Mongabay.co.id

Maggot yang Mengubah Jalan Hidup Santoso

 

 

Kandang lalat tentara hitam atau Black Soilder Fly [BSF] itu berukuran 2×1 meter. Rangkanya terbuat dari kayu, dibalut menggunakan strimin plastik berwarna hitam. Ada sejumlah potongan balok disusun bertumpuk, direkatkan menggunakan karet, yang diletakkan di kandang tersebut. Potongan-potongan balok itu merupakan tempat lalat BSF meletakan telur-telurnya.

Tampak seorang lelaki mengambil botol berisi cairan gula, lalu menyemprotkan ke kandang, sebagai tambahan energi untuk BSF kawin. Kandang BSF milik Santoso ini berada di Desa Sadar Sriwijaya, Kecamatan Bandar Sribawono, Kabupaten Lampung Timur, Lampung.

“Budidaya maggot ini musuhnya cicak dan burung,” ujar dia, Minggu [03/12/2021].

Butuh waktu 3-4 hari menunggu telur BSF menetas menjadi maggot. Pada usia 2-3 minggu setelah menetas, maggot baru bisa dipanen. Maggot merupakan organisme yang berasal dari telur lalat BSF, pada metamorfosis fase kedua setelah fase telur dan sebelum fase pupa, yang kemudian berubah menjadi lalat dewasa.

Baca: Maggot, Serangga Pengurai Sampah untuk Pakan Ikan

 

Maggot atau larva lalat tentara hitam [Hermetia illucens] yang semakin dibudidayakan di masyarakat. Foto: Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Santoso mengolah maggot menjadi beberapa produk, seperti tepung dan nutrisi organik cair fermentasi. Membuat tepung maggot cukup sederhana, maggot disangrai lalu digiling. Sementara, untuk nutrisi organik cair, maggot digiling lalu ditambahkan beberapa bahan seperti air gula, bungkil sawit, bekatul, sari buah, dan mikroba aktif, lalu difermentasi selama dua bulan.

“Harapannya, sebagai sumber protein pengganti tepung ikan pada pakan konsentrat,” terangnya.

Santoso juga membuat pupuk padat dari limbah kumpulan makanan maggot [kasgot]. Caranya, kasgot yang telah digiling dicampur dengan kotoran ternak, kapur dolomit, dan cairan fermentasi dari maggot, lalu dibiarkan menjadi kompos.

“Budidaya maggot bukan hanya jualan telur, maggot segar, dan kepompong. Kita bisa lakukan lebih lengkap, sehingga hulu hilirnya termanfaatkan semua,” kata Santoso yang juga pendamping desa di Sadar Sriwijaya.

Baca: Maggot, Bahan Pakan Ikan Alternatif yang Murah dan Mudah

 

Santoso menyemprot kandang Black Soilder Fly [BSF] menggunakan air gula, sebagai tambahan energi lalat untuk kawin. Foto: Chairul Rahman Arif

 

Berawal penanganan sampah

Awal mula Santoso melakukan budidaya maggot adalah untuk menangani permasalahan sampah di desanya. Sebagai pendamping desa, dia ingin memberikan hasil terbaik guna menangani pencemaran lingkungan akibat sampah

“Berkali saya beri usulan program, namun penanganan sampah di desa cenderung monoton.”

Ketika awal melakukan budidaya maggot tahun 2019, Santoso kerap menghadapi persoalan.  Mulai dari telur tidak menetas, media pertumbuhan berbau, hingga ketika panen hasilnya tidak sesuai yang diharapkan. Kesabarannya membuahkan hasil, dia menemukan formula yang tepat  yaitu dengan menyemprotkan molases yang diencerkan beserta cairan nutrisi fermentasi yang diraciknya sendiri.

Baca: Lalat Tentara Hitam sebagai Satu Solusi Penanganan Sampah, Seperti Apa?

 

Santoso menunujukkan fermentasi tepung maggot yang digunakan sebagai tambahan sumber protein buat pakan ikan atau ternak. Foto: Chairul Rahman Arif

 

Santoso melakukan budidaya dengan metode media basah dan media kering. Maggot dipelihara dengan media basah selama 12 hari. Media basah yang digunakan berupa ampas tahu, buah dan sayuran sisa, serta limbah rumah tangga. Sekitar 5-7 hari sebelum panen, maka media kering yang digunakan, sebagai efesiensi pemeliharaan.

“Saat urusan teknis beres, hal lain yang harus dipikirkan adalah pangsa pasar yang kurang, karena orang belum tahu maggot. Padahal di Lampung tidak sedikit peternak unggas dan ikan,” terangnya.

Usahanya berbuah manis. Dia mendapatkan penghargaan berkat kerja kerasnya.

Santoso meraih Juara 1 Kategori Inovasi Tepat Guna Nasional XXII, Sistem Pengolah Diversifikasi Produk Berbasis Maggot, dari Kementerian Desa, Pembangunaan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia, pada 20 September 2021. Santoso juga meraih Juara 1 Teknologi Tepat Guna Inovasi Tingkat Provinsi oleh Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Transmigrasi Provinsi Lampung, pada 3 November 2021.

Baca juga: Hazman dan Kepeduliannya Mendirikan Taman Hutan Mikro

 

Mesin untuk menggiling kasgot [bekas makanan maggot] untuk dijadikan bahan pupuk kompos. Foto: Chairul Rahman Arif

 

Media tumbuh yang tepat

Penelitian yang dilakukan Irene Laksmi Nugrahani, Farida Fathul, dan Syahrio Tantalo di Jurnal Riset dan Inovasi Peternakan Unila Vol. 2 [1]: 32-37, April 2018, menunjukkan bahwa pemilihan media tumbuh memiliki pengaruh terhadap produksi dan suhu maggot. Riset ini menggunakan empat jenis media tumbuh yaitu bungkil sawit, darah ayam, limbah ikan, dan ampas tahu.

Beberapa media yang berkarakter kering seperti bungkil kelapa sawit dan ampas tahu dicampurkan air. Sementara, pada media darah ayam dan limbah ikan tidak ditambahkan air, sebab, kedua media itu telah basah.

“Pemanenan dilakukan pada umur 18 hari. Dilakukan setelah maggot siap panen atau terdapat warna hitam pada bagian kepala dan tubuh,” tulis Irene dan kolega.

Hasil penelitian ini menujukkan, bungkil sawit mempunyai suhu media tertinggi saat dilakukan pengukuran pagi hari. Hal ini disebabkan karena kandungan serat kasar yang tinggi.

“Serat kasar di dalam bungkil sawit terhidrolisis oleh mikroba untuk memberikan sumber energi dalam bentuk karbon [C]. Hal ini yang menyebabkan keluarnya panas sehingga meningkatkan suhu,” jelas laporan tersebut.

 

Maggot yang sudah memasuki fase prapupa atau sekitar 35 hari setelah menetas. Nantinya maggot ini akan menjadi pupa lalu menjadi BSF dan siap kawin. Foto: Chairul Rahman Arif

 

Sebaliknya, media darah ayam memiliki suhu terendah. Hal ini disebabkan kandungan protein kasar akan mudah kehilangan nitrogen ke udara, dan menyebabkan penurunan suhu.

Penelitian ini juga menujukkan bahwa produksi maggot tertinggi hingga terendah yaitu pada media bungkil sawit, ampas tahu, limbah ikan, dan darah ayam. Bungkil sawit menghasilkan produksi maggot tertinggi karena kandungan rasio C/N tinggi yaitu sebesar 8,45. Sementara, darah ayam yang memliki produksi maggot terendah karena kandungan rasio C/N rendah yaitu sebesar 0,12.

“Kandungan nitrogen digunakan untuk memenuhi kebutuhan protein sebagai zat pembangun sel metabolisme. Namun, nitrogen yang berlebih tidak dapat diasimilasi oleh mikroba sehingga akan terdenitrifikasi dan menghasilkan amonia,” tulis para peneliti.

 

Lalat tentara hitam atau BSF hinggap di strimin yang membaluti kandangnya. BSF merupakan bagian siklus dewasa bagi maggot. Setelah kawin BSF meletakkan telur-telurnya pada tempat yang disediakan. Foto: Chairul Rahman Arif

 

Penelitian yang dilakukan Muhammad Aldi dan kawan-kawan dengan materi media tumbuh yang sama sebagaimana penelitian Irene, coba mengukur pengaruh media terhadap kandungan nutrien dalam maggot. Perubah yang diamati adalah protein kasar, lemak kasar, dan kandungan air.

Berdasarkan analisis yang dilakukan, kandungan protein kasar terbesar dihasilkan oleh maggot yang dipelihara dengan media tumbuh darah ayam. Sedangkan terendah adalah yang dipelihara dengan media bungkil sawit. Hal ini disebabkan besarnya kandungan protein kasar media tumbuh maggot.

Riset ini juga menujukan, kandungan lemak kasar tertinggi dihasilkan oleh maggot yang dipelihara degan media limbah ikan. Sementara terendah pada bungkil sawit.

“Kandungan lemak kasar media sangat mempengaruhi kandungan lemak kasar maggot yang dihasilkan. Semakin tinggi lemak kasar media, akan meningkatkan lemak kasar maggot yang dihasilkan,” tulis para peneliti di Jurnal Riset dan Inovasi Peternakan Unila Vol. 2 [1]: 32-37, April 2018.

 

Lalat tentara hitam (Hermetia illucens) penghasil maggot. Foto: Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Pengolahan sampah organik di Lampung

Menurut data Dinas Lingkungan Hidup [DLH] Provinsi Lampung, timbunan sampah tahun 2021 diperkirakan sebesar 2.197.258,9 ton. Persentase limbah organik sekitar 58,9% dari jumlah timbunan sampah tersebut.

Achmad Jon Viktor, Kasi Pengelolaan Sampah DLH Provinsi Lampung, mengatakan pengolahan sampah organik masih mengandakan bank sampah, komunitas, dan TPS3R. Bentuk pengelolaan berupa pembuatan ekoenzim dan kompos.

“Ekoenzim dikerjakan komunitas, biasanya dimanfaatkan untuk pembersih lantai, pengharum ruangan, dan lainnya. Sementara kompos dilakukan di bank sampah dalam skala kecil,” tuturnya, Rabu [08/12/2021].

Dia mengatakan, sebaiknya ada pemisahan sampah mulai dari tingkat rumah tangga, yang dimanfaatkan terlebih dahulu dengan diolah menjadi sesuatu berharga. Sehingga, sampah organik tidak masuk ke kawasan tempat pembuangan akhir [TPA].

“Jangan sampai ditimbun saja, karena pembusukan sampah organik akan menghasilkan gas metana. Dalam skala besar, gas metana ini bisa menimbulkan ledakan dan kebakaran.”

Viktor menjelaskan, pemerintah provinsi saat ini belum melakukan pengolahan sampah organik dengan budidaya maggot. Namun, kedepan akan bekerja sama dengan Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan untuk membuat unit percontohan maggot.

“Akan diupayakan, sehingga budidaya maggot bisa diadopsi masyarakat,” paparnya.

 

* Chairul Rahman ArifMahasiswa Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung. Tertarik menulis isu lingkungan.

 

 

Exit mobile version