Mongabay.co.id

Catatan Pasca COP26: Membaca Arah Skema Energi Nasional Indonesia

Seorang teknisi sedang memasang PLTS atap. Foto : shutterstock

 

Bagaimana impresi para pegiat energi terhadap pidato Presiden Joko Widodo terkait dengan rencana iklim? “Tidak mengesankan”. Demikian vonis Fabby Tumiwa Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform, IESR, sebuah lembaga riset isu energi di Jakarta.

Dia berada di Glasgow mengikuti temu tahunan iklim PBB, Konferensi Para Pihak ke -26 (COP26) 31 Okt – 13 November sebagai pengamat.

Dalam pidato empat menitnya 1 November, Jokowi tidak mengumumkan rencana mitigasi iklim ambisius yang baru. Kontribusi yang ditentukan secara nasional (NDC) selaku rencana iklim Indonesia tetap sama dengan yang diungkapkan di Paris pada COP21 tahun 2015: target pengurangan emisi karbon sebanyak 29 persen pada 2030 dan 41 persen dengan kerjasama internasional.

Baca juga: Saat Kita Menunggu Pengumuman Penting Iklim Presiden Jokowi di Glasgow

 

Presiden Joko Widodo saat meresmikan PLT Bayu Sidrap 2 Juli 2018. Dok: Wantannas RI

 

Dalam sektor energi, Jokowi berkata Indonesia sedang mengembangkan mobil  listrik, kapasitas pembangkit listrik surya terbesar di Asia Tenggara, pemakaian energi baru  seperti biofuel, dan industri berbasis energi bersih termasuk kawasan industri hijau terbesar di dunia di Kalimantan Utara.

Jokowi minta negara-negara maju berkontribusi dalam pendanaan dan teknologi agar Indonesia juga akan dapat berkontribusi lebih cepat bagi net-zero emission (NZE) dunia. NZE berarti apapun emisi karbon yang terjadi masih bisa diserap oleh tanaman hijau dan teknologi carbon capture and storage (CCS), penangkapan dan penyimpanan karbon.

Batubara, bahan bakar fosil utama yang mendorong perekonomian Indonesia, secara gamblang tak disinggung dalam pidato Presiden.

Sektor pembangkit tenaga listrik Indonesia dikuasai bahan bakar fosil (82%) dengan batubara mengambil porsi tertinggi (63%) dalam membangkit tenaga listrik pada 2020, menurut Indonesia Climate Transparancy Report 2021 terbitan IESR.

Fabby berpendapat Jokowi layaknya mengulangi pernyataannya Mei lalu bahwa Indonesia tidak lagi bangun PLTU di luar program 35 Gigawatt yang diluncurkan pada awal periode pertama masa jabatannya 2014. Presiden seharusnya juga mengatakan Indonesia menjajaki pensiun dini PLTU sebesar 9,2 GW dalam 10 tahun.  

“Ini dan rencana akselerasi ET (energi terbarukan) lebih pantas disampaikan ketimbang hanya bicara mau bangun green industrial zone di Kaltara,” ujar Fabby ke saya secara daring.

Namun, untuk dicatat, Indonesia membuat langkah berarti di Glasgow.

Pada 3 November Indonesia, Filipina dan Bank Pembangunan Asia (ADB) mengumumkan sebuah kemitraan Mekanisme Transisi Energi (ETM). ADB menyediakan dana bagi akselerasi pensiun awal PLTU berbahan bakar batubara dan menggantikannya dengan PLTU bertenaga bersih. Sekira 9 GW PLTU tenaga batubara dapat dipensiunkan dalam waktu 10 – 15 tahun lagi.

Pemilik PLTU yang dipensiunkan itu bakal menerima kompensasi dan uangnya dapat ditanamkan untuk membangun PLTU energi baru, Fabby melanjutkan.

Jokowi jelas mengatakan juga di Glasgow bahwa carbon market dan carbon pricing harus menjadi bagian dari upaya penanganan isu perubahan iklim.

Di sisi lain, Greenpeace Indonesia menolak skema-skema  carbon offsetting karena itu hanya mengalihkan tanggungjawab emisi karbon. Pengurangan emisi karbon langsung dan masif harus dieksekusi industri ekstraktif, Greenpeace Indonesia berseru.

Jelas, sesi di COP26 mengenai hal-hal berhubungan dengan Pasal 6 Persetujuan Paris 2015 terkait dengan apa yang dinamakan buku aturan Paris yang mencakup pasar karbon dan aturan harga karbon telah menyelesaikan pekerjaannya.

Para jururunding telah menetapkan aturan pasar karbon global. Mereka setuju menghindari hitung ganda karbon. Mereka juga mengizinkan kredit karbon lama dari periode Protokol Kyoto 1997 untuk dipakai sesuai Pasal 6.

“Jadi, pasal 6 sudah diadopsi tapi masih ada kebutuhan diskusi dan negosiasi untuk detilnya agar implementasi dapat berjalan baik.” Demikian Kuki Soejachmoen, jururunding Indonesia dalam masalah Pasal 6.

Baca juga: COP26 dan Urusan yang Belum Rampung untuk Masa Depan Bumi

 

Aliran air yang dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan listrik Sumatera Utara dan Aceh berasal dari kawasan hutan. Indonesia melimpah dengan sumber daya air. Foto: Ayat S Karokaro/Mongabay Indonesia

 

Pada KTT kelompok 20 perekonomian dunia terbesar (G20) di Roma yang berlangsung sebelum COP26, Perdana Menteri Inggris Boris Johnson membujuk Jokowi untuk mempercepat target emisi nol karbon Indonesia dari 2060 menjadi 2050 seperti banyak negara lain.

Jokowi mengisahkan percakapan ini pada satu acara pasca-Glasgow 22 November. Acara itu adalah pembukaan konferensi dan eksibisi ke-10 mengenai energi baru dan terbarukan serta konservasi energi (EBTKE) yang diselenggarakan Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia, METI.

Di depan kalangan  peneliti, pejabat dan pemimpin dunia usaha, Jokowi berkata ia menjelaskan kepada Johnson dan para pemimpin dunia lain masalah batubara dan solusinya.    

Dalam kasus Indonesia, target NZE 2060 itu berkaitan dengan kontrak-kontrak membangun PLTU-2 berbahan bakar batubara yang sudah ditandatangani.

Indonesia punya daya 418 GW dalam energi terbarukan berupa tenaga surya, bayu, hidro, geothermal selain juga arus bawah air, kata Jokowi.

Tetapi, PLT-2 berbasis ET lebih mahal untuk dipasang katimbang PLT-2 berbahan bakar batubara. Pertanyaannya ialah bagaimana mencari dana untuk membayar selisih harga itu. Jokowi berseru kepada para peserta konferensi untuk membuat skema-skema rinci bagaimana selisih harga itu dapat ditutup.

Sebagai satu solusi untuk mengakhiri pemakaian batubara, Jokowi menyatakan di Indonesia ada 4.400 sungai besar dan sedang yang memiliki dayahidro banyak. Sebagai uji coba, ia memerintahkan pemanfaatan tenaga air di dua sungai, Kayan sepanjang 567 km di Kalimantan Utara yang bermuara di Laut Sulawesi dan Mamberamo sepanjang 1.102 km di Papua yang mengalir masuk Samudera Pasifik.  

Daya air Kayan tidak disalurkan ke jaringan PLN. Kapasitas sungai ini sebesar 13.000 Megawatt akan dipakai taman industri hijau yang direncanakan di Kalimantan Utara. Peletakan batu pertama kawasan industri ini berlangsung Desember ini. Sementara itu, potensi tenaga air Mamberamo sebesar 24.000 MW.   

Indonesia menjadi tuan rumah KTT G20 di Bali 2022. Agaknya, Jokowi mau memperlihatkan daya tirta sungai sebagai salah satu usaha dalam transisi energi.

Pidato Glasgow Jokowi mungkin tidak mengesankan. Tetapi seruannya kepada para pelaku energi terbarukan untuk merancang skema-skema yang bisa dijalankan, memanfaatkan sungai sebagai satu contoh, dan menggantikan batubara dengan kemitraan ETM yang operasional, bisa jadi mengantar Indonesia lebih dekat ke sasaran NZE 2050.

 

* Warief Djajanto Basorie, pengajar di Lembaga Pers Dr Soetomo (LPDS) dan manajer proyek lokakarya Meliput Perubahan Iklim 2011-2017.  Artikel ini adalah opini penulis.

 

***

Fotu utama: Seorang teknisi sedang memasang PLTS atap. Dok: shutterstock

 

 

Exit mobile version