Mongabay.co.id

Sengkarut Bermitra dengan Perusahaan Negara, Utang Koperasi Petani Sawit di Riau Lebih Seratus Miliar

Pekerja tengah panen sawit perusahaan. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Puluhan aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Pekanbaru, membawa petani dan pekerja Koperasi Petani Sawit Makmur (Kopsa M), di gedung DPRD Riau, Oktober lalu. Mereka ditemui Syafaruddin Poti, Wakil Ketua DPRD.

Keluhan petani disampaikan Nurul Fajri, mewakili pengurus Kopsa M, Desa Pangkalan Baru, Kecamatan Siak Hulu, Kampar, Riau. Dia, menjelaskan sejarah awal kerjasama sampai hal-hal yang memicu konflik.

Pada 25 Juni 2001, ninik mamak empat suku: Maliling, Domo, Dayun serta Melayu, memberi mandat pada Kopsa M. Melalui koperasi ini, mereka menyerahkan pengelolaan 4.000 hektar lahan untuk jadi perkebunan sawit ke PTPN V.

Kerjasama ini, dikenal dengan hubungan bapak dan anak angkat. Dengan kata lain, pengelolaan pola Kredit Koperasi Primer Anggota (KKPA).

Alasan masyarakat, kala itu mereka tergiur karena melihat penduduk transmigrasi sejahtera dengan memiliki kebun sawit. Dengan mengikuti jejak serupa, masyarakat berharap dapat meningkatkan perekonomian dan mengentaskan kemiskinan.

Berdasarkan surat pernyataan penyerahaan hak atas tanah ulayat, 1 Agustus 2001, sekitar 4000 hektar yang diserahkan ke PTPN V antara lain, kebun inti PTPN V 500 hektar, kebun plasma Kopsa M 2.000 hektar serta kebun sosial kemasyarakatan Pangkalan Baru 1.500 hektar.

Penyerahan ditandatangani Ketua Kopsa M pertama, Sapri. Penerimaan diteken Mardjan Ustha, Direktur SDM/Umum PTPN V.

Pada 17 Juni 2002, Mardjan Ustha membalas surat permohonan kemitraan usaha dari Kopsa M. Intinya, PTPN V menyetujui tawaran itu. Tetapi, katanya, ada beberapa persyaratan mesti dilengkapi lagi oleh koperasi. PTPN V juga memberitahu, pembangunan kebun sawit pola KKPA akan bertahap setelah bank pelaksana mengucurkan dana.

Selanjutnya, Kopsa M diminta menyusun proposal rencana pembangunan kebun, juga buat berita acara penyerahan lahan untuk kebun inti 500 hektar tanpa ganti rugi yang diketahui ninik mamak. Beberapa persyaratan lain muncul harus dilengkapi, setelah ada persetujuan dari perbankan sebagai penyandang dana.

Pelaksanaan pembangunan kebun sawit pola KKPA baru mulai pada 2003. Ia dikerjakan dengan bertahap dan disepakati dalam tiap surat perjanjian kerjasama. Pembangunan pertama seluas 200 hektar untuk 100 keluarga dengan modal dari Bank Mandiri, Jakarta.

 

Baca juga: Buruh Sawit Koperasi Makmur di Kampar Menanti Kejelasan Upah

Kantor Kopsa M di Pangkalan Baru, Kecamatan Siak Hulu, Kampar, Riau. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

Tahap kedua seluas 950 hektar untuk 475 keluarga masih dibiayai bank sama. Tahap akhir seluas 500 hektar untuk 250 keluarga yang kali ini dibiayai PT Bank Agro, Jakarta.

Di sinilah, pengurus Kopsa M periode 2016-2021 mulai mencium ketidakberesan. Merujuk tiga surat perjanjian kerjasama antara PTPN V dengan Kopsa M, luas kebun yang dibangun hingga 2006, hanya 1.650 hektar untuk 825 keluarga. Kurang 350 hektar lagi dari usulan pembangunan sesuai penyerahan awal.

 

Utang tak sesuai kondisi kebun

Pengurus koperasi mensinyalir ada surat perjanjian kerjasama yang dihilangkan atau tidak dibuka oleh PTPN V. Pasalnya, dalam surat pengakuan utang dari Bank Agro, luas kebun yang dibangun tercatat 2.050 hektar. Bahkan dalam peta kerja PTPN V yang pernah dilihat pengurus koperasi, luas pembangunan kebun sawit justru 2.100 hektar.

Ketidaksingkronan data itu kemudian jadi keberatan pengurus koperasi yang diketuai Anthony Hamzah, sejak 2016 dan berakhir Desember ini. Sebab, beban utang pembangunan kebun yang terus membengkak harus ditanggung petani peserta yang juga pengurus koperasi.

Sejak 2006, Kopsa M sudah diklaim memiliki utang Rp54 miliar. Jumlah itu dinilai pengurus koperasi tidak masuk akal. Bila merujuk keputusan Direktur Jenderal Perkebunan 2007, tentang satuan biaya perluasan sawit kemitraan untuk wilayah Riau hanya Rp24, 980 juta per hektar.

Katakanlah, dia bilang, PTPN V membangun 2.100 hektar, berdasarkan peta kerja. Utang yang diklaim ke Kopsa M mestinya hanya Rp52,4 miliar. Bila dikalkulasi dengan luasan 2.050 hektar, berdasarkan surat pengakuan utang dari Bank Agr0, jumlah tentu lebih kecil, Rp51,2 miliar. Apalagi, bila dihitung berdasarkan tiga surat perjanjian kerjasama yang hanya membangun 1.650 hektar. Jumlah utang yang ditanggung Kopsa M pada 2006 harusnya cuma Rp41,2 miliar.

“Kami hanya dapat standar biaya pada 2007. Kalau dihitung pada pembangunan kebun sejak 2003 sampai 2006, mungkin standar lebih kecil. Kami mencurigai ada korupsi atau penggandaan pembiayaan pembangunan kebun yang melanggar SK Dirjenbun,” kata Nurul.

Pada 2012, utang Kopsa M bertambah jadi Rp79 miliar. Terdiri dari utang ke Bank Agro dan PTPN V sendiri. Karena PTPN V sebagai avalis atau penjamin, perusahaan negara itu yang langsung membayar cicilan ke Bank Agro. Jadi, Kopsa M mencicil utang ke perusahaan pelat merah itu. Dalam hal ini, koperasi tidak pernah berurusan uutang-piutang dengan perbankan sebagai pembiaya pembangunan kebun.

Rupanya, hasil penelusuran pengurus koperasi, PTPN V bayar cicilan utang ke Bank Agro bukan dari hasil produksi kebun. Melainkan dana talangan yang kemudian jadi pokok utang bagi petani atau pengurus koperasi.

“Pertanyaan kami, ke mana hasil kebun selama ini? Artinya, itu salah satu indikator kebun gagal karena tidak mampu bayar utang. Padahal masih dalam pengelolaan PTPN V.”

 

Kebun sawit di lahan Koperasi Sawit Mandiri. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

Pada 2013, pengurus Kopsa M mendapat informasi, semua utang ke Bank Agro ditutup. Namun, PTPN V mengagunkan kembali lahan Kopsa M ke Bank Mandiri Rp83 miliar. Pengurus koperasi tidak dapat mengecek asal-usul penambahan Rp4 miliar dari utang terakhir, karena dana pinjaman itu tidak masuk ke rekening koperasi, melainkan langsung ke rekening PTPN V.

Menurut Nurul, petani dan pengurus koperasi telah dibodoh-bodohi perusahaan negara.

Singkat cerita, pada 2017, awal menjabat sebagai ketua koperasi, Anthony Hamzah dan badan pengawas Kopsa M, menolak pengakuan utang yang disodorkan PTPN V karena makin membengkak sampai Rp115 miliar.

Sampai 2021, Kopsa M terus diklaim utang mencapai Rp140 miliar. Anthony minta audit investigasi independen untuk mencari tahu penyebab utang koperasi menggunung padahal kebun masih dalam pengelolaan PTPN V.

Hasil pengecekan pengurus koperasi, kredit di Bank Mandiri akan berakhir pada 2023. Hingga tahun itu, koperasi akan menanggung beban utang ke PTPN V sebesar Rp183 miliar. Urusan cicilan ke Bank Mandiri langsung autodebit dari rekening PTPN V. Utang tersisa di Bank Mandiri Rp27 miliar.

“Pengurus Kopsa M sebenarnya punya itikad baik. Sejak 2017, koperasi tetap bayar utang ke perusahaan sesuai hasil produksi dan kemampuan. Sebab koperasi juga harus memperbaiki kebun,” kata Nurul.

Sejak Anthony mengendalikan koperasi, rutin timbun jalan, infrastruktur lumayan bagus dan produksi terus meningkat.

Pengurus Kopsa M, harus rajin memperbaiki kebun. Pasalnya, kebun yang dibangun PTPN V justru dalam kondisi gagal.

Bupati Kampar, Azis Zainal, kala itu, pernah memerintahkan Dinas Perkebunan untuk penilaian fisik. Ternyata, areal yang dapat dinilai hanya 369 hektar. Rekomendasinya, kebun Kopsa M yang bermitra dengan PTPN V sebanyak 46 blok atau 1.415 hektar harus diremajakan.

“Intinya, hasil penilaian saat itu, kebun dalam keadaan sangat kacau. Tidak sesuai dengan kewajiban utang yang tiap tahun ditagih ke koperasi,” ucap Nurul.

Dalam kesempatan lain, seorang ninik mamak Suku Maliling, cerita, ketika jadi badan pengawas koperasi, pernah menyerukan PTPN V membangun jalan, supaya memudahkan pengelolaan kebun.

Hasil produksi yang diterima petani jauh dari maksimal. Pendapatan petani kala itu paling besar Rp50.000 bahkan pernah Rp17.000 per bulan. Pernah juga tak terima hasil sama sekali.

“Kalau dibanding satu sawit di belakang rumah saya, bisa mendapatkan Rp45.000 tiap bulan. Jauh lebih besar ketimbang hasil produksi dua hektar kebun yang dimitrakan dengan PTPN V.”

Kalau saja bisa, mereka ingin cabut saja sawit-sawit itu dan kembalikan ke PTPN V. “Biarlah mereka mulai dari awal lagi dan tanam sendiri saja.”

Saat ini, karena kebun tak kunjung beralih dari PTPN V ke Kopsa M, petani belum tahu letak kaplingan mereka. Hasil produksi 369 hektar sawit itu terpaksa dibagi rata ke 997 petani.

Ketika kepengurusan Anthony Hamzah, kebun barangsur-angsur diperbaiki. Begitu juga infrastruktur di dalamnya seperti jalan atau akses panen maupun barak pekerja.

“Dengan terseok-seok, sekarang, kebun sudah terbenahi 823 hektar. Secara tanaman hanya 600 hektar yang berhasil produksi,” kata Nurul.

 

Penyerahan laporan pengurus Kopsa M kepada Wakil Ketua DPRD Riau. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

Celakanya, sebagian kebun plasma Kopsa M, itu justru dikuasai pihak-pihak lain. Pada 2008, petani mulai bergejolak terhadap penjualan kebun yang ditanam sawit itu. Pernah terjadi demonstrasi, bentuk koalisi dan aliansi yang berujung pembakaran. Seorang ninik mamak dari Suku Maliling, sempat kena hukum tetapi tidak ditahan, hanya wajib lapor selama satu tahun.

“Sejak itu, perlawanan selalu dilakukan masyarakat. Bahkan pernah menyurati presiden.”

Curhat para petani dan pengurus koperasi hari itu baru masuk dalam catatan DPRD Riau. Syafaruddin Poti, mengatakan, akan menindaklanjuti masalah kerjasama yang sudah belasan tahun itu dengan memanggil para pihak terkait. Pembahasannya juga akan melibatkan sejumlah komisi.

PTPN V belum menanggapi upaya konfirmasi Mongabay. Surat permohonan wawancara dikirim ke kantor perusahaan di Jalan Rambutan No 43, Kelurahan Sidomulyo Timur, Kecamatan Marpoyan Damai, Pekanbaru, sejak 25 Oktober lalu.

Rudi, pegawai bagian tata usaha mengatakan, surat sudah di meja Direktur PTPN V, Jatmiko Krisna Santosa. Katanya, masih dalam proses dan akan dihubungi setelah dijadwalkan. Hingga berita rilis, belum ada jawaban.

Ali Junjung Daulay, Ketua PMII Pekanbaru, berharap anggota dewan memfasilitasi penyelesaian konflik antara Kopsa M dengan PTPN V. Lebih dua bulan, petani dan pekerja tidak terima gaji hasil panen bauh sawit karena PTPN V tidak menandatangani pencairan gaji di rekening bersama.

“Kami mengetahui ada Rp3,4 miliar uang petani dan pekerja yang mengendap di rekening. Kami berharap diberikan ruang diskusi antara koperasi dan perusahaan untuk mencari titik temu penyelesaian masalah.”

Masyarakat, katanya, malah kelaparan ketika harga sawit melonjak sampai Rp 3.000 per kilogram.

 

******

Foto utama: Ilustrasi. Petani sawit yang tergabung dalam Kopsa M di Riau, kebingungan, persoalan pengelolaan lahan belum tuntas, utang yang diklaim PTPN V buat koperasi menggunung.  Foto:  Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

Exit mobile version