Mongabay.co.id

Abrasi di Jawa Tengah Capai 7.957 Hektar

 

 

 

 

 

Pasang air laut dampak perubahan iklim, maupun penurunan muka tanah menyebabkan kota-kota di kawasan pesisir Pantai Utara (Pantura) Pulau Jawa, terancam tenggelam. Abrasi terjadi gila-gilaan, seperti di pesisir Jawa Tengah, saja sudah mencapai 7.957,89 hektar.

Peni Rahayu, Asisten Bidang Ekonomi Pemerintah Jawa Tengah mengatakan, di pesisir Jateng terjadi penurunan tanah cukup besar. Di Kota Semarang, dari penelitian antara 2015-2020, terjadi penurunan antara 0,9-6 sentimeter per tahun. “Di Kota Pekalongan penurunan muka tanah terjadi antara 0-11 sentimeter,” katanya dalam webinar beberapa waktu lalu.

Penurunan tanah disertai peningkatan pasang laut ini akhirnya memicu abrasi di berbagai wilayah di Jawa Tengah. Dari kalkulasi yang dia lakukan, wilayah pesisir yang hilang dampak abrasi mencapai 7.957,89 hektar.

Dari angka itu, Kabupaten Brebes tercatat sebagai daerah paling parah mencapai 2.391,95 hektar, disusul Demak 2.218,23 hektar dan Semarang 1.919,57 hektar. Selain abrasi, Jawa Tengah juga mengalami penambahan daratan (akresi) dampak sedimentasi, mencapai 2.601,80 hektar.

Sama dengan abrasi, Brebes juga tercatat sebagai daerah dengan tambahan daratan paling luas, sampai 850,74 hektar, disusul Demak 389,30 hektar dan Kendal seluas 382,95 hektar.

“Beberapa kajian memprediksi kota-kota di pesisir Pantura akan tenggelam pada 2050. Butuh upaya signifikan agar itu tidak sampai terjadi,” kata Nadia hadad, Direktur Eksekutif Madani Berkelanjutan.

 

Baca juga: Kala Penurunan Tanah Picu Banjir di Pantura Jawa

Rumah-rumah pesisir d Demak, yang terdampak abrasi dan coba beradaptasi. Foto: A. Asnawi/ Mongabay Indonesia

 

Profesor Dewayany Sutrisno, pakar Geospasial mengatakan, ada banyak faktor kalau akhirnya pesisir Jawa Utara benar-benar tenggelam baik sisi antropogenik, perubahan iklim, hingga alih fungsi lahan.

Terkait kenaikan muka laut, katanya, ada tiga tipe penyebab yang bisa dikenali. Pertama, akibat lapisan es mencair yang dipicu peningkatan suhu global, kedua, sebagai akibat dari aktivitas tektonik. Ketiga, faktor relatif kondisi regional tertentu.

“Khusus pantura Jawa ini, lebih dominan karena unsur relatif sea level rise tadi. Termasuk aktivitas manusia,” katanya.

Berdasar penelitian yang pernah dia lakukan, beberapa daerah di Pantura Jawa alami abrasi cukup parah, salah satu di Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak, Jawa Tengah.

Garis pantai wilayah yang berbatasan langsung dengan Semarang ini mundur hingga delapan kilometer. ” Semarang juga. Cuma karena ada proyek pembangunan disitu, jadi tidak terasa,” katanya.

Di sisi timur Semarang, terjadi kemunduran garis pantai hingga 2.140,71 meter dan sisi barat 1.127,5 meter. Kota Pekalongan termasuk wilayah yang tak luput dari terjangan abrasi mencapai 2.231 meter.

Untuk mencegah abrasi berlanjut, katanya, pemerintah dan berbagai pihak menempuh berbagai cara. Salah satunya, menerapkan ekospasial ekosistem, misal, pakai kayu guna menangkap sedimen agar garis pantai kembali maju ke laut.

“Itu usaha-usaha itu belum maksimal, jadi perlu ditingkatkan levelnya untuk membantu mencegah kemunduran garis pantai ini.”

 

Faktor penyebab

Memahami penyebab sangat penting agar kemunduran garis pantai tidak terus terjadi. “Jadi, langsung pada inti penyebabnya. Contoh badan panas, tidak cukup dengan memberi obat penurun panas. Bahwa panas turun memang iya, tapi nanti pasti akan naik lagi karena tidak ke inti persoalan,” katanya.

Terkait perubahan fungsi lahan, dalam regulasi, pemerintah sudah mengatur keberadaan sabuk hijau sebagai pertimbangan penyusunan tata ruang. “Masalahnya, bagaimana dengan kota-kota yang bangunan sudah terlanjur menjorok ke pantai,” katanya.

Abdul Malik Sadat, Direktur Pengairan dan Irigasi Deputi Sarana dan Prasarana Bappenas, mengatakan, situasi Pantura Jawa sudah lama menjadi perhatian Bappenas.

Hasil pengamatan Bappenas, perairan Jawa mengalami peningkatan 0,8 sentimeter per tahun, penurunan tanah banyak terjadi karena pembangunan di wilayah pesisir serta pengambilan air tanah berlebihan.

Beberapa tempat di pesisir pantura yang mengalami penurunan muka tanah antara lain, Bekasi, Tangerang, Jakarta, Jawa Tengah hingga Jawa Timur.

 

Rumah yang ambles karena penurunan muka tanah. Foto: A. Asnawi/ Mongabay Indonesia

 

Menurut Malik, ada beberapa skenario yang disiapkan bersama para ahli guna mencegah penurunan muka tanah (land subsidence) ini, misal, dengan mengurangi penggunaan air tanah.

Berdasarkan perhitungan, penghentian penggunaan air tanah 50% saja, diyakini mampu menekan laju land subsidence dari dua sentimeter jadi delapan milimeter per tahun.

Hasil kajian di Cengkareng, Banten, jadi bukti land subsidence melambat seiring dengan kebijakan pasokan air.

Dalam lima tahun ini, Bappenas melalui rencana pembangunan jangka menengah, juga sedang lakukan pemetaan kawasan pesisir, seperti di Megapolitan Jabotabek, Cirebon Raya, Jawa Tengah hingga Gerbangkertasusila.

Salah satu misi pemetaan itu adalah mengkaji permasalahan dari hulu hingga hilir termasuk potensi air bersih di wilayah setempat dan progres saat ini adalah perbaikan tanggul kritis.

Pantura Jawa merupakan urat nadi perekonomian nasional. Di Jabodetabek saja, merujuk data Bappenas, terdapat 20.000 hektar kawasan industri dengan kebutuhan air baku mencapai 67 meter kubik per detik. Hal paling mendesak, katanya, penyediaan air bersih.

Menurut Malik, penghematan air irigasi demi mensuplai air baku menjadi salah satu opsi paling memungkinkan hingga bisa mengurangi penggunaan air tanah.

 

Tata ruang

Peni mengatakan, di luar persoalan abrasi, daerah-daerah juga mengalami persoalan penyusunan rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (RZP3K). Peta pantai yang menjadi dasar penyusunan merupakan peta 2013.

“Padahal, data dari Geospasial itu ada tahun 2017. Surat sudah beberapa kali kami kirimkan, tetapi tidak bisa kami dapatkan. Hingga dasar penyusunan RZP3K masih pakai data lama,” katanya.

Kenyataan itu tidak hanya terjadi di Jawa Tengah juga di seluruh Pulau Jawa. Dari sisi tata ruang, wilayah-wilayah yang dalam perkembangan terjadi perubahan jadi perairan laut, masih terpetakan sebagai daratan.

Dia contohkan, di Kecamatan Sayung, Demak, dalam empat tahun (2013-2017), garis pantai hilang mencapai lima kilometer lebih dan Kota Semarang sekitar 2,5 kilometer.

“Ini kalau kita lihat, berapa banyak sertifikat tanah yang hilang. Berapa banyak masyarakat yang kehilangan lahan atas kondisi itu.”

 

*******

Foto utama: Rumah berada di tengah ‘laut’ dampak abrasi. Foto: A.Asnawi/ Mongabay Indonesia

Exit mobile version