Mongabay.co.id

Palembang Terus Banjir Akibat Hilangnya Pengetahuan Lokal

 

 

Di penghujung tahun 2021, sebagian besar permukiman di Palembang, Sumatera Selatan banjir, menelan dua korban jiwa. Mengapa banjir terus melanda?

“Banjir yang melanda Palembang sama seperti yang terjadi di berbagai kota besar di Indonesia, seperti DKI Jakarta, Semarang, dan lainnya. Ini disebabkan pengetahuan lokal tentang adaptasi hidup di dataran rendah [lowland] sudah hilang,” kata Dr. Yenrizal Tarmizi, pakar komunikasi lingkungan hidup dari UIN Raden Fatah Palembang, kepada Mongabay Indonesia, Minggu [26/12/2021].

Pengetahuan lokal terkait hidup di wilayah lowland itu misalnya membangun rumah bertiang, menjaga keberadaan anak sungai musi, melestarikan lebak atau rawa gambut, serta menanam pohon di sepanjang tepian anak sungai. Bahkan, menyediakan perahu pada setiap rumah jika terjadi banjir.

“Dengan pengetahuan tersebut, selama ratusan tahun, tidak tercatat dalam sejarah masyarakat Palembang mengalami bencana karena banjir. Baik di masa Kedatuan Sriwijaya dan Kesultanan Palembang,” jelas Yenrizal. “Bencana banjir baru dialami masyarakat Palembang justru di masa Pemerintahan Indonesia, khususnya di masa Orde Baru dan Reformasi ini,” lanjutnya.

Jelasnya, bencana banjir yang dialami masyarakat Palembang karena pengetahuan lokal tersebut sudah ditinggalkan atau dilupakan pemerintah dan masyarakatnya.

“Mereka percaya ilmu pengetahuan dan teknologi moderen mampu mengatasi banjir guna melindungi pembangunan yang mengubah bentang alam. Misalnya, reklamasi kawasan rawa gambut, menimbun dan mengecilkan anak sungai, menimbun rawa gambut, membangun rumah atau gedung tidak bertiang, dan lainnya,” kata Yenrizal.

Baca: Mungkinkah di Masa Mendatang Palembang “Tenggelam”?

 

Petugas dari Dinas PUPR Kota Palembang memecahkan pembatas jalan di Jalan Basuki Rahmat Palembang, Minggu [25/12/2021]. Hal ini guna mengurangi genangan air di kawasan tersebut. Foto: Humaidy Kenedi

 

Sebagai informasi, setelah hujan mengguyur Palembang, Sabtu [25/12/2021] sekitar pukul 04.00 WIB, air dengan ketinggian 60 centimeter hingga satu meter, mengenangi lima kecamatan di Palembang; Kecamatan Seberang Ulu I, Seberang Hulu II, Sukarame, Kemuning, dan Ilir Barat I.

Dikutip dari merdeka.com, “Hujan dengan intensitas tinggi ini menyebabkan debit air anak Sungai Musi meluap,” kata Abdul Muhari, Pelaksana tugas [Plt] Kepala Pusat Data Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB, Minggu [26/12/2021].

Banjir ini menyebabkan dua korban jiwa. Sulasih [47] meninggal dunia akibat terseret arus deras banjir dan masuk ke gorong-gorong di kawasan Jalan MP Mangkunegara, Palembang. Dikutip dari Kompas.com, peristiwa itu bermula saat Sulasih mengendarai sepeda motor melewati arus deras banjir, Sabtu [25/12/2021] subuh. Tidak seimbang, dia dan sepeda motornya terjatuh. Tubuhnya terbawa arus deras banjir sekitar 30 meter, dan masuk ke gorong-gorong.

Hampir bersamaan, Azili [50], Dosen UIN Raden Fatah Palembang, meninggal dunia akibat tersetrum listrik di rumahnya, di Kecamatan Sukarami, Palembang. Azili tersetrum Ketika mau mencabut saklar mesin pompa air. Saat itu banjir setinggi 50 centimeter melanda rumahnya.

Baca: Palembang Banjir, Tidak Mengejutkan. Apa yang Harus Diperbaiki?

 

Genangan air terjadi di Simpang Fly Over Polda Sumsel, Sabtu [25/12/2021]. Genangan tersebut luapan dari kolam retensi yang tidak sanggup menampung air hujan. Foto: Humaidy Kenedi

 

Belanda menggeser pengetahuan lokal

Aryandi Novita, arkeolog dari Balai Arkeologi Sumatera Selatan, beberapa tahun lalu kepada Mongabay Indonesia, mengatakan banjir yang sering melanda Palembang bukan hanya karena faktor alam. “Ini karena kegagalan mempertahankan strategi adaptasi yang sudah diterapkan sejak ratusan tahun lalu oleh Kerajaan Sriwijaya maupun sebelumnya.”

Dijelaskannya, Palembang memiliki kondisi geografis berupa dataran banjir dan tanggul alam, yang diikuti dataran aluvial, rawa belakang dan perbukitan rendah denudasial, karena itu pada musim penghujan di beberapa tempat mudah dilanda banjir.

Sejak masa Sriwijaya hingga Kesultanan Palembang, hunian di Palembang menempati tepian Sungai Musi dan anak-anak sungainya. Masyarakat Palembang beradaptasi dengan kondisi geografis lingkungannya dengan cara mendirikan rumah-rumah bertiang atau rumah-rumah terapung yang dikenal dengan nama “Rumah Rakit”. Strategi ini juga diikuti para pendatang dari mancanegara yang menetap di Palembang pada saat itu.

“Pada masa kolonial Belanda strategi adaptasi tersebut mengalami perubahan. Ini dilihat ketika mereka membangun kawasan pemukiman Talangsemut,” katanya.

Baca: Refleksi Hari Bumi, Palembang Gagal Mempertahankan Strategi Adaptasi

 

Warga kawasan Jalan Rawa Jaya Palembang terdampak banjir akibar hujan dengan intensitas tinggi mengguyur Kota Palembang, Minggu [25/12/2021]. Foto: Humaidy Kenedi

 

Pembacaan perubahaan strategi ini, terlihat pada peta kawasan Talangsemut tahun 1922, 1930 dan 1945.

Pada peta 1922, terlihat kawasan Talangsemut masih berupa daerah perbukitan di bagian selatan dan rawa-rawa di bagian utara—yang tertulis sebagai Lebak Soeakbato.

Pada peta tahun 1930, terlihat mulai direncanakan penimbunan Lebak Soeakbato menjadi sebuah daratan dengan jaringan jalan yang dilengkapi dengan saluran air di sisi kiri kanannya—ini ditandai dengan garis putus-putus.

Pada peta 1945, terlihat pembangunan kawasan Talangsemut sudah selesai, yaitu berupa kawasan pemukiman baru untuk orang-orang Eropa yang merupakan warga kelas satu. Kawasan yang diperuntukan untuk kalangan elit tersebut dibangun dengan konsep “kota taman”rumah-rumah tidak didirikan saling berdempetan dengan tepian jalan yang ditanami pohon-pohon, median jalan yang difungsikan sebagai jalur hijau, serta ditambah beberapa taman atau fasilitas olah raga yang terletak di antara perumahan.

“Artinya, bentuk rumah-rumah yang pada masa sebelumnya dibangun di atas tiang berganti dengan bangunan yang menempel di tanah. Pengendalian banjir dilakukan dengan mengubah rawa menjadi kolam retensi yang terhubung dengan anak Sungai Musi, dilengkapi dengan jaringan saluran air yang berfungsi untuk mengalirkan air terutama pada saat musim penghujan. Kondisi tersebut masih dapat dilihat hingga saat ini,” jelasnya.

Baca: Hari Sungai Nasional: Kita Bangga Punya Banyak Sungai, tapi Tidak Merawatnya

 

Seorang warga membersihkan tumpukan sampah di kawasan Jalan Lebak Mulyo, Kecamatang Kemuning, Palembang, Minggu [26/12/2021]. Foto: Humaidy Kenedi

 

Tata kelola lowland

Palembang merupakan bagian dari wilayah lowland di Sumatera Selatan. Berbagai pembangunan yang mengubah bentang alam, seperti infrastruktur, perkebunan, pertanian, dan lainnya, yang tidak berdasarkan pemahaman karakter lowland, menyebabkan bencana banjir dan kekeringan.

Ini diungkapkan Dr. Damayanti Buchori, Guru Besar IPB [Institut Pertanian Bogor], kepada Mongabay Indonesia, yang memimpin Proyek KELOLA Sendang di Sumatera Selatan [2016-2020].

“Berdasarkan data yang diperoleh KELOLA Sendang, kami melakukan sebuah prediksi perkembangan banjir di masa mendatang [di Sumatera Selatan]. Di situ terlihat adanya risiko banjir akan meningkat di masa mendatang. Sehingga, tata kelola air menjadi sangat penting dalam memahami lanskap Sumatera Selatan [termasuk Palembang],” katanya.

Baca juga: Wawancara Damayanti Buchori: Jika Tidak Ditata, Krisis Ekosistem Bakal Ancam Sumatera Selatan

 

Peta Palembang 1920-2015. Peta: Balai Arkeologi Sumatera Selatan

 

Damayanti menjelaskan, proyek tata kelola lanskap seperti KELOLA Sendang seharusnya terus berlangsung di Sumatera Selatan, sehingga provinsi dengan penduduk 8,391 juta jiwa, yang mata pencahariannya sangat tergantung pada ekosistem lowland, dapat selamat. Selamat dari bencana dan kemiskinan.

“Ini bukan menakut-nakuti. Tapi sebagai akademisi, saya bicara berdasarkan data. Data itu ada, data mengenai risiko banjir, data sejarah kebakaran hutan. Bukti menunjukkan, kalau tata kelola air tidak dijalankan dengan baik, kemudian pengelolaan gambut tidak dilakukan dengan baik juga, bencana ke depan itu akan terjadi. Ini harus disikapi dengan sangat hati-hati,” katanya.

Yenrizal pun berharap, pengetahuan lokal berupa adaptasi hidup di wilayah lowland seperti di Palembang digunakan kembali. “Baik menjadi dasar pijakan pembangunan, maupun menjadi pengetahuan yang disebarkan di masyarakat, misalnya melalui lembaga pendidikan dan pemerintahan di tingkat kampung [RT],” katanya.

 

 

Exit mobile version