Mongabay.co.id

Catatan Akhir Tahun: Wisata Cahaya Malam dan Dampak Negatif Terhadap Kebun Raya Bogor

 

 

Perdebatan ilmiah terkait kegiatan wisata cahaya malam Glow di Kebun Raya Bogor [KRB] terus bergulir.

Glow adalah wisata malam. Pengunjung dihibur permainan lampu yang menerangi pohon-pohon, serta animasi video dengan pohon-pohon sebagai layar. Untuk mewujudkan wisata ini, berbagai intervensi dilakukan yaitu konstruksi kincir air hiasan di kolam, tempat-tempat swafoto, dua gerbang berlogo sponsor, rumah pueblo warna-warni dan water fountain, tebaran bangku, tugu penanda lokasi, lampu taman, lampu apung, lampu sorot, jembatan semen dan sejumlah lampu neon warna-warni. Glow merupakan artificial light at Night [ALAN].

Menurut mantan Kepala Kebun Raya, yaitu Made Sri Prana [1981-1983, Usep Soetisna, Suhirman [1990-1887], Dedy Darnaedi [1997-2003] dan Irawati [2003-2008], rencana adanya atraksi malam di menggunakan lampu hias di Kebun Raya Bogor tidak ramah dengan fungsi KRB. Mereka minta pengelola agar menjaga Kebun Raya Bogor dengan berpegang teguh pada lima tugas dan fungsi kebun raya, yaitu konservasi tumbuhan, penelitian, pendidikan, wisata ilmiah, dan jasa lingkungan.

“Ketiga fungsi pertama merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dan menjadi acuan bersama seluruh kebun raya di dunia, karena itu berbagai kegiatan dan program yang dikembangkan di kebun raya Indonesia selalu berpegang pada kelima tugas dan fungsi kebun raya tersebut, yang sekaligus sebagai marwah kebun raya,” tulis Mantan Kepala Kebun Raya dalam suratnya, dikutip dari Suara Bogor.

Mereka meminta pengelola Kebun Raya Bogor untuk mengedepankan pendekatan ilmiah dan memperhatikan masalah konservasi dan lingkungan, apalagi kebun botani ini telah berumur lebih dari dua abad.

“Saat melakukan kegiatan usaha penggalangan dana sekalipun, kebun raya tidak silau pada keuntungan sesaat dan selalu memilih green business yang sifatnya enviriomentally friendly.”

Melalui keterangan tertulis, Hendrian, Plt Direktur Kemitraan Riset dan Inovasi BRIN, menyakinkan bila aktivitas ini tidak akan mengganggu ekosistem, konservasi, dan kepentingan riset.

Ia juga menjamin tidak ada satu fungsi KRB mengalahkan fungsi lainnya. Dia memastikan, kelima fungsi kebun raya yakni konservasi, penelitian, edukasi, wisata, dan jasa lingkungan tetap berjalan seimbang dan proporsional.

“Kelima fungsi itu dipastikan berjalan bersamaan. Jadi tidak benar fungsi wisata akan mengalahkan fungsi konservasi,” ujarnya.

Menurutnya, pengelolaan kebun raya dilakukan oleh tiga pihak, yaitu Pusat Riset Konservasi Tumbuhan Kebun Raya untuk mengelola riset dan periset, Deputi Infrastruktur melalui Direktorat Laboratorium dan Kawasan Sains dan Teknologi untuk mengelola laboratorium riset, dan Deputi Infrastruktur melalui Direktorat Koleksi untuk melakukan pemeliharaan koleksi.

Michael Bayu A. Sumarijanto, Direktur Sales PT. Mitra Natura Raya (MNR) mengatakan, inovasi Glow yang dikembangkan untuk edukasi dan wisata ini bertujuan untuk memberikan kesadaran konservasi pada generasi muda.

“Diharapkan, setelah mengikuti program ini, pengunjung akan mulai atau bertambah kecintaan dan kepedulian pada biodiversiti,” ujarnya dalam keterangan tertulis.

Walau BRIN sudah berupaya menyakinkan, penolakan tetap disuarakan Komunitas Peduli Kebun Raya Bogor. Mereka membuat petisi di Change.org. Petisi ini telah ditandatangani 17.371 orang terhitung 29 Desember 2021.

Baca: Wisata Cahaya dan Dampaknya Bagi Ekosistem Kebun Raya Bogor

 

Semua makhluk hidup butuh keseimbangan dalam hidupnya. Keseimbangan yang harus dijaga agar tidak merusak tatanan ekosistem alam yang sudah ada. Foto: Pixabay/Public Domain/Nature_Design

 

Para budayawan yang tergabung dalam Aliansi Komunitas Budaya Jawa Barat juga tidak rela kebun raya ini dihiasi wisata cahaya lampu pada malam hari itu. Mereka menilai, hadirnya wisata Glow tidak menghormati budaya dan kelestarian alam.

Puncaknya dalam beberapa bulan lalu, mereka berdemo di depan gerbang Kebun Raya Bogor, Balai Kota Bogor, dan Gedung DPRD Jawa Barat, Jalan Diponegoro. Mereka menolak bentuk swastanisasi kebun raya, yang diusulkan BRIN dan PT. MNR selaku perusahaan operator dan pengelola Glow tersebut.

“Kami meminta kebijakan swastanisasi itu dicabut,” kata Ari Mulya Sebagja, Ketua Majelis Adat Sunda kepada awak media yang menemuinya usai audiensi dengan Komisi V DPRD Jawa Barat, Kamis [21/10/2021] lalu, dikutip dari Fokussatu.

Bima Arya, Wali Kota Bogor tak tinggal diam, dia mengeluarkan surat penyataan sikap kepada Aliansi Komunitas Jawa Barat dengan tembusan Kepala BRIN, Rektor Institut Pertanin Bogor [IPB], Pimpinan PT. MNR, Ketua DPRD Kota Bogor, Dandim 0606 Kota Bogor dan Kepala Kejaksaan Negeri Kota Bogor.

Bima meminta BRIN dan PT. MNR untuk melakukan evaluasi menyeluruh konsep Glow dan pengelolaan Kebun Raya Bogor, dan meminta IPB membuat kajian dampak alan terhadap Kebun Raya Bogor.

Sukma Surya Kusumah, Plt Kepala Pusat Riset Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor, Badan Riset dan Inovasi Nasional [BRIN] menegaskan, program wisata edukasi Glow merupakan inovasi yang menawarkan pengalaman menjelajah KRB di malam hari, sambil menikmati instalasi lampu serta proyeksi visual. Selain itu, wisata cahaya dapat dijadikan penelitian.

Bahkan, penelitian sudah berlangsung sejak September 2021. BRIN secara bertahap melakukan tiga penelitian mengenai perubahan karakteristik hewan dan tumbuhan dari faktor cahaya, polusi udara dan polusi suara.

Menukil Kompas.com, penelitian pertama mengangkat topik Permodelan Spasial Dampak Cahaya Malam Buatan Terhadap Kesehatan Tumbuhan Menggunakan Unmanned Aerial Vehicle dan Pembelajaran Mesin [Studi Kasus Kebun Raya Bogor].

Penelitian ini akan mengidentifikasikan area tumbuhan yang terpapar cahaya malam buatan, baik dari dalam maupun luar kawasan KRB. Riset tersebut menganalisis kandungan klorofil dan nitrogen pada daun yang terpapar cahaya buatan yang dilakukan setahun, dari Januari hingga Desember 2022. Sebanyak 300 pohon dijadikan sebagai sampel penelitian.

Penelitian kedua, mengangkat tema Analisis Pengaruh Cahaya Malam Buatan/Artificial Light at Night [ALAN] pada Fungsi-fungsi Ekofisiologi Beberapa Jenis Tumbuhan Tropis Kebun Raya Bogor.

Tujuannya, untuk mengetahui spektrum [panjang gelombang] ALAN yang memiliki pengaruh minimal terhadap fungsi-fungsi ekofisiologi tumbuhan tropis dan intensitas radiasi. Parameter yang diamati, yaitu panjang daun, luas daun, ketebalan daun, warna daun, kerapatan stomata, konduktansi stomata, klorofil total, laju fotosintesis, laju rerspirasi, senyawa metabolit sekunder, dan ekspresi gen terutama ada tiga perlakuan, antara lain tipe cahaya, intensitas, dan durasi.

Penelitian ketiga berupa komparasi keanekaragaman serangga antara zona gelap dan terang, pengaplikasian cahaya Glow, serta jenis polinator yang bermigrasi dan menjadikan Kebun Raya Bogor sebagai tempat bersarang.

“Kami ingin mengetahui seberapa jauh pegaruh keberadaan cahaya Glow terhadap populasi polinator dan seberapa besar pengaruhnya pada proses penyerbukan,” kata Sukma.

Baca: Kebun Raya Bogor Harus Dikelola dengan Agenda Ramah Lingkungan

 

Kupu-kupu dan katak merupakan satwa liar yang merupakan bagian penting dalam ekosistem lingkungan. Foto: Pixabay/Public Domain/FrankWinkler

 

Gerak cepat IPB

Permintaan Bima Arya untuk membuat kajian “Dampak ALAN Terhadap Kebun Raya Bogor” dipenuhi pihak IPB. Tim yang dibentuk berdasarkan SK Rektor IPB ini melakukan rapid assessment (kajian cepat) dari poject Glow. Glow adalah artificial light at Night (ALAN).

“Metode kajian cepat IPB adalah studi pustaka/literature review, untuk menggali informasi akan pengetahuan yang sudah established, sudah diterima sebagai sebuah fakta berdasarkan studi ilmiah yang dilakukan dengan metodologi saintifik. Dipublikasikan melalui proses review yang ketat,” kata Damayanti Bukhori, Ketua Tim Peneliti kajian cepat IPB saat launching kajian ilmiah, Kamis, 23 Desember 2021.

Hasil kajian cepat IPB menyebutkan, KRB sangat penting bukan hanya bagi Kota Bogor, namun juga Indonesia dan dunia. Sejarah panjang yang ditorehkan KRB memiliki pengaruh yang sangat besar dalam catatan perjalanan Indonesia dan dunia Internasional. Kebesaran nama KRB, menjadikannya ibu dari pusat-pusat penelitian dan berbagai kebun raya yang tumbuh subur setelahnya. Tugas dan fungsi yang dijalankan oleh KRB secara tidak langsung telah menyelamatkan kota dan warganya.

“Pemeliharaan dan pengembangan koleksi tumbuh-tumbuhan yang sangat beragam memengaruhi iklim mikro yang ada di Kota Bogor dengan mengurangi polusi udara dan menjaga keseimbangan siklus hidrologi,” tutur Damayanti dari Departemen Proteksi Tanaman FAPERTA IPB.

Kebun Raya Bogor juga mendukung penelitian dan ilmu pengetahuan secara luas terkait tumbuhan, biologi, lansekap, hortikultur, konservasi, sejarah, dan budaya. Akibat perkembangan kota [pertambahan jumlah penduduk, meluasnya area terbangun], KRB mendapat tekanan [pressure] yang besar dari faktor eksternal. Ini dapat dilihat mulai dari kepadatan lalulintas [lebih dari 4.000 kendaraan/jam], kebisingan dan pencemaran udara ambien [terutama Pb] yang menyertainya, pencemaran air tanah dan sungai, hingga keberadaan mall, super market, ritel, cafe, hotel, rumah makan dan aneka jasa yang mengubah signifikan lanskap fisik di seputar radius 3 kilometer dari KRB.

“Selain itu, faktor internal seperti peningkatan jumlah pengunjung, jumlah sampah, meningkatnya penggunaan fasilitas area hiburan/piknik juga memberikan tekanan yang besar pada KRB.”

Baca: Kebun Raya Bogor dan Wisata Berbasis Ilmiah yang Harus Dipertahankan

 

Kunang-kunang yang sangat terganggu dengan hadirnya wisata cahaya malam Glow di Kebun Raya Bogor. Foto: Unsplash/Alexander Andrews

 

Atraksi baru berupa wisata Glow adalah dimensi baru dari tekanan internal KRB. Diperkirakan, bukan hanya jumlah pengunjung yang akan bertambah, tetapi karena dilakukan pada malam hari [yang sebelumnya tidak ada kegiatan]. Wisata Glow menggunakan cahaya artifisial sebagai pertunjukan cahaya disertai suara [musik], akan memberikan tekanan yang secara kumulatif berpotensi menambah ancaman terhadap kelestarian KRB.

KRB walaupun disebut sebagai “kebun” sebenarnya merupakan kawasan konservasi ex situ berusia 204 tahun, rumah berbagai tumbuhan dari berbagai daerah di Indonesia dan dunia.

“Dalam konteks ini, KRB ini tidak dapat dilihat sebagai “kebun” yang biasa-biasa saja, tetapi merupakan kebun raya yang telah membentuk suatu ekosistem yang stabil dan mempunyai fungsi konservasi.”

Terkait status dan fungsi konservasi KRB selama ini, pihak IPB mempertanyakan arah pembangunan proyek Glow. Tim IPB melakukan telaah kritis secara cepat [rapid critical review] dengan cara menghimpun dan mempelajari hasil-hasil riset pengaruh ALAN terhadap kebun raya [botanical garden] yang dimuat dalam berbagai publikasi ilmiah, serta melakukan wawancara dengan beberapa peneliti dari LIPI dan IPB yang melakukan riset di lingkungan KRB.

Hasil telaah kritis yang disusun oleh Tim IPB, yaitu dampak dari ALAN terhadap kehidupan tumbuhan dan satwa, adalah penting dan negatif. Pengaruh cahaya artifisial akan mengganggu ekofisiologi tumbuhan, perilaku satwa, dan dapat meningkatkan mortalitas pada satwa.

“Apalagi KRB adalah habitat bagi flora yang berasal dari seluruh pelosok Indonesia, bahkan dunia,” ujar Damayanti.

KRB juga menjadi habitat/refugia [dan ruang singgah sementara] bagi berbagai satwa, termasuk menjadi tempat singgah bagi lima jenis burung migran, satu jenis di antaranya tergolong dalam kategori Appendix II CITES, yakni betet biasa (Psittacula alexandri) dan satu jenis lainnya berstatus dilindungi [Peraturan Menteri LHK Nomor P106/KLHK 2018], yakni burung cica-daun sayap-biru [Chloropsis cochinchinensis].

Selain itu, KRB telah menjadi wilayah jelajah kalong yang bermigrasi secara periodik dari Taman Nasional Ujung Kulon dan Cagar Alam Pulau Rambut. Menjadi wilayah jelajah burung koak malam yang secara periodik bermigrasi antara KRB dan kampus IPB Darmaga. Hingga, wilayah singgah bagi beberapa populasi lebah hutan [Apis dorsata] dan tempat tinggal bagi populasi apis lainnya.

“KRB juga telah menjadi habitat bagi 10 jenis kelelawar yang berfungsi sebagai penyerbuk dan penyebar biji dan nektar.” Satu jenis di antaranya, kalong kapauk [Pteropus vampyrus], tergolong dilindungi menurut CITES Appendix II.

 

Sejumlah spesimen satwa yang dapat kita lihat di Museum Zoologicum Bogoriense-BRIN, di Kebun Raya Bogor. Foto: Rahmadi Rahmad/Mongabay Indonesia

 

Sedangkan pada kajian ekofisiologi tumbuhan [kajian aspek ekologi, fisiologi, dan adaptasi tumbuhan] yang dilakukan oleh peneliti terdahulu, mengungkap beberapa dampak penting dari ALAN, yaitu beragam warna dan pencahayaan ALAN yang disorot ke tumbuhan mengubah ritme jam biologi [circadian rhythm] tumbuhan. Sehingga, interaksi antara tumbuhan dengan polinatornya yang berguna untuk regenerasi koleksi tumbuhan menjadi terganggu.

Koleksi tumbuhan memberi respons yang berbeda-beda terhadap sorotan ALAN di malam hari. Begitu juga tumbuhan yang melakukan proses fotosintesis di siang hari, sorotan ALAN akan mengakibatkan tumbuhan juga melakukan fotosintesis di malam hari. Sebagai akibatnya, terjadi perubahan proses pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan.

Bagi tumbuhan yang berumur tua lebih dari 100 tahun, sorotan ALAN akan mengakibatkan gangguan metabolisme tumbuhan. Salah satu indikasinya adalah daun rontok secara tidak wajar dan kemudian dapat berujung pada kematian.

Sedangkan bagi tumbuhan yang mampu mengikat CO2 di malam hari, seperti koleksi tumbuhan sukulen [kaktus] di Taman Meksiko, sorotan ALAN mengakibatkan proses pengikatan CO2 di malam hari tidak terjadi, karena stomata sukulen menjadi tertutup, sehingga pertumbuhan sukulen (kaktus) terhambat.

“Sorotan ALAN diduga kuat akan memunculkan ekspresi sifat yang sebelumnya tidak pernah muncul pada tumbuhan. ALAN menjadi faktor penyebab tumbuhan mengalami stres.”

Berbagai studi dampak ALAN memengarugi proses kawin katak. Suara panggilan kawin dan aktivitas kawin katak akan berkurang sehingga menghambat proses kembang biak. Adanya ALAN telah terbukti mengganggu interaksi antara tumbuhan dengan polinatornya.

“ALAN telah terbukti dapat mengancam proses penyerbukan di alam, sehingga dapat mengganggu proses reproduksi tanaman, selain itu menyebabkan menurunnya populasi kunang-kunang [Photinus sp].”

 

Kebun Raya Bogor yang harus menjalankan lima fungsi utamanya sebagai kebun raya. Foto: Kebun Raya Bogor/BRIN

 

Kebun Raya Bogor, menurut Rencana Tata Ruang Wilayah [RTRW] Kota Bogor 2011-2030, tergolong sebagai Kawasan Pelestarian Alam untuk Perlindungan Plasma Nutfah. Sebagai konsekuensinya, aktivitas apapun di dalam KRB tidak boleh bertentangan dengan fungsinya sebagai kawasan perlindungan plasma nutfah ex situ.

Implikasi lebih lanjut, merujuk Peraturan Pemerintah No 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Undang-undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, maka kegiatan wisata yang menggunakan cahaya artifisial di malam hari [wisata Glow] dan diselenggarakan secara komersial di KRB dipastikan tergolong sebagai wajib AMDAL.

Ekosistem KRB juga berkaitan erat ekosistem di sekitarnya [Interconnectedness by place], seperti ruang terbuka hijau Kampus IPB Darmaga, Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Taman Nasional Gunung Halimun-Salak, Taman Nasional Ujung Kulon, dan Cagar Alam Pulau Rambut, serta area pertanian di sekitar Bogor.

Menurut Damayanti dalam skala kawasan, upaya melestarikan KRB mensyaratkan adanya peta kepekaan Kawasan Kebun Botani untuk segenap aktivitas dan fasilitas bagi pengunjung, termasuk semisal wisata Glow dengan ALAN.

Zonasi kepekaan dalam kawasan KRB dapat ditentukan sebagai berikut, pertama, area dengan kategori sumber daya (tumbuhan, areal, habitat, relung) kritis dan harus dikonservasi. Kedua, area dengan kategori bahaya [pohon tumbang atau patah dahan, getah atau bagian tumbuhan yang beracun]. Ketiga, area yang dimungkinkan dikembangkan untuk pemanfaatan lain sepanjang dalam konteks mendukung fungsi konservasi tumbuhan dan ekosistemnya [wisata ilmiah, interpretasi alam] dengan tetap menimbang daya dukungnya. Zonasi kepekaan ini menjadi basis pertimbangan pengembangan fasilitas dan aktivitas apapun di dalam KRB.

“Pertimbangan atas adanya sendi-sendi interconnectedness by time and place yang telah terbangun secara evolusioner selama 200 tahun terakhir, perlu diutamakan apabila dilakukan intervensi/aktivitas di KRB,” paparnya.

Atas analisis situasi tersebut, IPB menyarankan opsi. Pertama, menghentikan kegiatan wisata glow yang menggunakan ALAN. Kedua, BRIN harus memenuhi syarat-syarat yang tertera dalam Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Peraturan UU No 32 Tahun 2009 yaitu: melakukan studi kelayakan tentang kajian dampak lingkungan hidup [feasibility study/AMDAL] berdasarkan sains yang solid/kuat.

“Metode yang dikembangkan harus memenuhi kaidah-kaidah sains yang benar,” tutur Damayanti.

Kebun Raya Bogor merupakan kebun raya tertua di Asia Tenggara, yang diresmikan oleh Gubernur Jenderal Baron van der Capellen, dengan nama Lands Plantentuin te Buitenzorg. Luasnya 87 hektar, terletak di tengah Kota Bogor, Jawa Barat.

Dari Kebun Raya Bogor, lahir beberapa institusi ilmu pengetahuan lain, seperti Bibliotheca Bogoriensis [1842], Herbarium Bogoriense [1844], Kebun Raya Cibodas [1860], Laboratorium Treub [1884], dan Museum dan Laboratorium Zoologi [1894].

 

 

Exit mobile version