Mongabay.co.id

Video: Melirik Kopi Sebagai Bahan Bakar Nabati Potensial

 

 

Tahun 2006, menjadi tonggak penting dalam sejarah pengembangan Bahan Bakar Nabati [BBN] di Indonesia. Saat itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan Peraturan Presiden [Perpres] Nomor 5 Tahun 2006, tentang Kebijakan Energi Nasional. Perpres tersebut ditindaklanjuti dengan Instruksi Presiden [Inpres] Nomor 1 Tahun 2006 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati atau Biofuel sebagai bahan bakar lain.

Kebijakan energi nasional dengan memanfaatkan bahan bakar nabati bertujuan untuk mewujudkan keamanan pasokan energi dalam negeri. Kebijakan utamanya meliputi penyediaan energi yang optimal, pemanfaatan energi yang efisien, penetapan harga energi kearah harga keekonomian dan pelestarian lingkungan. Pengembangan bahan bakar nabati dimungkinkan dapat memberikan kontribusi pada penurunan gas rumah kaca di sektor energi tahun 2030.

Baca: Perubahan Cuaca yang Berpengaruh pada Produktivitas Kopi Gayo

 

Aceh memiliki potensi kopi yang dibudidayakan di dataran tinggi Gayo, yaitu jenis arabika dan robusta. Foto: Ariel Kahhari

 

Bahan bakar nabati atau biofuel dapat dibagi beberapa jenis yaitu bioetanol, biodiesel, dan biogas. Bioetanol merupakan alkohol yang berasal dari tumbuh-tumbuhan, seperti gandum, tebu, jagung, singkong, ubi, buah-buahan, hingga limbah sayuran. Untuk memperoleh alkohol tumbuhan, proses awal yang harus dilewati adalah fermentasi.

Sementara biodiesel adalah bahan bakar yang terbuat dari minyak kedelai, minyak buah jarak, hingga minyak bunga matahari. Namun, setiap negara memiliki sumber bahan baku biodiesel berbeda.

Di Jepang, sumber bahan baku biofuel diperoleh dari minyak bekas restoran, sedangkan di Indonesia, sumber biofuel dibuat dari bahan minyak sawit mentah. Adapun jenis biofuel lain adalah biogas yang merupakan bahan bakar yang berasal dari hasil fermentasi sampah tumbuhan atau kotoran, baik manusia atau hewan.

Dalam kajian pengembangan bahan bakar nabati yang dilakukan Bappenas tahun 2015, ada sejumlah tanaman yang direkomendasikan sebagai penghasil bahan baku biodiesel dan bioetanol.

Tanaman yang direkomendasikan untuk dikembangkan adalah kelapa sawit, kelapa, dan kemiri sunan. Sementara, tanaman penghasil bahan baku bioetanol yang direkomendasikan untuk dikembangkan adalah tebu, sorgum, dan sagu.

Baca: Kopi Indonesia, Bukan Hanya untuk Dunia tapi juga Benteng Konservasi

 


 

Jessy Hendra Arthaviana dalam penelitiannya berkesimpulan, biodiesel juga dapat diperoleh dari limbah ampas kopi. Untuk memperoleh dua liter biodiesel, diperlukan 10 kilogram ampas kopi. Kandungan trigliserida dalam minyak kopi sebesar 81,3%. Ampas kopi mengandung minyak nabati dengan 11-20 %. Jumlah ini, setara dengan bahan baku biosolar tradisional seperti sawit atau kacang kedelai.

Hasil penelitian ini juga sejalan dengan pemikiran sekretaris akademisi Universitas Syiah Kuala, sekaligus Sekretaris Tim Pakar Dewan Kopi Aceh Yusya’ Abubakar. Menurutnya, ada bagian kopi yang bisa diolah menjadi bahan bakar yaitu kulit tanduk dan ampas kopi.

“Dari bahan baku tersebut, setidaknya ada dua jenis bahan bakar nabati yang bisa dihasilkan yaitu briket dan biodiesel. Namun, karena masih minimnya penelitian dan pasar, kulit dan ampas kopi banyak yang dibuang begitu saja,” tuturnya, pertengahan Desember 2021.

Belum dimanfaatkannya ampas kopi oleh para pengusaha warung kopi, sangat beralasan. Dedi Ikhwani, pemilik Coffee Shop di Banda Aceh, Provinsi Aceh, mengatakan jika usahanya memang hanya terfokus pada bisnis minuman. Meski demikian, dia tetap menyisihkan dan memisahkan antara ampas kopi dengan sampah lainnya.

“Sebab, ampas kopi tersebut sudah digunakan untuk pupuk,” tuturnya, baru-baru ini.

Baca juga: Petani Kopi Itu Penjaga Lingkungan dan Intelektualitas

 

Ampas kopi ternyata bisa digunakan untuk menghasilkan biodiesel. Hanya saja potensi ini belum maksimal dimanfaatkan. Foto: Ariel Kahhari

 

Aceh, sebenarnya diuntungkan dengan besarnya potensi kopi yang dibudidayakan di dataran tinggi Gayo. Kopi jenis arabika dan robusta tumbuh produktif di Aceh Tengah, Bener Meriah, dan Gayo Lues.

Luas areal kopi Arabika Gayo saat ini mencapai 103.495 hektar dengan total produksi 66.548 ton, melibatkan petani sejumlah 80.003 kepala keluarga. Saat ini, kopi Gayo sudah mampu menjadi pesaing Brazil dan beberapa negara di Asia seperti Thailand dan Vietnam.

Namun, hingga saat ini kopi Gayo hanya terfokuskan pada bisnis minuman atau komoditas ekspor. Masih membutuhkan waktu untuk menjadikannya sebagai bahan baku BBN, seiring bertambahnya pemahaman kolektif tentang sisi lain dari potensi kopi.

 

*Ariel Kahhari, jurnalis TVRI Aceh. Artikel ini didukung oleh Mongabay Indonesia dan Yayasan Madani Berkelanjutan

 

 

Exit mobile version