Mongabay.co.id

Begini Komitmen Pemuda dan Masyarakat Pesisir Bandaran Menjaga Lautnya

 

 Air laut jernih membiru bergelombang tenang. Deretan pohon kelapa yang tumbuh di hamparan pasir putih yang bersih dari sampah, dengan latar langit biru berawan tipis.

Kapal-kapal dan perahu berlayar tenang. Lumba-lumba meloncat riang. Pulau-pulau kecil nampak asri dengan hijaunya mangrove dan tumbuhan besar lainnya. Ikan-ikan berenang riang di berbagai sudut. Di seberang sana, gunung nampak eksotik, kokoh, menjulang.

Begitu rangkuman imajinasi laut masa kini dan masa depan yang tergambar dalam puluhan lukisan sejumlah siswa SD se-Desa Bandaran, Kecamatan Tlanakan, Kabupaten Pamekasan, Jawa Timur. Puluhan lukisan itu dipajang pada acara workshop ekosistem laut yang digelar Komunitas Bhura’an di balai desa setempat, Senin (29/11/2021).

Zainal Abidin Hanafi, salah satu penggagas komunitas itu mengatakan, Komunitas Bhura’an merupakan wadah bagi pemuda setempat untuk bekerjasama dan pemberdayaan isu lingkungan setempat. Seperti edukasi lingkungan sejak dini kepada pra siswa melalui lomba melukis dan workshop ekosistem laut kepada masyarakat.

“Kami sadar, tidak baik saling menyalahkan soal lingkungan. Termasuk persoalan sampah yang sampai saat ini belum juga teratasi. Kita perlu saling menyadarkan untuk peduli terhadap lingkungan dan butuh gerak nyata. Dari lomba lukis kemarin, kami bisa tahu, imajinasi mereka soal laut itu bagus. Tapi nyatanya, laut kita hari ini tercemar,” ujarnya.

baca : Miris, Berikut Penampakan Sampah di Pesisir Selatan Madura

 

Para juara lomba lukis bersama panitia berfoto usai menerima hadiah. Foto : Gafur Abdullah/Mongabay Indonesia

 

Meski belum banyak berkarya karena baru terbentuk, Kelompok Bhura’an mengajak masyarakat peduli lingkungan termasuk soal sampah melalui kegiatan itu.

“Bhurâ’ân diinisiasi pemuda, tetapi tidak bisa bergerak sendiri. Butuh dukungan masyarakat menjaga lingkungan Bandaran ini. Juga para guru, diharapkan turut memberikan edukasi lingkungan melalui ruang-ruang kelas,” ujarnya.

Yusuf, salah satu perangkat desa Bandaran mengatakan, nelayan dan masyarakat Bandaran resah dengan kondisi laut yang semakin kotor. Dampaknya ikan makin sedikit dan sulit didapat, sehingga nelayan harus melaut lebih jauh.

Dia bilang, Bhurâ’ân merupakan momen panen ikan selama 2 sampai 5 bulan bagi nelayan setempat, termasuk saat musim hujan. Tapi Bhurâ’ân saat ini jauh berbeda, musim panen ikan hanya satu minggu.

“Kenapa ini terjadi? Apakah karena laut area pesisir kita sudah kotor? Semoga kedepan kita dapat bersama-sama merubah keadaan ini,” ujarnya.

Yusuf mewakili pemerintah Desa Bandaran dan masyarakat mendukung dan berterima kasih dengan inisiasi kegiatan komunitas Bhurâ’ân yang positif itu.

Sedangkan Endang Tri Wahyurini, Dosen Prodi Perikanan Universitas Islam Madura (UIM) sekaligus pembicara dalam acara itu mengatakan menjadi masyarakat pesisir merupakan anugerah Tuhan karena mudah menikmati kekayaan laut dan bisa jadi mata pencaharian.

“Sebagian beranggapan, masyarakat pesisir diklaim sebagai kantong kemiskinan. Justru potensi alamnya yang luar biasa dengan kekayaan ikannya untuk ditangkap, dijual segar dan diolah untuk mendapatkan uang,” katanya.

Endang mengatakan saat musim panen ikan, nelayan bisa menjual ikan segar. Tetapi sebaiknya ikan bisa diolah agar harga jual lebih mahal dan menjadi strategi saat menghadapi musim paceklik ikan saat nelayan tidak berani melaut karena cuaca buruk.

“Saat musim paceklik ini, perempuan nelayan berjualan camilan hasil olahan sendiri untuk tetap bisa menyangga ekonomi keluarga. Ke depan, ibu-ibu bisa memanfaatkan musim itu dengan cara mengolah hasil laut dalam bentuk apapun. Seperti diolah menjadi nugget, krupuk, sosis, dan olahan lainnya,” jelasnya.

baca juga : Potret Perempuan Nelayan di Pesisir Jumiang Pamekasan

 

Ilustrasi. Maftuha (kanan bermasker) dan Maryati (kiri berkerudung kuning), perempuan nelayan penjemur ikan teri asin di Pegagaan, Pamekasan, Madura, Jatim mengecek tingkat kekeringan ikan yang dijemur. Foto : Gafur Abdullah/Mongabay Indonesia

 

Ketua Kelompok Peduli Mangrove Madura (KPMM) itu menjelaskan, ada tiga ekosistem utama di laut yang penting untuk dijaga yaitu mangrove, terumbu karang, dan padang lamun.

Secara fisik, mangrove bisa mengendalikan abrasi pantai, mengurangi tiupan angin kencang dan terjangan gelombang laut, mempercepat laju sedimentasi, mengendalikan intrusi air laut, dan menyerap dan mengurangi polutan

Secara ekonomi, hutan mangrove bisa dimanfaatkan kayunya dan hasil hutan bukan kayu, seperti madu, bahan obat-obatan, minuman, makanan, tanin. Bahkan menjadi lahan untuk kegiatan produksi pangan dan ekowisata.

“Secara biologis, mangrove bisa jadi tempat mencari makan, tempat pemijahan, dan tempat berbiak ragam jenis ikan, udang, kerang dan biota laut lainnya. Juga tempat bersarang berbagai satwa liar, terutama burung, dan sumber plasma nutfah,” ungkapnya.

Sedang terumbu karang, berfungsi untuk menangkap sedimen, kawasan tempat mencari makan, dan menghasilkan nutrien. “Terumbu karang bisa jadi habitat berbagai biota laut, tempat pemijahan, peneluran dan pembesaran anak-anak ikan, sebagai sumber makanan bagi ikan-ikan, mencegah abrasi pantai, membantu mengurangi pemanasan global karena menyerap bisa karbondioksida, yang diubah sebagai bahan baku terumbu dengan reaksi kimia, dan ini perlu dilestarikan,” jelasnya.

Menurutnya, terumbu karang bisa rusak karena cara tangkap ikan dengan menggunakan bahan peledak, menggunakan racun sianida, menggunakan pukat harimau atau pukat hela, Ghost Fishing atau alat tangkap yang rusak, setrum atau electric fishing, pencemaran limbah dan sampah, pengambilan dan penambangan terumbu karang.

Sedangkan padang lamun, katanya, bisa menjadi perlindungan pantai terhadap gelombang dan arus, menjadi habitat dan kawasan tempat mencari makan dan berkembang biak, bisa memanfaatkan nutrien secara efisien.

baca juga : Aksi Endang Wahyurini Selamatkan Mangrove Madura

 

Tumpukan sampah di pesisir pantai Desa Bandaran, Tlanakan, Pamekasan, Madura, Jatim dengan latar belakang puluhan kapal nelayan. Foto : Gafur Abdullah/Mongabay Indonesia

 

Sementara Farhan Hakim pegiat pengolahan sampah plastik bilang, berbagai jenis sampah menjadi permasalahan di laut. “Bukan hal baru bicara plastik mengotori laut kita. Makanya ada daerah yang melarang penggunaan plastik untuk meminimalisir sampah plastik,” jelasnya.

Dia sarankan, ketika belanja untuk membawa tas belanja tidak sekali pakai. Dia merasa miris melihat suatu daerah yang belum mengelola sampah dengan baik, termasuk di daerah pesisir. Sungai-sungai di daerah perkotaan pun jadi kotor karena sampah dibuang sembarangan bahkan dijadikan tempat pembuangan air sisa mandi dan lainnya.

“Jujur, saya merasa miris melihat pesisir Madura hari ini. Karena hampir semuanya airnya kecoklatan seperti kopi susu. Salah satu sebabnya karena kotor dari sampah dan limbah rumah tangga, tambak, bahkan industri,” ujar pegiat lingkungan yang memanfaatkan bahan bekas menjadi baju dan aksesoris lainnya tersebut.

Persoalan laut seperti ini tidak bisa dibiarkan. Tidak ada solusi terbaik selain bersama-sama menjaga laut dengan cara mulai dari hulu, yakni dari setiap individu.

“Kalau tidak dimulai dari hulunya, maka lukisan laut bersih seperti yang digambar siswa-siswi yang dipajang ini, ya hanya sebatas gambar dan imajinasi saja. Mereka ini generasi untuk beberapa tahun ke depan. Bisa jadi, kalau kita selaku generasi hari ini cuek akan kerusakan lingkungan, maka mereka tidak akan bisa menikmati kekayaan laut yang cukup potensial di masa depan,” tegasnya.

 

Exit mobile version