Mongabay.co.id

Erupsi Semeru, Masyarakat Diminta Tetap Waspada

 

 

 

 

Erupsi Gunung Semeru, 4 Desember lalu menyebabkan korban meninggal dunia 46 orang, sembilan masih dinyatakan hilang. Tim Pencarian dan Pertolongan (SAR) terus lakukan pencarian, evakuasi dan membantu pendataan warga terdampak bencana. Sementara, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) merekomendasikan masyarakat tidak beraktivitas dalam radius satu km dari kawah dan jarak lima kilometer arah bukaan kawah di sektor tenggara-selatan.

Masyarakat juga diminta mewaspadai awan panas, guguran lava, dan lahar di sepanjang aliran sungai atau lembah yang berhulu di puncak Gunung Semeru.

Masyarakat juga perlu mewaspadai potensi luncuran di sepanjang lembah jalur awan panas Besuk Kobokan, Desa Sapiturang, Kecamatan Pronojiwo, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur. Ancaman lahar di alur sungai dan lembah-lembah yang berhulu di Gunung Semeru ini karena banyak material vulkanik yang sudah terbentuk.

Secara kronologis, pada 4 Desember 2021, BNPB melaporkan peningkatan aktivitas vulkanik Gunung Semeru berupa guguran awan panas mengarah ke Besuk Kobokan.

Banjir lahar atau guguran awan panas tercatat mulai pukul 14.47, dengan amplitudo maksimal 20 milimeter. Lalu, Pos Pengamatan di Sawur, Dusun Poncosumo, Desa Sumberwuluh, Kecamatan Candipuro, pukul 15.10 melaporkan visual abu vulkanik dari guguran awan panas beraroma belerang mengarah ke Besuk Kobokan. Laporan visual dari beberapa titik lokasi juga mengalami kegelapan karena kabut ini.

Data sementaara terdampak bencana letusan sekitar 2.970 rumah, 31 fasilitas umum, 5.205 warga Lumajang terdampak antara lain di Desa Oro-oro Ombo, Pronojiwo, Sumberurip, Supiturang, Sumbermujur, dan Sumberwuluh.

Pendataan warga sementara yang mengungsi ada 9.118 jiwa. BNPB bersama relawan membantu penguatan pendataan di lapangan hingga data terpilah, terutama kelompok rentan, terdata baik.

Para penyintas tersebar di 115 titik pos pengungsian, antara lain terpusat pada 18 titik di tiga kecamatan. Yakni, Kecamatan Pasirian enam titik dengan 2.081 jiwa, Candipuro delapan titik (3.538) dan Pronojiwo empat titik (1.056).

 

Baca juga: Kala Semeru Mintahkan Lahar Panas, Belasan Orang Tewas

 

Ilustrasi. Letusan semeru pada 4 November lalu, setidaknya menewaskan 46 orang dan beberapa warga masih dinyatakan hilang. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Waspada

Eko Budi Lelono, Kepala Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) mengatakan, curah hujan perlu diwaspadai.

Dia berharap, curah hujan tak terlalu tinggi hingga tidak menimbulkan hal lain. “Kami masih memantau dan mencari data-data untuk bisa memastikan kejadian kemarin itu penyebab pastinya apa?”

Dari rekam seismik mereka, normal seperti sebelum-sebelumnya. “Ada faktor eksternal berupa curah hujan tinggi hingga menimbulkan ketidakstabilan kubah lava, hingga terjadilah awan panas yang luncuran cukup jauh.”

Menurut Eko, jauh sebelum bencana terjadi mereka sudah membuat peta kawasan rawan bencana. Di peta itu, juga tercantum peta jalur evakuasi aman bagi masyarakat.

“Kami sudah petakan zonasi mana yang rawan dan aman, untuk kondisi seperti sekarang ini, untuk kawasan rawan bencana di satu kilometer dari puncak mungkin termasuk tak aman. Mohon tidak ada aktivitas di sana,” katanya.

Selain itu, untuk daerah-daerah sobekan kawah yang jadi sungai ke bawah terutama bagian selatan dan tenggara itu sebaiknya pada radius lima km tidak ada kegiatan. Hal ini, katanya, guna menghindari awan panas susulan yang masih mengarah ke selatan dan tenggara.

Fachri Radjab, Kepala Pusat Meteorologi Publik BMKG mengatakan, kondisi cuaca di sekitar Semeru diperkirakan masih ada potensi hujan dengan intensitas ringan hingga sedang.

“Ini yang perlu menjadi kewaspadaan kita. Untuk evakuasi juga mungkin perlu menjadi kewaspadaan masih ada potensi hujan, baik itu di daerah lereng maupun puncak gunung.”

Edison Kurniawan, Kepala Pusat Meteorologi Penerbangan BMKG mengatakan, BMKG terus mengmati sebaran abu vulkanik terutama di wilayah udara atas untuk memastikan sebaran abu tak membahayakan penerbangan.

Dari sejarahnya, Semeru beberapa kali erupsi. Catatan letusan yang terekam pada 1818-1913, tidak banyak informasi terdokumentasikan. Pada 1941-1942 terekam aktivitas vulkanik dengan durasi panjang.

Beberapa aktivitas vulkanik tercatat beruntun pada 1945, 1946, 1947, 1950, 1951, 1952, 1953, 1954, 1955–1957, 1958, 1959, dan 1960. Aktivitas vulkanik juga tercatat pada 1978–1989. PVMBG juga mencatat aktivitas vulkanik Semeru pada 1990, 1992, 1994, 2002, 2004, 2005, 2007 dan 2008.

 

Kumpulkan energi

Gunung tertinggi di Pulau Jawa dengan ketinggian 3.676 meter ini sebenarnya salah satu gunung favorit bagi para pendaki, baik domestik maupun mancanegara.

Gunung yang masuk dalam wilayah Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS) ini menawarkan pemandangan indah berupa danau di Ranu Pani, Ranu Regulo, dan Ranu Kumbolo, serta padang savana di Oro-oro Ombo yang ditumbuhi bunga verbena berwarna ungu. Puncak bernama Mahameru dengan kawah Jonggring Saloko, di dekatnya menjadi titik terakhir pendakian.

Wahyudi, pakar kegunungapian dari FMIPA Univesitas Gadjah Mada mengatakan, letusan Semeru umumnya bertipe vulkanian dan strombolin yang terjadi setiap tiga sampai empat jam sekali.

“Letusan tipe vulkanian dicirikan dengan letusan eksplosif yang kadang-kadang menghancurkan kubah dan lidah lava yang terbentuk sebelumnya. Selanjutnya, terjadi letusan bertipe strombolian yang biasa diikuti pembentukan kubah dan lidah lava baru,” katanya, baru-baru ini di auditorium FMIPA UGM, Yogyakarta.

Bersama pakar lain dari UGM, yaitu Herlan Darmawan, Ade Anggraini, Danang Sri Hadmoko, Wiwit Suryanto, dan Sandy Budi Wibowo, bersama-sama menjelaskan fenomena letusan Semeru 4 Desember lalu.

“Tipenya sama dengan Merapi. Ada material keluar dari dalam, berkumpul di atas membentuk lava dome. Ini yang jadi cikal bakal awan panas. Kubah lava jika ditumpuk terus di puncak maka terjadi ketidakstabilan,” katanya.

Apabila terpicu, misal, curah hujan tinggi, bisa menyebabkan longsor dan timbullah awan panas.

 

Baca juga: Waspada Awan Panas dan Lahar Semeru

Semeru, merupakan gunungapi aktif. Pada 17 April 2020 pukul 06:08 terjadi awan panas guguran sejauh 2.000 meterke arah Besuk Bang. Potensi erupsi menerus masih ada dengan sebaran material berupa aliran lava, hujan abu lebat dan lontaran batu (pijar) di sekitar kawah dalam radius satu km dari pusat erupsi. Juga awan panas guguran sejauh empat km di sekitar lereng tenggara dan selatan.Foto : TNBTS/Toni Artaka

 

Meski erupsi besar terjadi Sabtu itu seperti tiba-tiba, sebenarnya sejak 2012, status Semeru pada level 2 atau waspada.

Menurut Wahyudi, dari 2012 hingga sekarang adalah waktu cukup lama bagi gunung berapi aktif untuk beristirahat.

“Ini justru harus diwaspadai karena bagi gunung api aktif ini masa mengumpulkan energi. Letusan gunung api susah diprediksi, tapi bisa diperkirakan potensinya. Kalau lama tidak meletus, harus diwaspadai, kemungkinan letusan berikutnya akan besar.”

Tim pakar dari UGM menilai luncuran awan panas karena guguran kubah lava yang dipicu curah hujan tinggi. Jangkauan pun melebihi jarak aman yang direkomendasikan otoritas berwenang sepanjang lima km, tetapi mencapai 11 km. Dampak letusan Semeru membuat terkejut banyak orang. Warga belum semua meninggalkan area bahaya namun awan panas lebih dulu menjangkau kawasan mereka.

Sandy Budi Wibowo, pakar Sistem Informasi Geografi dari Fakultas Geografi UGM menerangkan, dengan memakai dua citra yaitu optik dan radar, diperoleh gambaran ada sejumlah perubahan topografi di Semeru. Perubahan itu, katanya, tampak pada sungai yang berhulu di puncak gunung dan mengarah ke selatan. Untuk puncak gunung, katanya, tetap dan tak ada deformasi.

“Secara umum, kami tidak melihat ada perubahan topografi terhadap gunung, tidak ada deformasi. Sepanjang sungai yang berhulu di puncak sampai ke selatan ada perubahan topografi. Bisa kita lihat ada perbedaan antara sebelum dan sesudah erupsi.” Dari hal ini terlihat erupsi tidak berhubungan dengan suplai magma dari dalam perut bumi.

Karena tidak ada magma dari perut bumi ini, katanya, membuat gunung terlihat tidak mengembang. Puncak gunung tetap seperti sebelumnya. Namun, katanya, karena erupsi sekunder mungkin akan ada tumpukan material cukup panas sekitar 800-900 derajat Celcius ketika keluar terkena hujan.

Karena ada kontak antara air dan material panas, air menjadi uap air secara instan menyebabkan letupan-letupan yang akan menyemburkan material-material di dekat crater atau puncak gunung api. “Setelah itu material akan turun ke bawah berbentuk lahar.”

 

Kubah lava runtuh

Ade Anggraini, pakar seismolog FMIPA UGM, mengatakan, dari data diketahui selama 90 hari terakhir ada material sudah naik ke permukaan.

“Jadi, sudah ada penumpukan material di kubahnya yang cukup banyak. Kemarin teman-teman PVMBG tidak mengamati ada vulkano tektonik dalam dan dangkal. Artinya, memang tidak ada kecenderungan selain muncul material baru dari bawah. Analisisnya, awan panas terjadi karena runtuhnya kubah lava.”

Terkait mengapa PVMBG merekomendasikan untuk mengindari lima km sebagai jarak aman, kata Ade, itu berdasarkan data selama ini. Sebenarnya, setiap gunung itu punya karakter khas. Jadi, dalam pandangan dia, erupsi Semeru 4 Desember lalu kemungkinan mempunyai ciri sedikit berbeda dengan erupsi yang selama ini diketahui.

Ade mengingatkan, penting pemakaian sains dan teknologi dalam usaha meminimalisir bencana karena fenomena alam. Meskipun begitu, katanya, tidak boleh dilupakan bagaimana manusia merespon informasi itu.

“Sebenarnya, respon masyarakatlah yang menentukan apakah sistem yang sudah dibangun otoritas berhasil atau tidak. Artinya, harus ada pemahaman sama, bahwa informasi yang disampaikan itu memang untuk menyelamatkan kita.”

 

Wisatawan menikmati panorama kawasan Gunung Bromo Tengger Semeru, Jatim di puncak Pananjakan 2 atau puncak Bukit Seruni. Foto : Luh de Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Menurut Wiwit Suryanto, pakar seismolog FMIPA UGM, apa yang terjadi dalam gunung api tak ada orang tahu karena tidak bisa terlihat secara visual. Namun, katanya, dengan mengukur parameter-parameter fisika di permukaan gunung bisa diketahui aktivitas di dalam.

“Dengan memasang ratusan instrumen, dari alat ini kita bisa meperkirakan aktivitas gunung berapi. PR (pekerjaan rumah) kita bagaimana memanfaatkan berbagai informasi untuk upaya mitigasi.”

Selain itu, katanya, informasi juga sebagai edukasi kepada masyarakat agar menyadari kalau hidup di wilayah rawan baik tsunami, gempa bumi, maupun letusan gunung api.

Wiwit menyinggung pentingnya edukasi kegunung apian sejak dini kepada masyarakat sekitar gunung api. Tujuannya, mereka punya bekal pengetahuan tentang dinamika aktivitas gunung sejak awal.

“Kalau ada rekomendasi dari pemerintah untuk masyarakat agar menyingkir sejenak, ya masyarakat harus mentaati. Sesungguhnya ini berasal dari informasi pengamatan sensitif. Ada instrumen untuk monitoring getaran, dan alat ini sangat sensitif.”

Saat ini para ahli gunung api seluruh dunia, berusaha menemukan cara menentukan kapan gunung api meletus. Sampai sekarang belum ada yang bisa mengetahui kapan kepastian gunung berapi meletus.

“Ke depan semoga pendugaan erupsi gunung bisa diperbaiki, hingga jangka waktu pendugaan bisa lebih singkat.”

 

Curah hujan

Secara keseluruhan, curah hujan di Indonesia meningkat sampai 40% di atas normal karena fenomena alam La-Nina. Yakni, terjadi penurunan suhu muka laut (SML) di Samudera Pasifik yang menyebabkan peningkatan curah hujan di wilayah Indonesia.

Danang Sri Hadmoko, pakar Geomorfologi dari Fak Geografi UGM mengatakan, saat ini memasuki tahun La-Nina yang berpotensi curah hujan tinggi hingga perlu antisipasi bencana susulan banjir lahar datang.

“Sungai-sungai yang dulu tertutup endapan pyroclastic perlu kita antisipasi. Supaya saat terjadi aliran lahar, bagian tengah dan bagian hilir yang banyak permukiman bisa terselamatkan,” katanya.

Selain itu yang perlu diperhatikan, potensi material letusan panas hingga dalam proses evakuasi harus hati-hati. Evakuasi, katanya, harus orang yang tahu kondisi lapangan termasuk kemungkinan hujan turun di puncak yang membawa material ke hilir meski tak sedang hujan.

Meski begitu, katanya, hujan juga memberi dampak positif dengan mengurangi debu vulkanik berbahaya yang berterbangan di udara.

“Abu vulkanik itu sangat berbahaya karena di dalamnya ada silikat yang sangat halus. Itu tajam sekali. Sangat berbahaya di saluran pernapasan. Karena itu ketika erupsi harus memakai masker juga kacamata yang bisa memproteksi abu tidak masuk.”

Soal potensi curah hujan tinggi pada Desember, Januari, dan Februari, kata Danang, agar peralatan pemantauan dijaga supaya tetap berfungsi. Mengingat luncuran lahar dan erupsi susulan masih bisa terjadi.

“Tidak mungkin kita mengamati visual karena tertutup oleh abu vulkanik, awan, kabut. Hingga pengamatan nonvisual menjadi penting, salah satunya pengamatan hujan. Harus dipastikan peralatan pemantau hujan tidak tertutup oleh abu vulkanik.“

Danang bilang, penting kesiapsiagaan pada periode puncak La-Nina Desember hingga Maret.

“Perlu diperhatikan volume sungai yang berhulu di Semeru. Sedimennya seperti apa, penuh atau tidak. Kalau penuh maka dusun-dusun di sekitar itu harus dievakuasi dulu sampai nanti curah hujan turun.”

Herlan Darmawan, yang menulis desertasi tentang kubah lava gunung api dan analisis ketidakstabilannya menduga, hujan dengan intensitas tinggi menjadi pemicu ketidakstabikan kubah kava di Semeru. Peristiwa sama sebenarnya terjadi di Merapi beberapa waktu lalu, namun dalam skala dampak lebih kecil.

“Kubah lava itu berasal dari magma yang mendingin lalu jadi batu. Permukaan itu banyak sekali rekahan. Saat turun hujan air masuk melewati rekahan. Ada penurunan suhu yang sangat cepat yang memicu tekanan gas berlebih. Ini bisa menyebabkan runtuhnya kubah lava yang lebih massif.”

Menurut dia, fenomena ini juga bisa terjadi di gunung api bersalju. Ketika musim panas, ada lelehan salju yang masuk ke kawah dan menyebabkan kubah lava longsor dan memicu letusan.

Sebagai negara dengan populasi padat yang di kelilingi gunung api, Indonesia akan mengalami kejadian kegunung apian lebih kerap dibanding negara lain. Semeru, memiliki puncak curam, dan kubah lava seperti Merapi dan Sinabung.

Dia menilai secara keilmuan, curah hujan tinggi bisa menyebabkan ketidakstabilan pada endapan lava. Pada beberapa kasus, curah hujan tinggi bisa menyebabkan thermal stress dalam tubuh kubah lava dan memicu ketidakstabilan.

Contoh, pada erupsi Gunung Soufriere Hills Volcano Montserrat Spanyol, tahun 1998, 2000, 2001, dan 2003. Saat hujan lebat dengan intensitas lebih dari 80 mm per jam dengan durasi lebih dari dua jam akhirnya memicu keruntuhan kubah lava.

Pada beberapa gunung api dengan lingkungan salju juga bisa menyebabkan salju meleleh cepat dan menyebabkan kubah lava tidak stabil.

Dari data kegempaan juga terlihat, guguran meningkat dalam beberapa hari terakhir. Jadi dapat disimpulkan, ketidakstabilan kubah lava Semeru meningkat seiring dengan kenaikan jumlah guguran dan curah hujan tinggi.

Tim Pakar merekomendasikan, untuk analisis data secara terintegrasi, yang mencakup data gempa vulkanik, deformasi, gas, dan curah hujan secara temporal yaitu dalam beberapa bulan terakhir. Data itu dikorelasikan dengan kejadian baik guguran dengan magnitude kecil maupun besar untuk mengetahui faktor dominan penyebab erupsi Semeru 4 Desember lalu.

Selain itu masyarakat perlu mewaspadai area di dekat sungai yang berhulu di Gunung Semeru untuk tidak beraktivitas dalam radius bahaya yang sudah ditetapkan oleh otoritas setempat. Selalu menggunakan masker untuk menghindari bahaya ISPA akibat abu vulkanik yang mempunyai kandungan silika dan berukuran mikro. Juga mencegah penyebaran virus COVID-19.

Material abu vulkanik di atap rumah segera dibersihkan untuk menghindari bahaya atap roboh yang dapat menyebabkan korban jiwa.

 

Penampakan erupsi semeru dari laman Facebook Thoriqul Haq, Bupati Lumajang .

 

Relokasi?

Sementara itu, penanganan dampak bencara BNPB menyiapkan dana tunggu buat warga dengan rumah rusak sedang hingga berat.

“Kami akan membangun kembali rumah warga yang rusak. Selagi menunggu dibangun, kami berikan dana tunggu kepada mereka yang terdampak untuk menyewa rumah sementara selama enam bulan,” kata Suharyanto, Kepala BNPB.

Dalam kurun enam bulan ke depan, rumah warga yang terdampak erupsi Semeru bisa selesai dibangun. Warga akan di relokasi ke tempat lebih aman.

Mengenai lokasi relokasi, masih dibahas bersama oemerintah daerah. “BNPB bersama-sama dengan Pemerintah Jawa Timur dan Dinas PUPR akan terus mengawal perizinan.” BNPB, akan berkoordinasi dengan KPUPR segera menangani ini.

Jarwansah, Deputi Bidang Rehabilitasi dan Rekonstruksi BNPB mengatakan, besaran dana tunggu Rp500 per bulan tiap keluarga. Saat ini, BNPB masih pendataan dan penilaian terkait kerusakan rumah dampak bencana.

Terkait bantuan logistik dalam mendukung upaya tanggap darurat, BNPB menyalurkan dana untuk itu. BNPB menyalurkan bantuan berupa perlengkapan keluarga, masker, makanan siap saji, lauk pauk, selimut dan dana dukungan awal kepada pasien terdampak di RSUD Pasirian, Lumajang.

Thoriqul Haq, Bupati Lumajang menetapkan status tanggap darurat bencana dampak awan panas dan guguran Gunung Semeru selama 30 hari, 4 Desember 2021 sampai 3 Januari 2022

Eka Yusuf Singka, Kepala Pusat krisis Kesehatan Kementerian Kesehatan mengatakan, aktivitas bidang kesehatan sudah berjalan sejak erupsi Semeru.

“Sudah masuk logistik yang sudah dikirim dari Jakarta dan BNPB. Antara lain adalah alat-alat kesehatan yang bersifat dasar dan akan terus kita tindaklaanjuti.”

Selanjutnya, ada empat pos pengungsi di Kecamatan Pronojowo dan Candipuro. Di setiap posko, katanya, ada pos kesehatan yang melayani kesehatan sebanyak 77 orang.

Dalam pelayanan kesehatan, 13 puskesmas di Lumajang dan lima puskesmas di Kabupaten Malang bersiap siaga.

Sudirman Said, Sekjen PMI mengatakan, sejak informasi erupsi Semeru diterima, PMI segera bergegas.

“Kira-kira ada 100 relawan yang dikonsentrasikan dari Lumajang dan Malang.” Saat ini, sudah d lapangan fokus pendataan, dan memberikan bantuan yang bersifat darurat.

 

******

Foto utama: Runtuhan rumah terdampak erupsi Semeru. Foto:  Dinas Kesehatan Jatim

Exit mobile version