Mongabay.co.id

Pembangunan Rel Kereta akan Ledakkan Bukit Karst di Pangkep

 

 

 

Bukit kapur di Kampung Sela, Desa Mangilu, Kabupaten Pangkajene Kepulauan (Pangkep), Sulawesi Selatan itu seperti undakan dengan puncak runcing. Di sekeliling kakinya, ada bambu begitu rapat. Sawah di sekitar dan aliran Sungai Pangkajene nan lebar bermuara di lautan pada sisi lainnya.

Pada masa tertentu, bukit itu jadi tempat Macaca maura, spesies monyet endemik di Sulawesi bermain dan mencari makan.

Bukit karst itu berdiri tunggal. Tebing penuh ceruk dan beberapa berupa terowongan pendek. Di bagian lain ada gua. Tebing menjulang sekitar 50 meter dengan luasan sekitar dua hektar. Bukit ini bagian dari bentang karst Maros– Pangkep seluas 158.977 hektar.

Segala pemandangan itu akan berakhir. Bukit ini akan jadi bagian yang diledakkan demi jalur kereta api.

Pembangunan rel kereta api di Sulawesi Selatan ini, mulai sejak 2015. Ia masuk program strategis nasional dan peresmian pada November 2015 oleh Presiden Joko Widodo.

Rel ini akan membentang sepanjang 144 kilometer dari Makassar menuju Parepare. Secara keseluruhan disebut sebagai proyek perkeretaapian Trans Sulawesi dengan target mencapai 2.000 kilometer dari Makassar ke Manado.

Pada fase pertama pembangunan, di Kabupaten Barru, menuju Pangkep dan Maros, hingga menembus Makassar. Proyek pengembangan ini pakai anggaran negara Rp9 triliunan. Selama lima tahun pembangunan, rel kereta yang terpasang sekitar 42 kilometer.

 

Proses pemasangan perangkap Macaca maura di sekitar bukit karst di Pangkep, yang akan diledakkan untuk jalur rel kereta api. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Pada 1 Desember 2021, saya menapaki puncak bukit itu. Istirahat di bibir gua nan sejuk dan hangat. Di bagian dinding dan plafon gua, saya menyaksikan tetesan air, bergerak membawa garam dan membungkus beberapa bagian.

Beberapa reptil seperti kadal terlihat berlarian. Juga burung kadalan Sulawesi dengan sayap coklat melintas hinggap di ranting bambu. Kicauan kutilang, terdengar.

Tepat di depan mulut gua, tiga pohon sudah ditumbangkan sebagai bagian dari proses peledakan. “Ini kami baru mulai. Tapi melihat ada monyet, jadi kami melapor dulu,” kata Bayu, pelaksana proyek rel kereta api dari PT Celebes Railway Indonesia (CRI).

Bayu melaporkan temuan Macaca maura, di bukit itu pada Senin 29 November 2021, jelang sore ke Kantor Balai Besar Konservasi Sumberdaya Alam (BBKSDA) Sulawesi Selatan.

Dia bilang, monyet dilihat seorang pekerja dan difoto. “Saya cari-cari di internet, ternyata ini dilindungi. Jadi, kami tidak mau kelak ada apa-apa, kalau proses peledakan berjalan.”

Sehari kemudian, Rudi Ashadi, Tim Wildlife Rescue Unit dari BBKSDA, mendatangi lokasi dan membawa kandang perangkap monyet serta senapan bius. Mereka duduk di sekitar bukit menunggu monyet, belum ketemu. Selanjutnya, 1 Desember, tim memasang kandang perangkap di kaki bukit searah gua.

Mereka menggantung pisang dalam kandang jeruji dan membuat kamuflase kawat dengan menggantungkan beberapa ranting pohon berdaun. Kandang itu dibiarkan selama tiga hari, tetapi tak satu pun monyet terjebak. “Ini upaya evakuasi satwa. Jadi, kalau kami hanya bicara mengenai evakuasi itu,” katanya.

 

PT CRI menandai area karst yang akan diledakkan untuk jalur kereta api dengan tebangan pohon, di Pangkep. Foto: Eko Widianto/ Mongabay Indonesia

 

Rudi tak keliru secara kewenangan. Bukit itu bukanlah area konservasi yang jadi fokus BBKSDA. Juga bukan bagian dari wilayah Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung, ataupun satuan Kelompok Pengelola Hutan Bantimurung-Bulusuraung.

Organisasi lain, seperti Badan Pengelola Geopark Maros-Pangkep, tak berkomentar karena tak mengetahui rencana peledakan.

Pengelola Geopark yang saya mintai konfirmasi dalam grup yang merangkul beberapa pejabat Pemerintah Daerah Maros dan Pangkep, hanya meminta informasi awal di-share agar mereka bisa menindaklanjuti.

Siapa badan atau lembaga yang bertanggung jawab pada bukit kecil itu? Siaiapun itu, yang pasti bukit itu merupakan habitat alamiah Macaca maura.

Seorang warga Kampung Sela, mengatakan, kalau monyet-monyet biasa banyak datang saat kemarau. Kawanan itu akan bermain di tebing dan sela rumpun bambu.

Tak ada penelitian mengenai bukit itu tetapi bukit karst yang berdiri terpisah, memungkinkan memiliki endemisitas tinggi. Ada tanaman ataupun satwa dalam lingkungan itu, yang kemungkinan belum teridentifikasi tetapi penting.

 

Tak ada kajian

Luasan karst di bentang Maros-Pangkep ini terbagi menjadi tiga: kawasan lindung 6.441 hektar, dengan 4.232 hektar dalam Taman Nasional Bantimurung-Bulusuraung, dan 593 hektar di hutan lindung. Kemudian, 1.219 hektar pada zona hutan produksi terbatas dan 36 hektar di areal penggunaan lain.

Bukit karst di Kampung Sela ini berada di areal penggunaan lain, namun bagian Kawasan Ekosistem Esensial (KEE) seluas 24.413 hektar. KEE disahkan melalui Peraturan Daerah Sulawesi Selatan Nomor 3/2019.

Dengan jadi KEE itu menyatakan, kawasan itu sebuah tatanan karst di bawah permukaan dan di permukaan tanah dengan semua benda, daya, keadaan dan makhluk hidup yang merupakan satu kesatuan utuh menyeluruh dan saling mempengaruhi dalam membentuk keseimbangan, stabilitas dan produktivitas lingkungan hidup.

Bentangan bukit ini menyediakan pasokan air bersih untuk Kabupaten Maros, Pangkep, hingga Makassar.

PT CRI, sebagai pelaksana proyek rel, juga belum memastikan apakah ada hidrologi aliran bawah tanah dalam bukit itu atau tidak. “Kami tidak tahu, karena tidak ada alat deteksi seperti itu,” kata Bayu.

Bayu hanya memandang bukit itu sekilas. Sementara deteksi flora dan fauna tak ada dalam bayangannya. “Ini kita akan liat nanti. Mungkin saja kita hanya akan ambil sebagian, tidak semua. Kan bagus juga, kalau misalkan kereta melewati tebing karst,” katanya.

 

Makam keramat Jota di bukit karst yang akan diledakkan di Pangkep. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Mukhlis, Plt Kepala Desa Mangilu mengatakan, mereka selalu mendukung program pemerintah. “Apalagi untuk kepentingan bersama.”

Baginya, rencana meledakkan bukit, akan membawa dampak baik bagi warga sekitar karena dalam pembongkaran akan melibatkan masyarakat setempat. “Jadi, nanti anak-anak di kampunglah yang ditugaskan untuk lakukan peledakan, itu kesepakatannya?”

Selain flora dan fauna dari ekosistem bukit itu, terdapat pula tiga makam yang jadi tempat ziarah warga. Ia dikenal sebagai lokasi keramat Pekuburan Jota. Makam itu, dipercaya sebagai orang yang memiliki keahlian dan penyebar kebaikan.

Pada waktu tertentu ada ritus attauriolong (ritus lampau) Masyarakat Pangkep dan ritual mappangolo (ritus menebus nazar). CRI akan memindahkan makam keramat Jota sekitar 200 meter dari tempat awal.

Kalau makam Jota ini berpindah, inilah kali ketiga. Pertama, makam itu di kawasan bukit yang jadi bagian dari konsesi PT Semen Tonasa. Karena tempat jadi lokasi penambangan, makam pindah ke kaki Bukit Sela. Sekarang, nasibnya, pun tak jauh berubah, makam di sela karst itu bakal dibangun rel kereta api dan berpindah ditempat yang kini disediakan CRI.

Ngakan Oka, Guru Besar Kehutanan Universitas menilai, kalau pembangunan rel memang sebaiknya lurus. Di Jepang, sebagai contoh, kalau harus menabrak gunung biasa akan dilubangi. “Masalahnya kalau ekosistem karts kan ada ekosistem endokarstnya hingga harus dipertimbangkan.”

Seharusnya, kata Hasanuddin, rancang awal rute belok rel bisa menghindari atau tak menabrak bukit.

Dia bilang, kemungkinan kalau analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) dilakukan dengan baik dan bertanggung jawab bisa jadi rujukan dalam mengambil keputusan.

Untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang terus meningkat, katanya, memang perlu pembangunan. Meskipun begitu, pembangunan yang tidak memperhatikan keberlanjutan alam hanya akan meberikan kesejahteraan sesaat dan semu. “Pada akhirnya justeru menyengsarakan masyarakat dalam jangka panjang.”

 

******

Foto utama: Bukit tunggal karst di Kampung Sela, Pangkep, yang akan diledakkan untuk rel kereta. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

Exit mobile version