Mongabay.co.id

Ajakan Rehat Melaut Sehari dari Nelayan Kecil Fair Trade

 

Para nelayan fair trade panutan tampil berkampanye pada peringatan hari perikanan sedunia (world fisheries day) selama sepekan pada akhir November 2021 lalu. Tak hanya cakap melaut dan menarik tuna puluhan kilogram dengan alat pancing ulur sederhana, mereka juga lihai meyakinkan warga, perangkat kelurahan, dan anak-anak untuk peduli pada pelestarian laut demi masa depan perikanan.

Nelayan champion, demikian istilah yang diperkenalkan Yayasan Masyarakat dan Perikanan Indonesia (MDPI) sebagai apresiasi dan kepercayaan diri.

Gafur Kaboli, nelayan champion kelompok fair trade Marimoi di Kelurahan Jambula, Ternate, Maluku Utara menjelaskan situasi perikanan ini di hadapan nelayan-nelayan lain yang hadir. Data perikanan tuna IFish MDPI 2014 di WPP 714 dan 715 sebagai contoh. Beberapa tahun lalu, ukuran panjang tuna 150-170 cm yang tertangkap nelayan masih banyak. Tapi pada 2020, sebaliknya. Kebanyakan kecil. “Ada apa? Laut bermasalah? Ikan bermigrasi dan penangkapan berlebih,” ujar Gafur yang anggota kelompoknya 25 orang ini.

Karena nelayan sangat tergantung pada laut, untuk menjamin dapat ikan harus mengikuti caranya. Penangkapan harus ramah lingkungan, tidak mengganggu satwa yang dilindungi seperti lumba-lumba, penyu, dan hiu, tidak membuang sampah di laut, dan mematuhi prinsip perikanan berkelanjutan lainnya.

Banyaknya kapal besar diakui makin mengurangi tangkapan nelayan kecil. Namun ada juga penyebab lain seperti pengeboman ikan mengakibatkan terumbu karang yang jadi rumah ikan hancur. “Semua ketergantungan, kalau ada yang hilang, laut kita tidak sehat,” lanjut Gafur yang juga Pengawas koperasi nelayan Bubula Ma Cahaya.

Mengistirahatkan laut sehari menurutnya bisa memberikan kesempatan ikan berkembangbiak. Telur jadi anakan, lalu dewasa, memijah dan produksi telur lagi. “Ketika ikan mulai habis, maka ada yang jomblo, bagaimana dia memijah?” tanyanya. Memperhatikan standar ukuran ikan yang ditangkap juga penting karena semakin besar, telurnya jauh lebih banyak. Kalau ukuran ikan 40 cm menghasilkan telur 350 ribu, jika 50 cm menghasilkan 1 juta telur, dan di atas itu bisa bertelur sampai 3 juta.

baca : Dilema Nelayan Jambula : Tangkapan Ikan Tuna Makin Kecil dan Menjauh

 

Gafur Kaboli, nelayan champion kelompok fair trade Marimoi di Kelurahan Jambula, Ternate. Foto : Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Ada beberapa nelayan champion di Ternate, di antaranya Gafur dan Salman Adam, dari Kampung Makassar dengan Kelompok Segaro Malaha atau yang lebih dikenal dengan Pangkalan 40.

Gafur, 47 tahun merasakan pemikirannya makin luas walau tetap jadi nelayan kecil. “Kalau ada kegiatan perikanan, kita dilibatkan dan bisa menjelaskan pada siapa saja,” sebutnya.

Ia mulai bergabung dalam kelompok fair trade sekitar 2018 oleh MDPI. Saat itu ia hanya tahu selama puluhan tahun harus melaut dan memberikan uang untuk menopang ekonomi keluarga. Namun dari beberapa pertemuan, pikirannya terbuka. Nelayan tak hanya tangkap, juga tahu cara melindungi perairan dan ikan. Agar tetap ada untuk generasi selanjutnya.

Hal baru lainnya adalah kesadaran pada data dan pencatatan ikan. Jika ada data maka bisa jadi acuan pemerintah buat peraturan. “Kalau tidak akurat maka kebijakan salah, celakalah perairan kita,” yakinnya.

Sebagai nelayan fair trade, mereka juga mendapatkan peningkatan aspek teknis keselamatan diri. Bahwa kesalamatan hal utama. Pelatihan dilakukan dengan tim SAR. Ia baru sadar keselamatan lebih penting, bagaimana penyelamatan diri, tindakan saat kecelakaan, dan lainnya. Untuk itu nelayan fair trade dilengkapi life jacket, kotak P3K, GPS, dan kompas.

Para nelayan champion ini dilibatkan dalam kegiatan bersama pemerintah. Mereka berlatih presentasi, bagaimana bicara ke masyarakat, dan memberi panutan karena harus di depan dan bekerja keras soal penyelamatan lingkungan.

“Gampang susah. Walau punya pengetahuan belum tentu bisa mengubah. Harus mulai dari diri sendiri, jadi ada kesadaran,” Gafur berkisah tantangannya meyakinkan sebaya.

Hal-hal kecil juga ternyata berpengaruh besar. Misalnya dulu, bungkus es untuk pengawetan ikan dibuang ke laut begitu saja. “Sekarang sekecil apapun, saya simpan di kantong dulu atau toples. Kenapa saya tidak bisa saya buang, padahal tidak ada yang tegur, karena tidak tega,” tutur pria paruh baya ini.

baca juga : Suka Duka dari Kampung Nelayan Tuna Fair Trade Ternate

 

Gunung Tidore dari kampung nelayan Ternate, Maluku Utara. Foto : Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Perubahan lain adalah pengetahuan mengenali ekosistem dan satwa laut jenis terancam punah dan dilindungi atau ETP. Hiu banyak dan siripnya mudah jadi uang. Namun kini ia sudah memiliki sikap karena spesies itu yang jaga keseimbangan laut. “Mungkin kitorang mulai paham ketergantungan, kemana pun ingat. Penuh pemikiran sehat,” ia bersyukur.

Sirip ukuran super bisa senilai jutaan per kg, kalau kecil campuran harganya ratusan ribu. Kini, jika mata kailnya mengenai hiu, jika ukuran besar talinya diputuskan, kalau ukuran kecil mata kail masih bisa dilepas. Ia menyontohkan hiu sirip hitam 2-3 meter. Bukan jenis dilindungi tapi semua hiu pasti dilepas. Rasa bertanggungjawab dan perlindungan sudah mendarah daging.

Cara efektif dalam mempengaruhi sesama nelayan menurutnya harus komunikasi yang baik, mengayomi, jadi panutan. Pendekatan LSM juga menurutnya harus menyesuaikan karena tiap daerah punya karakter berbeda. “Menemukan nelayan yang ingin belajar, tak hanya cari uang karena perlakuan kita hari ini berpengaruh pada generasi mendatang,” imbuh Gafur.

Gafur jadi nelayan sejak SD ikut memancing mendayung cari ikan kecil. Saat SMP-SMA ia tinggal di Halmahera Selatan, kemudian tinggal di Ternate jadi pembantu. Saat menikah, ia baru melaut, awalnya sangat tradisional masih pakai dayung, hasilnya sekitar 1-2 kg ikan karang dan tongkol.

Kemudian beralih jadi nelayan tuna, terakhir melaut tengah November lalu mendapat 2 ekor tuna sirip kuning beratnya 33 kg dan 36 kg,

Alat pancing ulur bisa sepanjang 500 meter dengan satu mata kail dan diturunkan di kedalaman 20,30, 50, 100 meter karena tuna makan di kedalaman berbeda. Setelah pancing ulur diturunkan, kadang langsung dapat atau strike, atau tidak sama sekali. Umpannya cumi.

Ia menunjukkan pancing ulur dari bahan nilon ukuran 70, dengan pelampung impor dari Korea, kemudian ia hias atau ukir. Mata kail ukuran no.7, dan ada kantong plastik kecil berisi tinta cumi agar dikira cumi hidup, serta timah pemberat. Jarak kail ke pemberat 17 meter.

baca juga : Mesin Mati dan Kotornya Laut Akibat Sampah Lintas Pulau

 

Mata pancing ulur nelayan kecil penangkap tuna di Ternate, Maluku Utara. Foto : Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Lumba-lumba dan burung laut adalah tanda ada ikan-ikan kecil, artinya ada kemungkinan tuna yang mencari makan ikan kecil. Kalau tidak dapat tuna, Gafur mencari ikan sampingan dengan alat lain seperti cakalang, surihi, dan lainnya.

Berbicara masa depan perikanan dan pengembangan pesisir, menurut Gafur banyak tantangannya karena jalur transportasi laut .

Ia mengidentifikasi sejumlah masalah pengelolaan perikanan setelah mendapat pengetahuan tata kelola. Nelayan kecil kalau oleh kapal besar dan penangkapan berlebih. Semua jenis kapal ada dan harus diatur.

Mengikuti kelompok fair trade membuatnya tahu bagaimana ikannya dijual dan ditandai. Saat ikan didaratkan, dicek kualitasnya, dibersihkan isi perutnya, lalu dibungkus pakai plastik panjang dengan tali hijau. Hasil tangkapannya lalu diberi kode MTW 310/gafur/FT.

Nelayan harus punya surat surat kapal. Kalau tidak punya dianggap ilegal. “Dia tak hanya tangkap, laut dijaga, cara tangkap ramah lingkungan. Kalau sadar betul, bangga sekali. Paling pertama generasi mendatang apakah masih dapat tuna? Saya bicara begini sering keluar air mata. Nanti anak bilang, oh orang tua dulu yang bikin rusak begini,” ia terpekur.

Salah satu materi yang dikampanyekan kelompok nelayan adalah ajakan rehat sehari, setiap Jumat untuk memberi kesempatan ikan memijah. Kini, lebih sepekan Gafur rehat menangkap tuna karena paceklik dan peringatan la nina. Namun tiap hari ia masih di pesisir laut, menemani cucunya bermain atau mandi.

perlu dibaca : Tren Gaya Hidup Dunia dan Perikanan Berkelanjutan

 

Seorang nelayan dengan pancing ulur menangkap ikan tuna di perairan Pulau Buru, Maluku. sebanyak 123 nelayan kecil penangkap ikan tuna sirip kuning di Pulau Buru, Maluku, berhasil meraih sertifikat MSC. Foto : Greenpeace

 

Stok ikan

Terkait kondisi stok ikan, Wildan, Fisheries Manager MDPI mengatakan bahwa Indonesia memiliki keunggulan dalam penangkapan perikanan tuna untuk jenis sirip kuning (yellowfin tuna) dan cakalang. Menurutnya, saat ini ada dua kondisi perikanan tuna di Indonesia. Wilayah Samudra Pasifik bagian barat dan tengah, kondisi stok masih dalam keadaan baik sehingga masih dapat dilakukan penangkapan. Namun, untuk di wilayah pengaturan Samudra Hindia terjadi penangkapan tuna yellowfin yang berlebih (overfishing) sehingga perlu ada rebuilding stock program yang telah diadopsi oleh Komisi Tuna Samudra Hindia (Indian Ocean Tuna Commission/IOTC).

Pengelolaan dan pengaturan perikanan tuna menurutnya perlu memperhatikan wilayah di mana tuna ditangkap. Tindakan rebuilding stock dapat memulihkan kembali kesehatan stok tuna, salah satunya dengan memberlakukan pembatasan tangkapan (catch limit) untuk setiap negara anggota IOTC. “Kondisi stok ikan yang tidak baik dapat menghambat peluang sertifikasi eco-label sebuah rantai perikanan, karena sertifikasi seperti Fair Trade dan Marine Stewardship Council menuntut kondisi stok untuk dapat sehat kembali,” katanya.

Peran pemerintah juga menjadi kunci dalam memperbaiki pengelolaan perikanan negeri ini. Misalnya melakukan pengumpulan data dan pelaporan hasil tangkapan dan memperbaharui Rencana Pengelolaan Perikanan Tuna-Cakalang- Tongkol (TCT). Selain itu dengan menjadi anggota tetap pada organisasi kerjasama regional pengelolaan perikanan tuna seperti IOTC, Western and Central Pacific Fisheries Commission (WCPFC), Commission for the Conservation of Southern Bluefin Tuna (CCSBT) dan menjadi anggota tidak tetap di Inter-American Tropical Tuna Commissoin (IATTC).

Hal lain, pemerintah harus konsisten menjalankan 5 management measures dalam Harvest Strategy Tuna Indonesia, antara lain melalui pembatasan rumpon, pembatasan izin kapal, penutupan parsial area, pengaturan lama hari melaut, dan penentuan tangkapan yang diperbolehkan (Total Allowable Catch).

Nelayan umumnya mengambil satu hari untuk istirahat, biasanya untuk membersihkan kapal dan beribadah di hari Jumat. Jika beristirahat satu hari setiap minggu, maka satu orang nelayan bisa memberikan kontribusi terhadap konservasi untuk setidaknya satu ekor ikan di laut yang tidak ditangkap. Jika nelayan Fair Trade berjumlah sebanyak 682 orang, maka akan terdapat 682 ekor tuna yang tidak tertangkap dalam seminggu atau setara dengan 5.456 Kg (asumsi rata-rata berat tuna 8 kg/ekor), atau setara dengan 35.464 ekor tuna yang setara dengan 283.712 kg dalam setahun.

 

Exit mobile version