Mongabay.co.id

Wawancara Nonette Royo: Penyelamatan Iklim Global Tak Akan Berhasil Tanpa Jaminan Hak Masyarakat Adat

 

Penelitian yang diterbitkan dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan bahwa wilayah Adat mengalami tingkat kehilangan hutan yang jauh lebih rendah daripada lahan non-Adat. Wilayah Adat menyumbang setidaknya 36 persen dari “hutan utuh” dunia dan Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal (MAKL) tinggal atau mengelola area dengan demikian memainkan peran penting dalam mengatasi tantangan lingkungan utama yang kita semua hadapi, mulai dari hilangnya keanekaragaman hayati hingga perubahan iklim.

Namun di banyak tempat, MAKL tidak memiliki pengakuan formal atas tanah dan sumber daya adat mereka, mengancam hak asasi manusia mereka serta meningkatkan risiko bahwa wilayah ini dapat rusak atau hancur, juga memperburuk masalah lingkungan secara global.

Untuk alasan ini, membantu MAKL mengamankan hak atas tanah semakin dilihat sebagai komponen utama dari upaya untuk mengatasi perubahan iklim dan mencapai tujuan konservasi.

Nonette Royo, seorang pengacara dari Mindanao Utara di Filipina yang telah bekerja di area kerja antara HAM dan lingkungan selama lebih dari 30 tahun dan telah ikut mendirikan beberapa organisasi, adalah salah satu advokat paling giat dalam kampanye untuk memajukan hak-hak masyarakat adat, masyarakat lokal, dan perempuan.

Royo sekarang adalah Direktur Eksekutif Tenure Facility, yang didirikan untuk memberikan dukungan finansial dan teknis kepada MAKL dalam perjuangan mereka untuk mengamankan dan memperkuat hak-hak mereka, dan termasuk pengakuan hukum atas kepemilikan tanah mereka.

Royo telah menjabat dalam posisi tersebut sejak Tenure Facility menjadi organisasi independen pada tahun 2017, ketika dipisahkan dari Rights and Resources Initiative (RRI).

 

Nonette Royo. Dok: pribadi

 

Selama masa bekerja yang masih singkat, Tenure Facility telah melakukan capaian substansial dalam isu ruang hak, yaitu membantu mitra mereka dalam mengamankan atau meraih kepemilikan di area sebesar 14 juta hektar, – identik dengan kurang lebih luas area pulau Jawa dan Madura.

Masyarakat yang memiliki kepastian kepemilikan atas tanah adat berpotensi memiliki suara yang lebih besar tentang bagaimana mengelola lahan tersebut, memilih model dan pola yang mereka pakai, dan mengatur manfaat yang diperoleh.

“Teknologi pemetaan telah sangat maju sehingga menghemat anggaran dan waktu untuk pengorganisasian di skala sosial atau komunitas dan mobilisasi sosial,” jelas Royo kepada Mongabay. “Teknologi pemetaan juga memajukan pemantauan hutan dan mendorong penegakan hukum di setiap langkah yang dijalankan.”

Namun pemetaan tenurial tidak sesederhana dengan cara hanya melihat kondisi hutan pada citra satelit. Komunitas masyarakatlah yang harus memimpin prosesnya, kata Royo. Informasi yang menghasilkan peta kelola lahan menjadi fokusnya.

“Pemetaan dan penggambaran wilayah sebagian besar merupakan proses ‘sosial’. Ini berarti bahwa tidak ada jumlah kecepatan dan pemetaan resolusi tinggi yang dapat diterima, juga tidak dapat menandingi kredibilitas dan legitimasi dari proses pemetaan sosial yang terarah, taktis, dan bertahap yang berbasis kepercayaan, dan dipimpin oleh komunitas.”

Royo bercerita tentang masalah ini dan berbagai topik lainnya dalam sesi wawancara dengan Pendiri Mongabay Rhett A. Butler pada Desember 2021.

 

Suasana musyawarah desa di India. Foto: Sushant Dalei

 

Resume wawancara dengan Nonette A. Royo disajikan sebagai berikut

Mongabay: Bagaimana Anda mulai bekerja di cross section isu ini, memasukkan isu masyarakat adat, sumber daya alam, dan hak atas tanah?

Nonette Royo: Saya bukan memulai sendiri tetapi karena tumbuh di tengah ‘persimpangan’ yaitu di Mindanao Utara di mana Masyarakat Adat, -baik yang masih berada di wilayah mereka maupun yang sudah kehilangan tanah, bekerja keras untuk mempertahankan tanah mereka, hutan mereka yang masih berdiri, dan budaya mereka dalam menghadapi ancaman terhadap kehidupan mereka, kriminalisasi, konflik horizontal, dan penggusuran.

Area itu dipenuhi dengan kekerasan, saya juga kehilangan teman dan (saya) bersumpah untuk menemukan arena yang ‘legal’ untuk melawannya. Kami mulai dengan undang-undang Wilayah Leluhur (Ancestral Domain), dan bahkan sebelum undang-undang itu diformalkan.

Di sana, masyarakat lokal dan adat mulai memetakan batas wilayah dan hutan untuk menunjukan bukti hak atas tanah dan bukti bermukim jangka panjang mereka. Mereka menggunakan bukti ini untuk membawa penebang dan penambang ke pengadilan.

 

Peta Tanah Adat dan Komunitas yang di-overlay dengan wilayah hutan primer di Amerika Selatan.

 

Mongabay: Anda telah bekerja di bidang ini selama lebih dari 25 tahun. Adakah perbedaan terbesar antara saat Anda baru memulai dan sekarang?

Nonette Royo: Perbedaan terbesar antara dulu dan sekarang teknologi pemetaan sudah sangat maju, sehingga menghemat anggaran dan waktu untuk pengorganisasian sosial atau komunitas dan mobilisasi sosial. Teknologi pemetaan juga memajukan pemantauan hutan dan mendorong penegakan hukum yang dijalani.

Perubahan lainnya adalah kebijakan dan pola pikir global dan nasional telah berubah. Khususnya saat berupaya untuk memerangi perubahan iklim dan mendukung hak-hak masyarakat lokal dan adat, serta peran kunci mereka dalam melindungi alam dan meningkatkan solusi berbasis alam.

Hal ini menunjukan bahwa bahkan pemerintah saja yang juga berperan lewat penandatanganan Perjanjian Paris, membuat komitmen, dan menyatakan keterbukaan untuk kemitraan dengan para penjaga hutan.

Namun sayangnya, konflik dan kriminalisasi masih saja mengiringi ambisi ‘pertumbuhan’ ekonomi nasional berbasis eksploitasi alam yang tiada henti.

Baca juga: HKMAN 2021: Masyarakat Adat Masih Terus Berjuang untuk Pengakuan

 

Pemetaan partisipatif lahan di Peru. Dok: Tenure Facility.

 

Mongabay: Dalam beberapa tahun terakhir, dampak perjuangan yang dibuat oleh masyarakat adat dan komunitas lokal lewat hasil konservasi secara tradisional, seperti menjaga ekosistem yang sehat dan produktif, semakin kencang. Menurut Anda faktor apa yang bertanggungjawab untuk ini?

Nonette Royo: Saya pikir kombinasi beberapa faktor, termasuk pengorganisasian dari bawah ke atas dan hasil riset kaum konservasionis yang bekerja di bawah naungan organisasi konservasi di lokasi, menunjukkan adanya bukti dari konsep yang dilakukan oleh masyarakat adat. Kadang [hasil laporan] orang-orang ini seringkali bertentangan dengan rekan konservasi mereka lain.

Saya juga melihatnya dari upaya top-down dalam menerapkan program konservasi dan pembangunan terpadu atau ICDP yang berlaku sebagai ‘program jembatan’. Saya membantu menjalankan konsorsium Program Dukungan Keanekaragaman Hayati yang didanai USAID antara WWF-WRI-TNC di Indonesia.

Program itu membantu memulai pendekatan berbasis hak untuk konservasi, melalui pendanaan untuk perlindungan teritorial masyarakat adat untuk melindungi keanekaragaman hayati mereka, dan menerapkan ‘pengelolaan adaptif’.

Bersama Ford Foundation dan konsorsium pemetaan partisipatif JKPP, lahirlah jaringan JAPHAMA. Yang menanam benih Aliansi Masyarakat Adat Nusantara terbesar, AMAN [Aliansi Masyarakat Adat Nusantara].

 

Mongabay: Tenure Facility hampir berusia lima tahun sebagai entitas independen. Bagaimana cara kerja fasilitas tersebut?

Nonette Royo: Tenure Facility mendukung kelompok pemegang hak, masyarakat adat, dan kelompok masyarakat lokal, yang menerapkan tenurial mereka, menerapkan hukum, kebijakan, prosedur, dan yurisprudensi internasional dan nasional yang ada. Mereka melakukan ini sambil melindungi, memantau, dan menegakkan kesepakatan untuk mengamankan tanah, hutan, sumber daya alam, tanah, dan perairan mereka di wilayah mereka.

Hal ini mencakup empat pilar: mencapai tujuan bersama, memetakan batas (dan menyelesaikan konflik perbatasan), verifikasi dengan unit pemerintah terkait, dan tata kelola dan integritas teritorial.

Masing-masing membutuhkan rasa kepercayaan dari pemilik ilmu pengetahuan, nilai-nilai bersama, pelaksanaan dan fasilitator terpercaya.

Semuanya bergantung pada konteks di setiap tahapan, mencakup proses persetujuan atau pembangunan konsensus untuk melindungi wilayah yang lebih luas dan berdekatan. Dalam 4,5 tahun terakhir, mitra MAKL Tenure Facility telah mampu meningkatkan kepemilikan mereka menjadi sekitar 14 juta hektar, termasuk pendaftaran dan perlindungan lansekap hutan utama.

 

Nonette Royo saat berbicara di Global Landscape Forum. Kredit foto: Pilar Valbuena/GLF

 

Mongabay: Apa dampak terbesar Tenure Facility hingga saat ini? Apakah ada proyek atau inisiatif tertentu yang paling sesuai dengan apa Tenure Facility coba untuk capai?

Nonette Royo: Contohnya di Panama, di mana perlindungan taman nasional dan kawasan hutan lebih kuat di mana masyarakat adat memetakan dan mendaftarkan hak atas tanah. Mahkamah Agung Panama menyatakan bahwa kawasan tradisional milik pribumi Naso Tjër, atau ‘Comarca’, dinyatakan sudah konstitusional meski tumpang tindih dengan Taman Internasional La Amistad, Situs Warisan Dunia UNESCO, karena mereka adalah pelindung terbaiknya.

Di Indonesia, pengelolaan bersama hutan dan wilayah adat telah diperkuat melalui pemetaan dan pendaftaran, termasuk melalui Gugus Tugas Presiden untuk Reforma Agraria yang bertujuan menyelesaikan konflik pertanahan dan mendaftarkan lebih banyak lahan untuk memenuhi target Reforma Agraria.

Contoh lain dapat ditemukan di situs website Tenure Facility.

 

Mongabay: Apa yang Anda lihat sebagai hambatan atau tantangan terbesar dalam mencapai tujuan Tenure Facility dalam waktu dekat dan jangka panjang?

Nonette Royo: Organisasi MAKL perlu terus didorong untuk mengingat kembali “Ways of Doing” mereka sendiri yang konsisten dengan “Ways of Being”, lebih luas lagi adalah tentang visi tentang konsep keberlanjutan pengelolaan wilayah mereka.

Dengan cara ini, akan memungkinkan mereka untuk menghasilkan dana sendiri dari pola-pola pengamanan hutan dan pemulihan lahan di wilayah mereka (setelah periode bantuan berakhir).

Sistem akuntabilitas top-down Barat (kadang) tidak sesuai dengan cara kerja MAKL dalam sistem akuntabilitas yang terdistribusi, melingkar dan transparan. Pendekatan dan kebutuhan mereka skala kecil, konsisten, bertahap dan berjangka panjang (antar generasi).

Kemitraan dan hubungan mereka didasarkan pada kepercayaan dan diuji melalui waktu dan berbasis nilai ‘saling ketergantungan’ atau ‘timbal balik’ atau ‘kebersamaan’.

Baca juga: Cerita dari Kasepuhan Karang pasca Penetapan Hutan Adat

 

Masyarakat adat Kasepuhan di Kabupaten Lebak, Banten. Dok: Tenure Facility

 

Mongabay: Seperti apa sebenarnya inklusi dalam hal kepemimpinan dan keterlibatan dalam isu konservasi?

Nonette Royo: Kepemimpinan berarti belajar bagaimana menjadi pengikut. Organisasi konservasi di antara banyak dari kita terlibat, sangat perlu mempelajari secara in-situ, langsung berinteraksi dengan alam dan kepada orang-orang yang betul melindungi atau hidup dengan alam.

Hal ini paling dibutuhkan di ruang konservasi adalah pola pikir yang menghormati semua hak, bukan hanya orang (sebagai individu atau kolektif), tetapi cara mereka merawat alam dan makhluk yang hidup berdampingan dengan alam. Ada Hak Biokultural dan ‘Protokol Komunitas Biokultural’ yang memandu kita, dan bahwa organisasi konservasi dapat beradaptasi dan memanfaatkannya.

 

Mongabay: Apa dampak COVID-19 pada pekerjaan Anda dan komunitas yang Anda layani? Apakah menurut Anda masyarakat akan mengambil pelajaran dari pandemi?

Nonette Royo: COVID-19 menghancurkan dan memperkuat banyak komunitas. Umumnya, mereka yang wilayahnya lebih aman dan dapat diakses oleh bantuan publik memiliki cara yang lebih baik untuk mengatasi, bertahan dengan praktik mereka sendiri, bernegosiasi dengan pihak eksternal, dan membagikan apa yang mereka miliki kepada mereka yang membutuhkan.

 

Mongabay: Di luar apa yang telah Anda jelaskan sejauh ini dalam wawancara, di dalam area apa konservasi perlu ditingkatkan menjadi lebih baik?

Nonette Royo: Pengakuan hak atas tanah dan mengintegrasikannya dengan semua hak lain yang saya sebutkan di atas. Kemudian dari sana, kembangkan kemitraan yang tulus, dan pembiayaan bersama, dengan melibatkan semua aktor.

Baca juga: Menanti UU Perlindungan Masyarakat Adat

 

Lahan kelola masyarakat adat di Madre de Dios, Peru. Dok: Tenure Facility

 

Mongabay: Tahun lalu merupakan tahun penuh tantangan bagi para pembela lingkungan dengan meningkatnya kekerasan dan kriminalisasi atas aktivitas yang mereka jalankan. Apakah Anda memiliki masukan tentang bagaimana situasi dapat ditingkatkan (atau diperbaiki)?

Nonette Royo: Mendukung lebih banyak ‘fasilitas’ pembela hak atas tanah termasuk tim yang bereaksi secara cepat dari reporter media, pengacara, teknologi yang canggih, dana untuk perlindungan dan pemindahan segera aktivis yang terancam, dan penciptaan ruang netral dan aman.

 

Mongabay: Apa yang akan Anda katakan kepada orang-orang muda yang tertekan tentang lintasan planet saat ini?

Nonette Royo: Segera libatkan diri dengan cara apa pun yang Anda bisa, di mana pun Anda merasa terpanggil untuk bertindak, dan bergerak sekarang

 

Tautan asli artikel asli berbahasa Inggris dapat di lihat di Climate effort won’t succeed without secure community rights says Nonette Royo. Artikel ini disadur dan diterjemahkan oleh Akita Verselita

 

***

Dua pemuda adat Kasepuha Banten Kidul dalam busana tradisional. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia-INFIS

Exit mobile version