Mongabay.co.id

Kala Banjir Pasang Terjang Pesisir Kalteng

 

 

 

 

Turjan alias Astur menatap laut dari warung makan miliknya di tepi Pantai Kubu, Kalimantan Tengah, 7 Desember petang. Ada yang aneh bagi pria 63 tahun ini. Dalam amatannya sebagai orang pesisir, saat itu pasang laut sudah penuh tetapi pasang lebih lama. Saat hari makin gelap, air laut makin naik. Gelombang pun membesar diantar angin yang kencang. Hujan mulai turun, meski tidak deras.

Mungkin hari itu merupakan pergantian waktu pasang-surut tetapi situasi berbeda. Ombak terus memukul daratan, hingga melampaui tembok pembatas, yang berakibat perlahan menggenangi halaman warungnya.

Astur mencoba tenang. Pengunjung warung mulai gelisah, saat air perlahan naik ke lantai. Sampai puncaknya, pukul 21.00 WIB, air menggenangi warung sekaligus rumah tokoh adat Sungai Batu itu.

“Tingginya sekitar 30 centimeter,” katanya, ditemui 8  Desember lalu, usai membersihkan kotoran sisa banjir.

Warung Astur di bibir pantai. Ia persis di sudut Muara Sungai Batu, sungai kecil yang mengalir di Desa Kubu, Kecamatan Kumai, Kabupaten Kotawaringin Barat itu. Selain ombak yang melampaui tembok batas, air masuk ke daratan melalui sungai itu. Dampaknya, taman Pantai Kubu nyaris terendam. Air bergerak sampai ke jalan raya, berjarak sekitar seratusan meter dari bibir pantai. Empat kandang yang memuat sarang madu kelulut milik Astur pun tersapu banjir.

Peristiwa begini, katanya, baru sekali terjadi. Beberapa bulan lalu, dia bilang, pasang naik sempat masuk ke warung setinggi tumit, hanya sebentar. Untuk rob Selasa malam itu air bertahan hingga lewat tengah malam.

Rudin, Kepala Desa Kubu, memperkirakan, lebih dari 100 rumah warga sempat tergenang air, termasuk rumahnya di seberang jalan dari arah pantai. “Kata ibuku, seumur hidup baru ini rumah bisa tergenang. Belum pernah terjadi pasang sampai tinggi seperti malam tadi,” katanya.

Bukan hanya di Kubu. Rob Selasa malam pekan lalu itu juga menjadi pengalaman buruk bagi desa-desa pesisir lain di Kotawaringin Barat. Desa Keraya, Sebuai Timur dan Sabuai bahkan lebih parah. Tidak seperti Kubu dengan pantai di dalam teluk dan terhalang tanjung di seberangnya, ketiga desa terakhir ini langsung menghadap laut lepas, Laut Jawa. Betapa parahnya rob itu, terlihat pada 8 Desember pagi. Jalan sepanjang Keraya-Sabuai penuh sampah, hingga potongan-potongan dahan dan kayu.

 

Warung milik warga Desa Kubu, roboh setelah diterpa angin kencang saat banjir pasang Selasa (7/12/21) malam. Foto: Budi Baskoro/ Mongabay Indonesia

 

Menurut kesaksian warga, banjir datang didahului angin ribut. Sekitar pukul 19.00 WIB, air mulai naik. Alex Gunawan, community development specialist pada perusahaan swasta yang tinggal di Desa Keraya, mengatakan, puncak gelombang tinggi terjadi mulai pukul 21.00 WIB-22.00 WIB. “Ada batu, kayu naik, melompatin tanggul dari karung di sisi jalan,” katanya.

Dia bersama istri, sempat mengukur ketinggian ombak melalui sebuah aplikasi internet. “Ombak tingginya 2,41 meter-3,1 meter.”

Dampak terjangan ombak, sebuah resto milik warga Keraya yang cukup dikenal masyarakat pun berantakan. Sampah dan potongan kayu berserakan. Sebuah perahu di tepi pantai yang menjadi pajangan untuk photo corner pun rusak berat. Beberapa bagian bodi perahu patah. Sampah papan, potongan kayu, dan batu memenuhi bagian dalamnya. “Itu ikon dari tempat kami,” ujar Agung Zarmansyah, pemilik resto.

Untuk Desa Keraya, sebelum pasang tinggi malam itu, abrasi sudah menjadi masalah serius. Daratan hilang terhitung cepat. Pada 2015, masih ada daratan dari bibir jalan ke bibir pantai di depan rumah Alex. Kini, air laut dengan jalan hanya dibatasi tumpukan-tumpukan karung berisi pasir-batu sebagai pembatas. “Ada sekitar 15 meter hilang,” kata Alex.

Di Desa Sabuai Timur, ombak besar hingga merobohkan dapur rumah kepala desanya, Efendi. “Kondisi dapur kami sudah habis terbawa gelombang. Genangan air sampai ke jalan raya. Sampah-sampah dari laut naik ke jalan. Kami dan warga gotong-royong membersihkan jalan- yang terkena sampah,” katanya, 8 Desember lalu.

Senasib dialami Kepala Desa Sabuai, Tohhari. Rumahnya berjarak 800 meter dari bibir pantai, juga tergenang air pasang. Kontur tanah sedikit lebih rendah dibanding beberapa RT lain, membuat rumah dia dan warga sekitar tergenang, meski jauh dari pantai.

Di Sabuai, air memasuki pemukiman warga di empat dari tujuh RT, dengan kedalaman tertinggi antara 80 centimeter sampai satu meter. Dampaknya, pembudidaya ikan harus gigit jari sebelum panen yang sebenarnya tinggal menghitung hari.

“Kasihan benar. Kami (program) pemberdayaan kemarin bagi kolam terpal. Ada yang tambak. Jadi begitu air rob tadi malam, nila segala macam habis. Belum sempat panen. Sebenarnya jadwal sudah hampir panen,” kata Tohhari.

Situasi serupa di pesisir Kotawaringin Barat, itu juga terjadi di Kabupaten Seruyan, dua hari kemudian. Banjir pasang laut itu membuat malam Jumat warga pesisir Seruyan menjadi tidak tenang. Situasi terparah di Seruyan dialami Desa Sungai Undang.

“Kurang-lebih ketinggian banjir mencapai satu meter di atas permukaan jalan. Banjir itu dimulai naiknya pasang air laut sekitar pukul 10.00 malam, berakhir di pukul 2.00-3.00 dini hari. Jadi kurang lebih empat sampai lima jam,” kata Ikhwan Arifin, Kepala Desa Sungai Undang, melalui telepon.

Dia bilang, dampak banjir pasang ini, sekitar 80% rumah warga kemasukan air, atau lebih 200 rumah. “Rumah saya di bagian dapur belakang juga terendam. Sebelumnya tidak pernah. Tahun ini ikut terendam.”

Sungai Undang, merupakan desa paling hilir di Daerah Aliran Sungai (DAS) Seruyan. Pemukiman berjejer di sepanjang sisi barat Sungai Seruyan, dan di tepi pantai Laut Jawa untuk bagian selatannya. Sebagai wilayah pesisir, risiko banjir pasang sangat dipahami warga. Namun banjir kali ini paling parah. “Memang ada sebelumnya, tahun-tahun lalu, cuma nggak separah ini. Kalau pun ada rumah warga yang terendam nggak banyak.”

Sebelumnya, kata Ihwan, sekitar dua kali beberapa rumah warga terendam tetapi diikuti hujan deras, berbeda dengan kali ini hanya rintik. “Saya anggap bukan hujan sebenarnya.”

Fredi Mansur, warga Kuala Pembuang, ibukota Seruyan, mengatakan, selain Sungai Undang, wilayah yang terdampak rob meliputi Kelurahan Kuala Pembuang II, Kampung Fatimah, Pematang Limau, dan Desa Kartika Bakti, Kecamatan Seruyan Hilir Timur.

 

Sampan kecil warga terlempar ke daratan karena banjir pasang di Desa Kubu, Selasa (7/12/21). Foto: Budi Baskoro/ Mongabay Indonesia

 

Fenomena apa?

Pesisir Kalteng kena banjir rob ini fenomena baru. Mengapa bisa terjadi? Arie Rompas, juru kampanye Greenpeace Indonesia mengatakan, selama ini mereka lebih mengamati fenomena banjir di pesisir utara Jawa yang sudah sering terjadi. Menurut dia, banjir yang kerap merendam pesisir utara Jawa, selain karena rob, lantaran penurunan permukaan tanah karena pembangunan, seperti penyedotan air tanah melalui sumur-sumur dalam, di kota-kota besar, seperti Jakarta.

Di Kalimantan, faktor-faktor seperti di pesisir utara Jawa itu tidak terjadi. “Mungkin bisa jadi itu kerusakan dari mangrove di pesisir. Ya mungkin bisa terjadi di Kalimantan. Tapi juga nggak terlalu signifikan,” katanya.

Saat banjir terjadi, Stasiun Meteorologi Maritim Semarang mencatat, pasang tertinggi di perairan Kotawaringin Barat mencapai180 centimeter. Ketinggian rata-rata permukaan laut atau mean sea level (MSL) di perairan Kotawaringin Barat adalah satu meter. “Artinya ada kenaikan pasang sekitar 80 centimeter,” ujar Retna Swasti Karini, prakirawan Stasium Meteorologi Maritim Semarang, melalui pesan singkat.

Retna mengatakan, gelombang di Laut Jawa dan perairan selatan Kalimantan saat itu berkisar 1,25-2,5 meter. Kondisi ini yang menyebabkan menambah ketinggian pasang di Kotawaringin.

Eko Yulianto, prakirawan Stasiun Meteorologi Iskandar Pangkalan Bun, menambahkan, berdasarkan pantauan radar kecepatan angin malam itu sangat tinggi, mencapai 20 knot. Angka itu sama dengan kecepatan 36 kilometer per jam.

Menutur dia, kecepatan rata-rata angin di Kalimantan tergolong rendah, hanya sekitar tiga knot. Hanya kadang-kadang muncul angin kencang, yang biasa tidak lama karena ada awan CB (cumulonimbus).

Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) dua bulan lalu sudah memperingatkan, bahaya bencana alam akhir tahun akibat La-Nina. Dalam siaran persnya pada 18 Oktober 2021, BMKG memprediksi terjadi 20%-70% peningkatan curah hujan di atas normal. BMKG menyebut, kondisi itu bisa menyebabkan bencana hidrometeorologi. Lembaga ini mengingatkan, penting mitigasi bencana oleh pemerintah daerah dan lembaga-lembaga terkait.

Bencana banjir tak hanya terjadi di pesisir Kalimantan Tengah, juga di Sumatera dan Pulau Jawa. Banjir menerjang Kabupaten Dharmawangsa (Sumatera Barat). Pemerintah Dharmasraya pun menetapkan status tanggap darurat bencana banjir berlaku 14 hari terhitung mulai 13-26 Desember 2021.

Di Jawa Timur pun banjir, seperti di Situbondo, banjir bandang menggenangi rumah 127 keluarga di tiga desa, Kecamatan Besuki, Situbondo. Ketiga desa terdampak yaitu Desa Pesisir, Besuki dan Kalimas. Saat banjir tinggi muka air antara 30 -50 cm.

Pada 15 Desember lalu, hujan deras disertai angin puting beliung menerjang empat kecamatan di Kabupaten Madiun, Jawa Timur. Dampak peristiwa itu, tujuh orang luka-luka dan 515 rumah rusak ringan hingga berat.

Abdul Muhari, Plt. Kepala Pusat Data Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB mengatakan, dilihat dari kajian inaRISK, sejumlah kecamatan terdampak di Kabupaten Dharmasraya, Sumatera Barat, dan Situbondo, Jawa Timur, memiliki potensi banjir kategori sedang hingga tinggi. BNPB mengimbau, pemerintah daerah dan warga selalu meningkatkan kewaspadaan dan kesiapsiagaan selama musim hujan, khusus puncaknya pada Januari 2021 hingga Februari 2022.

Hatma Suryatmojo, pakar dari Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada menulis, bencana hidrometeorologi merupakan bencana yang dipengaruhi oleh faktor-faktor meteorologi, seperti curah hujan, temperatur, kelembaban, dan angin. Bencana itu bisa berwujud kekeringan, banjir, badai, kebakaran hutan, longsor, berbagai jenis angin ribut, hingga gelombang dingin, atau gelombang panas.

Meski begitu, katanya, penyebab utama bencana adalah kerusakan lingkungan yang masif karena penurunan daya dukung dan daya tampung lingkungan.

Frekuensi curah hujan tinggi, katanya, tidak selalu mendatangkan bencana. Hal ini terkonfirmasi dengan data perbandingan antara Papua dan Jawa antara 2009-2016. Curah hujan lebih tinggi di Papua tetapi banjir lebih sering terjadi di Jawa.

Kerusakan lingkungan, seperti deforestasi dan sulit membendung peningkatan emisi karbon yang memenuhi atmosfer, masalah iklim terjadi.

Arie Rompas mengingatkan, bisa saja dampak krisis iklim terjadi sekarang. Dia menyitir laporan IPCC (The Intergovernmental Panel on Climate Change) Agustus lalu, yang harus dilakukan melaksanakan strategi pembangunan yang tidak merusak, untuk mencegah ancaman pemanasan global naik sampai 1,5 derajat celcius.

Dia menyebut, menghentikan deforestasi atau beralih ke energi terbarukan sudah mendesak. Langkah-langkah teknokratis seperti penanaman mangrove saja tidak cukup. “Kalau mangrove ditanam mungkin itu bisa menghambat hantaman daya dorong dari gelombang permukaan air laut. Tapi kalau menghambat untuk tidak tenggelam, itu tidak menjawab.”

 

 

***

Isu perubahan iklim sebagai penyebab bencana mungkin belum sepenuhnya dipahami masyarakat. Namun, cuaca ekstrem seperti gelombang pasang minggu lalu di Kotawaringin Barat dan Seruyan, membuat warga kini khawatir.

Fredi Mansur bilang, dari pembicaraan masyarakat nelayan, banjir dengan dampak lebih besar lagi mungkin terjadi. Air pasang seperti kemarin yang dibarengi angin ribut, bisa lebih mengancam lagi kalau musim angin tenggara.

“Saat ini, sudah cukup tinggi. Ini belum ditambah lagi hujan. Memang sudah mengkhawatirkan,” katanya.

 

 

******

Foto utama: Banjir menerjang Kalimantan Tengah juga Sumatera, seperti dalam foto itu banjir terjadi di Kabupaten Dharmawangsa, Sumatera Barat. Foto: BNPB

Exit mobile version