangkan perkebunan kelor dan peternakan skala besar di tempat tersebut.
Ketiga, kasus agraria dan tempat peribadatan Marapu di Sumba Timur yang bersamaan dengan investasi PT. Muria Sumba Manis (MSM) untuk pabrik gula dan perkebunan tebu. Konflik ini telah mengakibatkan 3 orang masyarakat adat di Umalulu dijebloskan ke penjara selama 6 bulan di tahun 2020.
Yang terbaru saat ini yakni perdebatan panas antara Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat dengan Umbu Maramba Hau di Sumba Timur mengenai tanah 500 hektar yang diklaim sudah merupakan milik pemerintah provinsi sejak tahun 2001.
“Beberapa konflik diatas adalah fenomena gunung es yang menjelaskan betapa buruknya penanganan tata kelola agraria di NTT. Baik oleh eksekutif, legislatif, yudikatif hingga distorsinya kelembagaan adat dalam konteks agraria,” sebut Umbu Wulang.
baca : Masyarakat Adat, Krisis Iklim dan Konflik Pembangunan. Bagaimana Solusinya?
Memfasilitasi Investor
Catatan WALHI, kejadian konflik yang terus berulang antara gubernur dan rakyat akibat buruknya sistem tata kelola pemerintahan di Provinsi NTT. Salah satu faktor utama dari konflik agraria di NTT akibat DPRD tidak menjalankan fungsi legislatifnya yang dimandatkan oleh konstitusi dan perundang-undangan.
Dalam catatan WALHI NTT, berbagai kasus agraria yang terus berulang dari tahun ke tahun di NTT ini tidak pernah diseriusi oleh DPRD di ruang ruang persidangan dan masa reses.
WALHI NTT mencatat dari tahun 2018 hingga kini DPRD tidak pernah memanggil gubernur untuk memberikan penjelasan atau klarifikasi tentang berbagai kasus agraria yang melibatkan gubernur di dalamnya atau menyampaikan ke publik hasil persidangan DPRD dalam konteks agraria di NTT.
Umbu Wulang menilai kasus-kasus agraria di NTT yang menyita perhatian publik menguap begitu saja tanpa penyelesaian yang berarti.
“DPRD NTT mengabaikan perannya sebagai penyuara aspirasi rakyat dan mitra yang setara dengan gubernur dalam penyelesaian konflik konflik agraria di NTT,” sesalnya.
WALHI NTT selain mengecam kekerasan kekuasaan terhadap rakyat, juga menilai DPRD melakukan pembiaran dan ikut serta melanggengkan praktek kekerasan kekuasaan di NTT.
baca juga : PDLH Walhi NTT Bangun Solidaritas Melawan Penghancuran Lingkungan Hidup
Divisi Sumber Daya Alam WALHI NTT, Yuvensius Stefanus Nonga menjelaskan, tahun 2018, Poro Duka tewas tertembak aparat kepolisian saat berjuang menolak pengukuran tanah oleh PT Sutera Marosi bersama Badan Pertanahan Nasional Sumba Barat.
WALHI NTT melihat tidak ada itikad baik Gubernur NTT untuk mendorong penyelesaiaan kasus ini.
Yuven sapannya menyebutkan, tahun 2018 pun konflik antara masyarakat adat dengan PT.MSM di Sumba Timur, baik pemerintah dan DPRD tidak bersikap tegas.
Tahun 2020 terkait tambang batu gamping dan pabrik semen di Kabupaten Manggarai Timur, pihaknya melihat pemerintah memfasilitasi investor untuk melakukan investasi tanpa melibatkan dan minta persetujuan masyarakat.
Kata Yuven, kasus Besipae di Kabupaten TTS tahun 2020 masyarakat adat menjadi korban penggusuran. Ketika terjadi konflik antara 37 kepala keluarga dengan pemerintah, tidak ada teguran keras dari dewan.
Lanjutnya, terkait tambak garam di Kabupaten Malaka, pemerintah memfasilitasi pemberian izin bagi PT.IDK. Sebelum penerbitan AMDAL terjadi penggusuran hutan mangrove seluas 300 Ha lebih untuk tambak garam.
Tahun 2021 kembali terjadi konflik antara masyarakat adat dan pemerintah terkait pembangunan Waduk Lambo.
Yuven katakan, Bupati Nagekeo mengakui ada pro dan kontra di masyarakat dan menganggapnya hal yang normal. Bupati katakan ini merupakan proyek strategis nasional yang harus selesai sebelum tahun 2024.
“Terkait pembangunan pariwisata super premium di Manggarai Barat pun WALHI NTT melihat pemerintah dan DPRD merestui pembangunan ini dan sedikit memberikan ruang kontrol masyarakat,” ungkapnya.
perlu dibaca : Masyarakat Adat Pubabu Tolak Klaim Lahan Pemprov NTT. Kenapa?
Benahi Tata Kelola
Berdasarkan fakta-fakta temuan, WALHI NTT sebutkan, peristiwa konflik agraria yang terus berlangsung di NTT adalah buah dari kegagalan kolektif dalam menjalankan sistem pemerintahan untuk memahami dan menyelesaikan persoalan agraria di NTT. Mulai dari perspektif, perencanaan hingga implementasi.
Menurut WALHI, Gubernur NTT lemah dalam melakukan konsolidasi birokrasi mulai dari protokoler hingga dinas teknis dalam kepastian hukum atas tanah dan membangun komunikasi dengan rakyat.
Serta buruk atau tidak bergeraknya fungsi pengawasan, kebijakan dan anggaran di DPRD NTT sehingga yang tampak gubernur melakukan One Person Show bukan One System Show.
“Peristiwa-peristiwa konflik yang terjadi juga diakibatkan oleh terjadinya distorsi tata kelola kelembagaan adat dalam konteks agraria di NTT,” ujar Umbu Wulang.
Untuk itu pesan WALHI NTT, DPRD harus bertindak proaktif untuk ikut menyelesaikan masalah rakyat yang berkaitan dengan ruang penghidupannya sebagaimana mandat konstitusi.
WALHI NTT memprediksi akan meluasnya konflik agraria kedepannya bila tidak diselesaikan secara komprehensif dan makro antara eksekutif dan yudikatif
baca juga : Gubernur NTT Didesak Batalkan Izin Tambang dan Pabrik Semen di Manggarai Timur. Kenapa?
Mengingat reputasi Gubernur yang dikenal temperamen tinggi, WALHI menyarankan gubernur untuk menghentikan aktivitas menyelesaikan persoalan teknis agraria di tingkat tapak.
“Gubernur perlu untuk mengkonsolidasikan dinas terkait dan teknis untuk menyelesaikan persoalan teknis dan substansi di tingkat tapak pembangunan sebagaimana tupoksi yang berlaku,” tegas Umbu Wulang.
Dia juga minta pemerintah menghentikan praktek para mafia dan makelar tanah yang bertindak di luar koridor hukum dan kepantasan etika atau pranata masyarakat adat.
Sarannya, dalam jangka pendek menyelesaikan kasus kasus agraria yang cenderung menguap di NTT dalam 3 tahun terakhir. Pemerintah harus membentuk Kelompok Kerja Agraria dan Wilayah Kelola Rakyat di NTT.
“Ini penting untuk melakukan audit agraria, evaluasi menyeluruh serta memberikan rekomendasi dalam konteks kearifan adat lokal, reforma agraria dan kepastian hukum agraria di NTT. Termasuk untuk pencegahan serta penyelesaian konflik agraria di NTT,” ucapnya.
Umbu Wulang minta pemerintah provinsi melakukan konsolidasi dengan seluruh kabupaten dan kota guna memastikan kepastian hukum perlindungan masyarakat adat, pranata hingga ruang penghidupannya.
baca juga : Walhi NTT Menolak Pembangunan Kolam Apung di Lembata, Ada Apa?
Pemerintah provinsi harus memastikan daya dukung dan daya tampung lingkungan sebelum melakukan pembangunan atau mengundang investor. Harus menjamin kepastian hukum wilayah kelola rakyat dan berupaya mempersempit ketimpangan agraria di NTT
Ia juga meminta masyarakat adat melakukan konsolidasi dan revitalisasi kelembagaan masyarakat adat untuk kembali ke khitahnya sebagai komponen utama dalam distribusi tanah ulayat yang berkeadilan bagi masyarakat adat sebagai wilayah kelolanya.
“Misalnya mengembalikan makna tanah ulayat sebagai kepemilikan bersama, bukan kepemilikan individual atau tokoh tertentu,” tegasnya.
WALHI meminta publik untuk mengawal, mengontrol dan mengawasi kinerja pemerintahan dalam penyelesaian masalah agraria dan lingkungan hidup di NTT.
Umbu Wulang katakana pemerintah harus melakukan refleksi dan evaluasi.Harus dijadikan momentum konsolidasi keadilan ekologis, reforma agraria sejati, pengakuan dan perlindungan wilayah kelola rakyat, peka bencana agar keadilan antar generasi dapat terwujud di NTT.
Keterangan foto utama : Pertambangan Mangan di Desa Supul, Kecamatan Kuatnana, Kabupaten Timor Tengah Selatan, NTT. Foto : Jatam