Mongabay.co.id

Menjaga Batik Jambi

Batik Jambi bikinan Fatia, Foto: Elviza Diana/ Mongabay Indonesia

 

 

 

Tangan Fatia, cekatan menggerakkan canting ke  tiap sudut lembar kain putih sepanjang dua meter itu. Perempuan 60 tahun ini tengah membuat motif batik durian pecah khas Jambi yang melegenda.

Fatia menghabiskan sebagian hidupnya dengan membatik. Batik bukan saja sebagai sumber pencaharian, juga semangat dan cinta.  Sejak 1981, Fatia menggeluti usaha ini, kemudian dilanjutkan anak laki-lakinya untuk membantu pemasaran. Gegap gempita batik tulis, sablon , Fatia tetap saja menggunakan canting untuk menulif berbagai motif kain batiknya.

Di sudut rumah ada gawangan ( alat untuk menggantungkan dan membentangkan mori atau kain waktu membatik). Dia mematikan kompor yang menjerang wajan tempat lilin (malam) yang ditorehnya pada canting. Dia duduk di sebuah bangku kecil terus menorehkan lilin ke atas kain.

“Untuk teknik canting tulis harga cukup mahal, karena proses pengerjaan cukup lama dan harus digambar terlebih dahulu,” katanya.

Untuk mewarnai kain, Fatia masih pakai beberapa pewarna alami antara lain dari pohon kayu tinggi dan buah jengkol untuk menghasilkan warna merah.

Dalam proses pengelolaan pohon kayu tinggi, hingga menjadi bahan perwarna batik dia lakukan dengan beberapa langkah.

“Kayu tinggi kita rebus, sampai jadi air. Kemudian, dari air itu menghasilkan warna coklat,” katanya.

 

Kain batik Jambi. Foto: Elviza Diana/ Mongabay Indonesia

 

Batik, salah satu warisan kebudayaan nusantara.  Penetapan batik sebagai warisan kemanusiaan bidang budaya lisan dan non bendawi (masterpiece of the oral and Intangible heritage of humanity), oleh UNESCO pada 2 Oktober 2009. Sejak itu,  secara resmi dunia mengakui batik merupakan budaya asli Indonesia.

Berdasarkan catatan, batik di Jambi ada sejak masa kesultanan Melayu di Jambi. Saat itu, motif batik berupa flora dan fauna.

“Corak motif batik Jambi diambil dari flora dan fauna. Salah satunya bungo kaco piring,” kata Ega Renta Mulia, Duta Batik Budaya Jambi.

Sayangnya, pada masa kesultanan Melayu di Jambi, batik hanya untuk kalangan atas saja. “Dulu, batik hanya oleh masyarakat kalangan atas saja karena harga mahal.”

 

Ragam motif Jambi dan alam

Motif batik Jambi memiliki corak dan karakter ceplok-ceplok yang berarti, setiap motif itu berdiri sendiri-sendiri tidak bertangkai. Ia terpadu antara motif satu dengan motif lain, yaitu motif pokok dan motif isian.

Motif batik Jambi mempunyai satu kesenian dari elemen-elemen yang terdiri dari titik, warna, dan tekstur. Kombinasi elemen ini, merupakan wujud keindahan melalui pengulangan, pusat perhatian, keseimbangan dan kekontrasan yang mempunyai bobot kultur setempat, opini dan nilai-nilai filosofis.

Motif batik Jambi sudah menghasilkan banyak bentuk ragam hias seperti, motif tumpal (pucuk rebung), kapal sanggat, tampuk manggis, batanghari, merak ngeram. Lalu, motif duren pecah, bungo kaco piring, angso duo, bungo melati dan kuao berhias.

Setiap motif batik itu, katanya, memiliki makna dan filosofis sendiri-sendiri.

 

Proses pembuatan batik Jambi. Foto: Elviza Diana/ Mongabay Indonesia

 

Berdasarkan artikel E.M Gosling dalam Mingguan Kolonial “Timur dan Barat” Nomor 52/1920 dan nomor 2/1930, penemu batik di Kota Jambi adalah Tasilo Adam. Dia juga yang menyebar berita pada Januari 1928, lalu menyebar kepada rakyat dengan perantara Resident Jambi yaitu Tiruan Ezarman.

Berdasarkan tulisan itu, hasil kerajinan batik Jambi telah berkembang sejak zaman dahulu turun temurun di penduduk kampung tengah atau yang terletak di seberang Kota Jambi.

Keterangan ini diperkuat dengan ada bukti berkas Resident Jambi tahun 1918-1925 bernama H.I.C.Petri, yang memiliki batik merah sebanyak lima helai. Ada selendang indah dipandang mata dan dibuat dengan teliti, diberi warna merah dengan warna dasar hitam dan sedikit biru. Dia memperoleh selendang itu pada 1920 saat bersama Ny.Bekker mengunjungi kampung itu.

Bukti lain juga menerangkan, sehelai selendang sutera berasal dari Jambi tersimpan di Kolonial Institut Vakenkunde No. 556/23.

Kerajinan tangan batik Jambi dikenal juga sulam benang emas dan tenun ikat (songket).

Hasil kerajinan tangan batik, sulam benang emas dan tenun ikat (songket) dari Jambi, dikerjakan beberapa orang saja demi kepentingan daerah Jambi. Lambat laun hanya tinggal nama karena resep kerajinan terkubur bersama para pembuatnya pada 1920. Hasil kerajinannya berupa ikat kepala, selendang sarung, ikat pinggang, dan celana.

Datuk Zainul Bahri, tokoh adat sekaligus perajin batik bilang, banyak filosofi dalam setiap motif batik Jambi terutama soal alam dan lingkungan.

Seperti motif batik angso duo, katanya, ada cerita di baliknya. Motif itu menggambarkan dua angsa yang sedang berhadapan. Ia bermakna setiap orang haruslah selalu berusaha mencari tempat yang lebih baik.

“Motif merak ngeram menggambarkan kasih sayang seorang ibu kepada anak,” kata Bahri.

Filosofi motif tampuk manggis yang berisikan kebudian luhur. Biarpun manggis itu jelek, jatanya, tetapi tidak pernah berbohong. “Bila tampuknya lima tetap isinya lima.”

 

Limbah batik

Ada ratusan perajin batik di Jambi. Data Disperindag Jambi 2009, ada sekitar 224 perajin batik di Jambi. Di Kota jambi ada 129 orang, Batanghari (52), Sarolangun (15), Merangin (10), Tebo (4 ), dan Kabupaten Bungo (14).

Dalam proses pembuatan batik Jambi sejumlah perajin masih kesulitan menangani masalah limbah.

Seperti dirasakan Zhorif, perajin batik di Kelurahan Ulu Gedong, Kecamatan Danau Teluk, Kota Jambi.

Dia bilang, limbah batik belum bisa dikelola kembali.

“Itu kendalanya. Saat ini cuma bisa dibuang dalam bak.”

Dari laporan status lingkungan Hidup daerah Kota Jambi pada 2015, Sungai Batanghari selain untuk berbagai kebutuhan juga banyak menerima berbagai buangan limbah.

Berdasarkan analisis kualitas air Sungai Batanghari oleh Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kota Jambi 2015, menunjukkan, demand oxygen (DO), biological oxygen Demand (BOD), chemical oxygen demand (COD), total suspended solid (TSS) , total dissolved solid (TDS), dan power of hydrogen (pH), hampir semua melebihi baku mutu. Baik pengukuran di hulu, tengah maupun hilir saat musim hujan maupun kemarau.

Hasil penelitian Indar Kustiningsih, dan Denni Kartika Sari dalam Jurnal Teknika, tahun 2017 mengenai standar baku mutu konsentrasi maksimum methylene blue yang boleh dalam badan perairan 5-10 mg/L.

Menurut Peraturan Daerah Jambi Nomor 6/2017, standar baku mutu air yang tercemar yaitu BOD ≤3 mg/L dan COD ≤25 mg/L.

Methylene blue (MB), salah satu zat warna sintesis yang sering digunakan dalam industri batik karena harga relatif murah dan mudah didapat. Penggunaan warna sintesis ini akan menimbulkan masalah ketika limbah dibuang ke lingkungan seperti perairan.

Zat warna ini, katanya, dapat menyebabkan iritasi pada saluran pencernaan kalau tertelan, menimbulkan sianosis jika terhirup, dan iritasi pada kulit jika tersentuh.

Zhorif berharap, pemerintah segera memfasilitasi pengelolaan limbah di masing-masing sanggar batik.

“Harapannya, pemerintah membuatkan satu tempat pengelolaan limbah untuk satu perajin. Jadi, tidak sulit. Biar lingkungan tidak tercemar.”

 

*****

Foto utama: Batik Jambi bikinan Fatia, Foto: Elviza Diana/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version