Mongabay.co.id

Cuaca Sering Berubah, Nelayan Makin Susah Cari Ikan

 

Pagi itu cuaca mendung, ketika para nelayan baru saja pulang melaut, seorang pria berkaos hijau berdiri menatap kearah pintu keluar masuk perahu di kawasan permukiman nelayan Desa Paciran, Kecamatan Paciran, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur.

Untuk melindungi dari serangan gelombang, nelayan setempat secara swadaya membangun tanggul laut di pangkalan perahu tersebut, jaraknya sekitar 10 meter dari permukiman. Sementara panjang tanggul sekitar 100 meter. Sehingga keluar atau masuknya perahu nelayan harus melewati pintu itu, aksesnya hanya ada dua pintu.

Pria tersebut bernama Mukhomid (50), nelayan rajungan setempat yang di hari itu ia sedang tidak melaut. Bersama puluhan perahu nelayan lainnya, perahu bapak dua anak ini hanya bersandar di pelabuhan yang berada di pesisir pantai utara kabupaten yang mempunyai panjang garis pantai mencapai 47 kilometer tersebut.

“Kemarin cuaca kurang bersahabat, sehingga saya tidak berani berangkat, angine manteng. Meski begitu beberapa tetangga masih nekat melaut,” ujar pria berkumis tebal ini, Kamis (02/12/2021). Dalam istilah lokal, angin manteng berarti angin laut sedang kencang.

Bagi nelayan tradisional seperti dia ketika cuaca sudah seperti itu berangkat melaut sangat beresiko. Selain itu pendapatan juga tidak sebanding, sehingga dia memilih untuk tetap di rumah.

baca : Nelayan Masih Nekat Melaut Meski Kondisi Cuaca Buruk

 

Meski kondisi cuaca buruk sebagian nelayan masih memberanikan diri untuk berangkat melaut. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Nelayan Sering Terjebak

Pria yang juga ketua kelompok blok duyung Rukun Nelayan (RN) Paciran ini mengaku mencari rajungan di laut sekarang lebih sulit dibandingkan dengan dulu. Pasalnya kondisi cuaca belakangan ini susah diprediksi. Meskipun sudah menggunakan alat Global Positioning System (GPS), baginya keakuratannya tidak seperti masa lalu ketika membaca tanda-tanda alam.

Dulu, kisahnya, nelayan mempunyai cara-cara tersendiri yang mereka dapatkan dari proses berinteraksi dengan alam sekitar. Mereka paling sering menggunakan tanda-tanda alam sebagai indikator pembacaan kondisi iklim dan cuaca lokal.

Misalnya melihat pola pelangi yang muncul. Ketika pelangi yang muncul itu polanya putus tengah itu berarti akan ada angin kencang. Jika pola pelangi sampai di laut itu berarti akan datang hujan. Selain dari pelangi, kondisi cuaca juga bisa dibaca dari adanya petir. Saat petir itu datang disebelah timur itu menandakan adanya angin dari barat.

Sehingga ketika nelayan akan melaut atau sudah berada di laut mereka bisa memperhitungkan melalui tanda-tanda alam tersebut. Perhitungan yang tepat terkait dengan kondisi iklim dan cuaca lokal sangat penting bagi nelayan karena berkaitan langsung dengan aktivitas melaut dan keselamatan.

“Kalau sekarang ini tidak bisa dikatakan valid atau tidak, kalau dulu itu jelas sekali. Sekarang ini meski tidak ada tanda-tanda seperti itu ya tetap ada angin kencang,” kata bapak dua anak ini.

baca juga : Dampak Perubahan Cuaca, Pendapatan Nelayan Rajungan Menurun

 

Nelayan mengaku mencari rajungan di laut sekarang lebih sulit dibandingkan dengan dulu. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Ahmad Munir (50), nelayan jenis ikan pelagis juga merasakan hal sama. Dia bilang, cuaca belakangan ini membingungkan, tidak seperti tahun-tahun sebelumnya yang bisa dijadikan patokan. Bahkan perubahannya bisa dalam sehari. Misalnya saat pagi hari cuaca bagus, tetapi begitu sudah ditengah laut angin kencang datang.

Kedatangannya itu tidak disertai dengan tanda-tanda alam sebagaimana orang-orang tua dahulu wariskan. Pada akhirnya banyak nelayan yang terjebak di laut. Mendapati kondisi seperti itu, alhasil nelayan tidak bisa membawa hasil tangkapan untuk kembali ke darat, sehingga rugi diperbekalan.

“Selain cuaca, kondisi laut juga sudah rusak karena alat-alat tangkap yang tidak ramah lingkungan, mencari ikan semakin susah,” ujar Munir disela menambatkan perahu berukuran 20 Gross Tonnage (GT) di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Desa Keranji, Kecamatan Paciran itu.

baca juga : Nelayan Kalbar, Bergelut dengan Pandemi dan Cuaca

 

Perahu nelayan ikan tongkol kembali ke pendaratan lebih awal karena kondisi cuaca tidak bersahabat. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Hasil Tangkapan Menurun

Nelayan harus berupaya keras menentukan waktu melaut karena saat ini sudah tidak bisa lagi membaca arah angin. Fatkhur Rokhim (45), nelayan asal Desa Sendangagung, Lamongan mengaku tidak ada adaptasi khusus bagi nelayan disaat menghadapi iklim yang sudah berubah. Selain arah angin, arus air laut juga menjadi patokan. Biasanya jika arus laut tidak deras itu ikan banyak, namun sekarang berbeda ikan makin berkurang meski arus laut tenang.

Kalau dulu hampir semua perahu yang berangkat melaut dapat ikan, paling tidak 15 keranjang plastik, atau sekitar 1 ton. Itupun paling sedikit. Paling banyak bisa mencapai 12 ton dengan durasi berangkat jam 07:00 WIB, pulang jam 17:00 WIB.

“Belakangan ini sering tidak dapat ikan, 5 ton saja pilih-pilih perahu. Biasanya kalau musim kayak begini kan ikan tongkol (Euthynnus affinis) pada keluar, kalau sekarang ini tidak tentu,” keluhnya.

Karena bulan Januari sudah masuk cuaca buruk, biasanya bulan Desember ini mestinya waktu untuk mencari bekal libur selama sebulan. Namun, akhir-akhir cuaca seringkali berubah, cuaca buruk bisa datang lebih cepat.

Dulu, ketika berhenti melaut karena cuaca buruk banyak nelayan yang berani hutang. Tapi sekarang ini tidak berani karena sering tidak dapat ikan, khawatir tidak bisa mengembalikan. “Kayak hari ini saja sudah tekor di solar, juragan sudah tidak dapat. Walaupun dapat ya untuk anak buah, itupun hanya untuk lauk di rumah,” pungkas Rokhim.

 

Nelayan ikan tongkol usai melaut dengan membawa sedikit hasil tangkapan. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version