Mongabay.co.id

Menjaga Pakkat, Merawat Tradisi Pangan Khas Mandailing

Pucuk rotan muda yang dibakar dan jadi menu khas Mandailing Natal, bernama, pakkat. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Pakkat, namanya. Rasanya khas, sedikit pekat dan pahit di lidah. Ia makanan dari pucuk rotan muda yang dibakar khas masyarakat adat Mandailing Natal, Sumatera Utara. Menu ini sekarang banyak diburu penikmat makanan lokal nusantara. Kini, makanan ini tak hanya ada saat bulan puasa tetapi bisa dengan mudah mendapatkan di sejumlah lokasi Sumatera Utara.

Kalau dulu, ketika ingin merasakan makanan khas Mandailing ini harus pergi ke Kabupaten Tapanuli Selatan dan Mandailing Natal, kini pakkat banyak dijumpai di beberapa lokasi di Kota Medan. Bahkan, di sejumlah warung makan khas Mandailing, makanan ini selalu tersedia dan menjadi rebutan bagi pecinta rasa.

Ia akan jadi menu utama bagi mereka yang menyukai sayur-sayuran dan jenis ikan tanpa mengkonsumsi nasi. Pakkat seakan jadi pengganti nasi. Ia punya kandungan karbohidrat tetapi tak setinggi nasi.

Di Mandailing Natal, masyarakat menghidangkan dengan makanan lain yang juga spesial seperti arsik ikan mas atau ikan jurung santan.

“Kalau kami sekeluarga biasa jarang sekali menghidangkan pakkat ini berdampingan dengan nasi. Jadi, hidangan atas meja makan pakai cabai ikan emas atau ikan jurung atau ikan sale. Nasi kami tidak pakai karena terlalu tinggi karbohidratnya,” kata Nur Asiah Nasution, perempuan adat Mandailing dari Desa Sibanggor Julu, Mandailing Natal kepada Mongabay 23 Desember lalu.

Perempuan ini bilang, pakkat memiliki protein tinggi dan karbohidrat rendah hingga sangat bagus untuk kesehatan tubuh. Dia dan keluarga sudah bertahun-tahun mengurangi konsumsi nasi dan lebih banyak memakan sayur-sayuran dan umbi- umbian yang ditanam di belakang rumah. Di samping rumah, meski tidak besar mereka membuat kolam dan berternak ikan hingga cukup untuk kebutuhan nutrisi dan protein keluarga.

“Jadi, kalau makanan hari ini  menu pakkat, suami saya menjaring ikan di kolam kemudian saya olah. Pakkat ini kawannya yang pas untuk makan adalah ikan mas santan atau gulai lemak. Cobalah, itu lezat sekali. Gizinya lengkap kita dapat protein, dapat karbohidrat rendah.”

 

Rotan muda dibakar dan diambil bagian dalamnya. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Ferdian Nur Nasution, ayah Nur cerita sejarah pakkat. Dahulu kala, katanya, ketika masa kolonial Belanda di Indonesia, masyarakat adat bekerja membuat jalan dan jembatan. Saat itu, makanan sulit diperoleh. Untuk menghilangkan lapar, pemuda adat masuk ke hutan mencari apa saja yang bisa dimakan.

Mereka menemukan sejumlah tumbuhan yang di bagian bawah keras tetapi di pucuk terasa lembut. Mereka memotong di bagian ujung, dikupas kemudian daging bagian dalam diambil, merebus serta mengkonsumsinya. Belakangan, diketahui itu pucuk rotan. Sejak saat itu, sembari membangun jembatan dan jalan, para leluhur mereka mengkonsumsi pucuk rotan ini.

Ada hal yang spesial dari pucuk rotan ini. Mereka yang membangun jembatan ini merasa kalau konsumsi pucuk rotan ini seakan tak merasa lelah walau bekerja keras.  Pemuda adat yang membangun jembatan dan jalan ini pun kemudian beri sebutan pakkat untuk pucuk rotan cemilan mereka.

“Kalau tidak percaya coba dites sendiri, usai memakan pakkat ini badan kita jadi segar. Menu makanan yang tidak biasa namun memiliki kualitas luar biasa, ” kata Ferdyan, sembari menyantap pakkat.

Sejak saat itu, perlahan pucuk rotan Ini mulai digandrungi berbagai kalangan dan tersebar dari satu mulut ke mulut yang lain. Sampailah hingga kini, jenis makanan ini dikenal secara luas bukan saja oleh masyarakat Mandailing.

“Di desa kami ketika pulang kerja selalu belanja pakkat di pasar. Terkadang, kalau waktu luang maka bermain di sekitar kawasan hutan Batang Gadis mencari pucuk rotan ini dibawa pulang.”

Dia berharap, pemerintah mengembangkan makanan tradisional asal masyarakat adat Mandailing ini termasuk dengan budidayakan tanaman rotan yang jadi bahan baku makanan ini. Kalau selama ini, warga mencari pucuk rotan di pinggir hutan.

Setidaknya, kata Nasution, kalau belum banyak budidaya rotan ini, hutan tempat tanaman ini hidup tidak berubah jadi kebun sawit atau tak ditebang untuk hal lain.

Pangan lokal masyarakat adat di negeri ini begitu kaya dan beragam. Bukan saja peninggalan leluhur soal hutan yang harus terus mereka jaga, tetapi makanan nan eksotis juga jadi andalan dan terus bertahan di tengah gempuran makanan instan maupun makanan impor.

Pakkat, satu dari ribuan jenis menu lokal dengan bahan baku dari hutan. Kuliner dengan rasa pahit jika dikecap lidah ini mampu menambah selera makan. Seperti orang yang tengah jatuh cinta, ketika sekali mencoba langsung ketagihan dan tak mampu melupakannya.

Fikarwin Zuska, Kepala Departemen Antropologi  FISIP Universitas Sumatera Utara mengatakan, kalau dari sudut antropologi, selalu melihat makanan adalah hal yang universal. Semua orang makan tetapi apa yang dimakan itu kultural dipengaruhi lingkungan, geografi dan sejarah. Hal-hal itu, katanya, mempengaruhi apa yang dimakan dan tidak dimakan.

 

 

Jadi, katanya, kalau orang Mandailing makan pakkat karena  di tempat mereka tumbuhan rotan banyak di hutan, lalu jadi bahan makanan yang diolah. Ada bahan lain mendampingi seperti sambal cabe, asam jeruk nipis ditambah lagi irisan bawang merah mentah.

Sama ketika makan beras padi, dulu hanya coba-coba dan cocok, akhirnya mereka budidayakan.

“Memang cocok dengan rasanya, ada rasa pedas dan rasa asam. Ini sangat enak untuk dimakan ditambah dibudidayakan,” kata Fikarwin.

Dia bilang, rasa, identitas kelompok atau simbol dari Mandailing bukan semata-mata pakkat itu enak, juga menunjukkan identitas kelompok.

“Makanan tradisional itu banyak manfaatnya, ada berbagai menu makanan tradisional yang bisa digunakan sebagai obat.”

Generasi sekarang, katanya, harus tetap mengenal makanan tradisional sebagai peninggalan adat dan kebudayaan agar tidak hilang kekayaan leluhur dan jati diri bangsa.

“Ini masalah identitas diri dari sebuah bangsa yang memiliki adat kebudayaan.”

Zulkifli Lubis, Ketua Pusat Kajian Etnografi Reset Center  dari Universitas Sumatera Utara,  mengatakan, ketika mendengar kuliner pakkat maka yang diingat pertama berasosiasi dengan bulan puasa, karena biasa orang-orang Mandailing menambah menu dengan pakkat. “Ini ciri khas tersendiri bagi masyarakat Mandailing,  karena dipercaya sebagai perangsang nafsu makan,” katanya.

Pakkat, katanya, bukan makanan pelengkap dalam menu utama khas  makanan masyarakat Mandailing, seperti itak poul poul dan lain-lain. Pakkat ini, identik  dengan  tradisi  bagi masyarakat Mandailing.

“Kuliner pakkat ini masyarakat adat Mandailing menyukainya, dari berbagai kalangan.”

 

Sumber terancam

Abdon Nababan, Wakil Ketua Dewan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mengatakan, makanan-makanan tradisional Indonesia sumbernya di wilayah adat. Saat ini, katanya, makanan-makanan khas itu banyak terancam karena sumber untuk meramu kuliner makin susah.

“Kalau di Tanah Batak tidak terlalu tetapi di Kalimantan luar biasa proyek ekspansi sawit terasa sekali, makanan-makanan tradisional mereka makin susah,” katanya.

Kondisi pangan masyarakat adat, sekarang mengalami kesulitan di banyak tempat karena sumber pangan yang beragam jenis, makin lama juga makin berkurang.

Masyarakat adat, katanya, hidup dari  keragaman jenis sumber pangan. Dengan berkuranganya keragaman makan berdampak pada asupan gizi.

 

Pucuk rotan muda yang disiapkan untuk pakkat. Foto: Ayat S Karokaro. Mongabay Indonesia

 

Menurut Abdon, upacara-upacara adat, itu salah satu cara merawat tradisi termasuk makanan khas. Itulah sebabnya kalau ritual di masyarakat adat masih terpelihara, biasa mereka  akan sensitif dengan kondisi lingkungan.

Kesehatan masyarakat adat, kata Abdon, sebenarnya mudah terlihat dari bagaimana mereka masih menyelenggarakan ritual. “Disitu tempat kita menikmati kuliner rahasia warisan leluhur, dan biasa yang terbaik disajikan saat acara-acara adat itu.”

Warisan pengetahuan kuliner banyak di situ. “Jadi, kalau ditanya bagaimana mau menjaga itu, sebenarnya hidupkan ritual adatnya.”

Dia bilang, untuk mempertahankan wilayah, masyarakat adat, biasan berkumpul mengadakan ritual dengan menyajikan menu-menu makanan leluhur.

Center for International Forestry Research (CIFOR) punya riset bertajuk “Mengaitkan Pangan, Gizi, dan Lingkungan Hidup di Indonesia: Sebuah Perspektif mengenai Sistem Pangan Berkelanjutan.”

Dalam riset ini, Mulia Nurhasan, Food and Nutrition Scientist dari CIFOR menunjukkan, Indonesia adalah negara yang memiliki keragaman hayati tinggi. Sayangnya, konsumsi makanan di masyarakat saat ini makin berkurang. Cita-cita mencapai gizi seimbang dari pangan yang beragam jadi sulit, karena makanan hanya itu-itu saja.

Keseimbangan makanan menurun, katanya, bisa tercermin pada keragaman bahan pangan yang tersaji pada isi piring mereka. Perlu diingat, isi piring ini berasal dari ekosistem di sekitar manusia. Karena setiap makanan, berasal dari sebuah proses produksi dan distribusi bahan pangan yang punya dampak lingkungan sosial, termasuk menghasilkan emisi karbon.

Mulia mengatakan, penting berusaha mengkonsumsi pangan yang lestari, atau berkelanjutan agar setiap orang bisa berkontribusi langsung pada keberlanjutan sistem pangan, termasuk mengurangi efek rumah kaca, bahkan perampasan hak-hak masyarakat lokal.

Mengurangi makan nasi, dan menggantikan dengan makanan tinggi asupan zat gizi mikro, seperti berbagai jenis ikan, dan macam sayuran berwarna-warni, bukan hanya baik untuk kesehatan, juga kelestarian alam.

“Kita kan gak mau ya, pilihan makanan ikut menjadi alasan pembukaan lahan yang menyebabkan buruknya perubahan iklim dan terusirnya masyarakat adat dari tanah leluhur mereka.”

 

 

******

Foto utama: Pucuk rotan muda yang dibakar dan jadi menu khas Mandailing Natal, bernama, pakkat. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

Exit mobile version