Mongabay.co.id

Masyarakat Adat, Relasi Alam, dan Pentingnya Jaga Hutan Kalimantan

Di tengah hiruk pikuk problem ekologis, pengakuan peran masyarakat adat dan kesadaran praksinya untuk merawat alam semakin diakui dunia. Namun, apresiasi atas kehadiran mereka akan lebih punya arti jika ditarik sesuai nilai dan tradisi yang diwariskan nenek moyang mereka.

Kalimantan Tengah, -tempat dimana kekayaan hutan hujan tropis masih tersisa, kita masih dapat melihat pelbagai tradisi ini. Dalam ritual yang berlaku, pemulihan relasi dengan alam lingkungan adalah ruh-nya. Dalam doa yang dipanjatkan, permohonan kepada Sang Pencipta dipanjatkan agar mereka dapat terhindar dari bencana dan hal-hal negatif.

Seperti misal di Desa Parahangan, Kabupaten Pulang Pisau, di tepi Sungai Kahayan, acara adat dilakukan selama tiga hari di awal Oktober 2021 lalu.

Yang pertama, mampakanan sahur lewu yang memiliki arti memberi makan bagi para penjaga desa, dan mamapas lewu yag berarti membersihkan desa serta hutan di sekitarnya dari anasir negatif.

Ritual dimulai pada sore hari di Balai Adat Desa Parahangan. Ditandai dengan ditabuhnya katambung oleh Rabiadi, basir utama yang memimpin jalannya ritual.

Sambil menabuh alat musik yang terbuat dari kayu dan kulit biawak, dia mulai melantunkan mantram, yang lalu diikuti oleh keempat basir pengiring.

Mantram dirapal dalam bahasa Sangiang, satu bahasa Dayak halus kuno yang kini tidak lagi dipakai dalam bahasa pergaulan warga sehari-hari.

Upacara berlanjut dengan mengikat secarik kain pada tangan para basir. Ini adalah simbol, -pengikat permohonan, agar semua mahluk dapat terjaga dari marabahaya.

Sejurus, dua basir paling muda berkeliling dan mengetuk kayu yang berbentuk seperti talenan di atas kepala warga desa, ini maknanya agar agar energi negatif terhindar dari setiap warga yang hadir.

Setelah itu, berlanjut dengan ritual mamapas lewu. Rombongan basir dan para tetua naik ke mobil bak berkeliling desa. Selama perjalanan, kelima basir tersebut terus melantunkan mantram sembari menabuh katambung. Rombongan berhenti di perbatasan desa tetangga, yang diakhiri dengan memukulkan sebilah bambu ke tanah.

Prosesi ini usai berakhir, ketika para basir bergerak ke tepi Sungai Kahayan dan melarung sesaji serta kayu.

Baca juga: Bagi Masyarakat Dayak, Berladang Itu Sekaligus Menjaga Keragaman Hayati

 

Ritual Mamapas Lewu di tepi Sungai Kahayan, Desa Parahangan, Kabupaten Pulang Pisau, Kalteng. Foto: Shaniya Utamidata/BNF Indonesia

 

Hutan dan Budaya

Rabiadi, basir utama upacara mampakanan sahur lewu menceritakan mengenai masyarakat Dayak yang hidupnya tak bisa pisah dari hutan. Mantram yang dia lantunkan katanya adalah pengingat, agar manusia tetap menjaga alam, sesuatu yang jadi denyut kehidupan orang Dayak selama bergenerasi.

“Nantan pukung pahewan, nantan bukit panjang, nantan sungai saka, danau baru, nantan tana kaya, bahu lanyau”.

Artinya: mensucikan pulau hewan, mensucikan perbukitan, mensucikan sungai kecil, danau, hutan, mensucikan ladang dan bekas ladang.

Dari penjelasannya, penekanan tentang “pukung pahewan” serta “nantan bukit panjang, nantan sungai saka, danau baru” menuntun kesadaran saya. Ini adalah manifestasi perlindungan alam versi kearifan lokal buat menjaga penghuni ekosistem. Dalam konsep negara itu berarti suaka margasatwa dan hutan lindung.

Larangan untuk mengganggu hidupan liar juga disuarakan. Dalam mantram terakhir, basir utama mengingatkan pantangan bagi warga desa untuk tidak makan dan membunuh satwa liar selama tiga bulan. Seperti babi hutan, monyet, kahiyu (orangutan), kelinci, ular, serta hewan-hewan liar lain di hutan, dilarang dimakan dan dibunuh.

Selain itu, ada pula peringatan untuk tidak sembarang menebang pohon di hutan desa. Ini mempertegas kuatnya relasi masyarakat Dayak dalam melindungi hutan. Mulai dari sumber pangan, berladang, hingga obat-obatan, masyarakat Dayak sejak dulu telah mengandalkan hutan bak toko serba ada.

Lahir dan bertumbuh sebagai kesatuan yang tidak lepas dari pengaruh alam, ajaran leluhur mereka selalu mengingatkan kewajiban  untuk menjaga hutan dan seisinya.

Nilai yang dianut dalam tradisi masyarakat adat adalah pondasi dasar yang diletakkan oleh leluhur Dayak agar hidupan liar di sekitar mereka tetap terjaga. Alam diberikan jeda untuk pulih dari apa yang telah dimanfaatkan manusia.

Namun sampai kapan ia dapat bertahan di tengah perubahan zaman?

Baca juga: Ekofeminis dari Ladang Masyarakat Adat Bakumpai

 

Santi Ahat Bangkan, -nelayan tradisional, dia menggunakan metode penangkapan ikan tradisional yang ramah lingkungan yang telah diwariskan oleh nenek moyang mereka. Foto: Yohanes Prahara/BNF Indonesia

 

Pergeseran Nilai

Seiring dengan bergesernya sistem pencaharian masyarakat Dayak, berubah dari peladang menjadi penebang kayu di era hak pengusahaan hutan di awal 1990-an hingga awal 2000-an; dan diikuti oleh alih lahan menjadi kebun sawit skala masif, mendorong berubahnya pola pandang kepatuhan terhadap praktik budaya.

Saat ini, sudah sulit dijumpai di generasi muda yang memiliki keterampilan dalam bercocok tanam, dan pola interaksi dengan hutan. Alih-alih, rantai warisan budaya hanya berada di tangan generasi sebelumnya yang telah mulai dimakan usia.

Kebanyakan dari generasi muda memilih untuk menggantungkan hidup pada lanting, atau penambangan emas yang beroperasi di sungai. Secara kalkulasi matematis, hal ini hanya akan bertahan hingga 10 tahun kedepan. Selebihnya ia hanya menyisakan kerusakan lingkungan.

Indikator lain yang dijumpai di desa-desa tepian sungai Kahayan, hanya ada segelintir kelompok anak muda yang terlibat dalam geliat perhutanan sosial dan ekowisata desanya.

Tak hanya mengikis unsur inti dari kehidupan, pergeseran pencaharian juga memperbesar potensi bencana ekologis. Terakhir, banjir yang mengepung Kota Palangka Raya dan beberapa daerah lain di Kalteng tahun 2021, terjadi sebagai akibat buruknya kualitas dan degradasi lahan dan hutan.

Warisan nilai dan tradisi ini bak tak berlanjut. Banyak yang tak paham tentang sejarah dan budaya nenek moyang. Pun cerita para tetua yang mengandalkan hidup dan berladang dan hidup dari aliran sungai. Karena tidak paham, minim pula kesadaran untuk menjaganya.

Untuk menghadirkan kesadaran di tingkat komunitas, memberi peran dan pengakuan atas keberadaan mereka menjadi keniscayaan. Masyarakat adat perlu dilibatkan dalam pengelolaan sumber daya alam yang mereka miliki. Salah satunya lewat skema hutan adat.

Hal itu tentunya dimulai dari upaya penetapan masyarakat hukum adat (MHA) yang diputuskan oleh pemerintah, -bupati atau walikota, dan mendorong adanya perda perlindungan MHA.

Dengan disahkannya kelompok-kelompok masyarakat tersebut, harapannya MHA memiliki kepastian akan hak wilayah hidup. Dari situ, mereka dapat mengelola hutan yang masih mereka miliki secara mandiri.

Karena pengakuan kedaulatan lebih bernilai dari bantuan uang. Penghargaan berupa pengakuan akan dirasakan secara kolektif dan dapat merevitalisasi nilai dan tatanan adat. Bagi generasi muda ini jadi motivasi agar mereka tetap bersemangat, menjaga warisan budaya yang mereka miliki untuk kini, dan nanti.

 

* Shaniya Utamidata, Digital Communications and Campaigning Officer Borneo Nature Foundation Indonesia. Artikel ini adalah opini penulis

 

***

Hutan adalah sumber kehidupan masyarakat Dayak yang harus dilestarikan. Foto: Indra Nugraha/Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version