Mongabay.co.id

Masuk 10 Besar Pengekspor Satwa Liar Legal, Peneliti: Indonesia Harus Fokus Pelestarian

 

 

Analisis terbaru mengenai perdagangan satwa liar legal dalam 46 tahun terakhir menempatkan Indonesia, sebagai pusat keanekaragaman hayati di Asia Tenggara, di antara 10 negara teratas pengekspor hewan hidup.

Penelitian yang diterbitkan pada 11 November 21 oleh situs alam berbasis di Oslo, Outforia, berdasarkan data CITES, konvensi global tentang perdagangan satwa liar internasional, dari tahun 1975-2021, menunjukkan informasi tersebut. Data ini menempatkan Indonesia pada urutan ke 9 dalam daftar 80 negara [dipimpin El Salvador], dengan jumlah 7,7 juta ekspor satwa hidup sejak 1975.

Ikan arwana, dari sungai Kalimantan dan Sumatera yang sangat berharga dalam perdagangan akuarium di Asia Tenggara dan Timur, menjadi satwa yang paling banyak diperdagangkan dari Indonesia, angkanya lebih dari 2 juta spesimen hidup. Menurut penelitian tersebut, arwana [Scleropages spp.] juga merupakan hewan hidup nomor 8 yang paling banyak diekspor dalam 46 tahun terakhir.

Aktivitas ini semua merupakan perdagangan yang legal, diatur oleh otoritas di Indonesia dan di negara pengimpor, dan terdaftar di Database Perdagangan CITES. Peran CITES adalah mengatur secara ketat perdagangan satwa liar legal, untuk memastikan tidak berdampak buruk pada populasi liar dari spesies yang diperdagangkan.

Meskipun perdagangan ini legal dan dipantau, namun negara-negara dengan keanekaragaman hayati tinggi seperti Indonesia, harus berusaha meminimalisir dan lebih fokus pada pelestarian ekosistem tempat spesies ini ditemukan, kata Sunarto, peneliti di Institute for Sustainable Earth and Resources, Universitas Indonesia.

Keuntungan dari ekspor satwa hidup harus dialokasikan untuk meningkatkan pemantauan, pengelolaan, dan perlindungan satwa liar dan habitat, tambahnya.

“Jika aspek [konservasi] ini tidak terpenuhi, maka memiliki nilai ekspor yang besar bukanlah sesuatu yang bisa dibanggakan,” katanya kepada Mongabay dalam sebuah wawancara. “Sebaliknya, hal itu harus menjadi perhatian yang perlu ditelaah lebih dalam, sehingga perubahan dan perbaikan dapat dilakukan pada kebijakan dan praktik dalam pengelolaan satwa liar di habitat dan di fasilitas penangkaran, dan juga dalam proses perdagangan.”

 

Seorang pemburu menangkap seekor trenggiling di hutan Kalimantan. Permintaan daging dan sisik trenggiling untuk digunakan pengobatan tradisional di Tiongkok dan Vietnam, membawa trenggiling menuju kepunahan. Foto: Paul Hilton/WildAid

 

Maraknya perdagangan satwa liar ilegal, dan praktik yang tumpang tindih secara signifikan dengan perdagangan legal, dipandang oleh para ahli sebagai ancaman utama bagi konservasi banyak spesies di Indonesia, yang juga mendorong beberapa spesies menuju kepunahan. Beberapa pasar ekspor utama antara lain adalah Eropa, Amerika Serikat, Hong  Kong, Malaysia, dan Singapura.

Pemerintah Indonesia telah menerapkan beberapa kebijakan untuk mengatur perdagangan dengan lebih baik, termasuk mempromosikan penangkaran spesies yang biasanya tidak dikeluarkan dari habitat alaminya. Namun, para konservasionis mengatakan hal ini memberikan kesempatan kepada para pedagang untuk “mencuci” satwa liar yang ditangkap secara ilegal, dengan menyalurkan mereka melalui fasilitas penangkaran, yang seolah mereka lahir di sana.

Pengamat industri menunjukkan perbedaan signifikan antara jumlah hewan yang diekspor dari Indonesia yang dinyatakan sebagai penangkaran, dibandingkan dengan jumlah spesimen yang diproduksi oleh fasilitas penangkaran di negara tersebut, atau yang memiliki kapasitas untuk diproduksi. Perbedaan ini menunjukkan, banyak hewan hidup yang diekspor mungkin merupakan spesimen tangkapan liar yang ‘dicuci’ melalui fasilitas penangkaran.

Bukti pencucian satwa liar sudah ada untuk beberapa spesies di Indonesia. Sebuah studi tahun 2011 menunjukkan, hampir 80% persen dari 5.337 ular sanca hijau [Morelia viridis] yang diekspor dari fasilitas penangkaran antara tahun 2009 dan 2011, sebenarnya ditangkap di alam liar di Indonesia bagian timur.

Sunarto mengatakan, penting untuk mengingat peran vital satwa liar Indonesia, yaitu untuk “menjaga kesehatan hutan, benteng kita dari krisis iklim.”

 

Kakatua koki [Cacatua galerita eleonora] yang disita di Jawa Timur. Foto: Dok. Konservasi Kakatua

 

Sekitar 200 juta perdagangan legal hewan hidup secara global telah tercatat dalam Data Perdagangan CITES sejak 1975, dengan puncaknya terjadi pada 1999-2003, ketika sekitar 7 juta spesimen diperdagangkan setiap tahun.

Satu tahun dengan angka perdagangan terbesar adalah 2018, ketika 10,8 juta hewan hidup tercatat diperdagangkan. Iguana [famili Iguanidae] adalah hewan hidup yang paling banyak diekspor secara global, dengan 34 juta individu diperdagangkan secara legal dalam 46 tahun terakhir. Satwa-satwa ini populer sebagai hewan peliharaan eksotis di banyak negara, meskipun ada juga diakuisisi oleh kebun binatang.

“Karena meningkatnya permintaan konsumen akan produk hewani dalam bentuk pakaian, makanan, dan aksesori, perdagangan satwa liar sangat luas dan menguntungkan,” tulis Outforia dalam survei tersebut.

 

Tulisan asli dapat dibaca pada tautan ini: Indonesia ranks high on legal wildlife trade, but experts warn it masks illegal trade. Artikel diterjemahkan oleh Akita Verselita

 

 

Exit mobile version