Mongabay.co.id

Pembiayaan ke Energi Terbarukan Masih Dipandang Sebelah Mata?

Energi terbarukan dari turbin angin yang dibangun Tri Mumpuni di Pulau Sumba. Foto: dokumen Tri Mumpuni/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Lembaga keuangan atau perbankan di luar negeri mulai meninggalkan pembiayaan ke sektor energi fosil seperti batubara. Mereka mulai melirik dan beralih masuk pembiayaan energi terbarukan, seperti Korea Selatan, Jepang, dan Tiongkok. Kondisi sebaliknya terjadi di Indonesia, perbankan masih banyak salurkan dana ke sektor batubara. Kredit ke energi terbarukan pun tampak masih dipandang sebelah mata.

“Mereka enggan membatalkan perjanjian yang telah ditandatangani dan Pemerintah Indonesia juga berdalih bisa dinegosiasikan kembali dan diubah ke energi terbarukan jika disepakati kedua belah pihak,” kata Sisilia Nurmala Dewi, Indonesia Team Leader 350.org, akhir November lalu.

Dia menilai, perbankan di Tanah Air belum kelihatan menghentikan pemberian pinjaman batubara pada waktu dekat. Pasalnya, penggunaan batubara akan distop pemerintah ke depan secara bertahap.

“Bank mengikuti karena permintaannya besar dan dijamin oleh pemerintah dengan berbagai kebijakan, seperti power purchase agreement dan kebijakan take or pay.”

Menurut data Urgewald (2021), ada enam bank nasional masih memberikan pinjaman ke perusahaan batubara yang terdaftar selama periode Oktober 2018-Oktober 2020 senilai mencapai Rp89 triliun.

Mereka adalah Bank Mandiri senilai US$2,46 miliar atau Rp36 triliun (asumsi kurs Rp14.500) dan BNI sebesar US$1,83 miliar atau sekitar Rp27 triliun. Berikutnya, Bank Rakyat Indonesia (BRI) US$ 1,76 miliar atau Rp26 triliun dan Bank Central Asia (BCA) senilai US$0,82 miliar atau Rp12 triliun,

Selanjutnya, Bank Tabungan Negara (BTN) US$0,10 miliar atau Rp1,5 triliun dan Indonesia Eximbank sebesar US$0,03 miliar atau sekitar Rp435 miliar.

Bank-bank di domestik juga belum mengalihkan kredit batubara ke energi terbarukan, katanya, lantaran mereka belum mengalami tekanan dari publik hingga ke tipping point (titik akhir).

Jadi, masyarakat mesti diberikan pemahaman tentang kebutuhan energi terbarukan yang diteruskan dengan komitmen keberlanjutan.

“Industri batubara makin dimudahkan terutama sejak dikeluarkan UU Minerba yang baru dan UU Cipta Kerja,” kata Sisil.

Harga energi terbarukan di Indonesia juga belum mencapai skala keekonomian, katanya, karena pemerintah belum memberikan insentif.

Padahal, kata Sisil, bicara pendanaan energi terbarukan domestik sebenarnya bisa dimobilisasi dari berbagai pihak dengan beragam cara. Hal itu antara lain mendorong dana publik melalui pengalihan subsidi energi fosil.

Kemudian, kebutuhan ini bisa diperoleh dari dana bilateral atau multilateral melalui renegosiasi atau mendorong debt swap for nature. Selanjutnya, mendorong lembaga jasa keuangan menghimpun dana dari nonpublik secara masif.

“Berikutnya, mendorong bank domestik ikut serta dalam Task Force on Climate related Financial Disclosures,” katanya.

Data 350.org menyebutkan, sebanyak 13 bank dalam negeri berkomitmen sebagai first movers (inisiator) mengalihkan dari kredit batubara ke kredit energi terbarukan.

Namun, mereka masih memberikan pinjaman batubara seperti Bank DBS akan melakukan zero thermal coal exposure pada 2039.

“Di luar itu, saya belum dengar komitmen coal phase-out dari bank lain,” ucap Sisil.

Andri Prasetiyo, Research and Program Manager Trend Asia, mengatakan, menilai, pemerintah belum maksimal jalankan transisi energi batubara ke energi terbarukan. Dari target energi terbarukan sebesar 23% pada 2025 hanya dicapai 13% sekarang.

 

Baca juga: Geliat Energi Terbarukan di Sulawesi Utara, Bagaimana Pembiayaan Perbankan?

PLTU Labuhan yang baru dibangun. Foto: Della Syahni/ Mongabay Indonesia

 

Perlu dana setop PLTU

Pemerintah berjanji mulai menghentikan penggunaan batubara setelah mempensiunkan operasional Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) bersumber energi batubara dengan kapasitas 5,5 Giga Watt (GW).

“Proses pensiun dini itu akan memakan waktu hingga delapan tahun,” kata Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati.

Penghentian PLTU sebagai tindaklanjut kesepakatan Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa di Britania Raya pada 31 Oktober 2021-12 November 2021.

Keputusan ini diambil 46 negara termasuk Indonesia dengan pertimbangan penggunaan batubara akan berakibat gas rumah kaca (GRK) yang berujung dampak perubahan iklim.

Pensiun dini PLTU berimplikasi Indonesia memerlukan pendanaan US$25 miliar-US$30 miliar selama delapan tahun atau setara Rp435 triliun dengan kurs Rp14.500.

Kebutuhan pembiayaan hingga US$30 miliar sulit dipenuhi pemerintah dan swasta di Tanah Air, hingga ini melibatkan Asian Development Bank (ADB). ADB menyetujui pendanaan bagi pensiun dini PLTU di Tanah Air melalui fasilitas Energy Transition Mechanism (ETM).

ETM adalah suatu bentuk pembiayaan campuran yang dirancang guna mempercepat penghentian PLTU dan membuka investasi energi bersih.

Pemerintah sudah menunjuk PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) sebagai pengelola PLTU melakukan ETM. Hal ini meliputi studi kelayakan aspek teknis dan finansial dari pengurangan pembangkit tu.

Kemudian, perusahaan ini melakukan evaluasi struktur ETM, mencari program atau mekanisme yang sesuai, dan merancang program bantuan teknis transisi yang adil. Lalu, merancang peta jalan penghentian penggunaan batubara guna mencapai netralitas karbon pada 2060.

Andri mengatakan, langkah bagus pensiun dini PLTU batubara tetapi apakah termasuk penghentian pembangunan PLTU hingga 2025.

Dia bilang, pemerintah diketahui masih akan melakukan commercial operating date/COD (serah terima operasi) pembangkit ini sampai 2029.

“Jadi, tiga tahun ini butuh extra effort, padahal kita baru melakukan 1% dari total potensi energi terbarukan” ujar Andri.

Kebutuhan dana pensiun dini PLTU, ucap Andri, untuk kompensasi kontrak pembangunan pembangkit ini yang belum selesai. Dana ini bisa diperoleh Indonesia dari negara-negara maju.

“Ke depan, supaya pemerintah tidak direpotkan kompensasi PLTU-PLTU, sekarang banyak PLTU yang oversupply seperti Jawa 50%, hentikan pembangunan yang tidak menguntungkan secara ekonomis.”

Sisil bilang, dengan penghentian proyek PLTU dan mempensiunkan dini proyek yang masih ada perlu ada roadmap transisi energi. Selain itu, mempersiapkan komponen dan sistem energi terbarukan.

“Elektrifikasi di titik ini bisa langsung menggunakan energi terbarukan sesuai dengan potensi dan kebutuhan lokalnya.”

 

Kredit ke energi terbarukan?

Sementara Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengatakan, perbankan sudah mulai salurkan ke energi terbarukan. Pinjaman perbankan ke energi terbarukan di Indonesia sebesar US$55,9 miliar atau setara Rp809,75 triliun periode 2020-2021.

Nilai ini dikucurkan oleh 50% bank di Indonesia yang mewakili 91% dari total aset pasar perbankan yang dilihat dari Laporan Keberlanjutan mereka.

OJK selalu mendorong perbankan di Tanah Air melakukan pembiayaan keuangan berkelanjutan secara jangka panjang sebagai bagian dukungan kepada pemerintah melakukan zero emission.

OJK punya Peraturan OJK (POJK) Nomor 51/POJK.03/2017 tentang Penerapan Keuangan Berkelanjutan Bagi Lembaga Jasa Keuangan, Emiten dan Perusahaan Publik.

“Dalam POJK ini, Lembaga Jasa Keuangan (LJK) wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan (TJSL) untuk mendukung penerapan keuangan berkelanjutan,” kata Muhammad Lutfi, Kepala OJK Riau.

 

Baca juga: Generasi Muda Suarakan Setop Pembiayaan Batubara, Alihkan ke Energi Terbarukan.

PLTA Sipan Sihaporas yang berada di Tapanuli Tengah. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Komitmen OJK dalam mengakselerasi keuangan berkelanjutan juga terwujud dengan penyusunan Roadmap Keuangan Berkelanjutan Tahap I periode 2015-2019.

Langkah ini lanjut dengan Tahap II periode 2021-2025 sebagai panduan percepatan penerapan prinsip lingkungan, sosial, dan tata kelola berfokus penciptaan ekosistem keuangan berkelanjutan secara komprehensif.

OJK, katanya, menyiapkan empat langkah strategis penerapan prinsip keuangan berkelanjutan, yaitu Penyelesaian Taksonomi Hijau, sebagai pedoman dalam pengembangan produk-produk inovatif dan atau keuangan berkelanjutan serta sustainable financial disclosure.

Perbankan telah menindaklanjuti dengan pemberian kredit energi terbarukan sebagai pembiayaan keuangan berkelanjutan yang dicantumkan dalam laporan tahunan setiap tahun.

Contohnya, Bank Central Asia (BCA) mengucurkan pinjaman energi terbarukan Rp4,7 triliun sampai kuartal I 2021. Angka ini bagian dari target pembiayaan keuangan berkelanjutan 5,5% pada tahun sama.

Hal lain yang dimasukkan BCA dalam pembiayaan energi berkelanjutan adalah efisiensi energi dan pengelolaan sumber daya alam hayati.

Kemudian, penggunaan lahan berkelanjutan, transportasi ramah lingkungan, pengelolaan air dan air limbah yang berkelanjutan, dan eco efficient.

Selanjutnya, bangunan berwawasan lingkungan yang memenuhi standar atau sertifikasi yang diakui secara nasional, regional atau internasional, dan kegiatan UMKM.

Bank Mandiri juga melakukan dengan kebijakan yang sama yakni pengelontoran kredit keberlanjutan Rp171 triliun sepanjang Januari 2021-Maret 2021.

Dari angka ini senilai Rp3,13 triliun dibagikan kepada energi terbarukan seperti pembangunan PLTA dan pembangkit listrik tenaga mikro hidro (PLTM).

Kredit energi terbarukan juga diberikan BNI Rp5,6 triliun. Namun, ini tidak disebutkan kapan jangka waktunya.

Andri bilang, perlu aturan jelas agar perbankan tak hanya mengklaim mendukung energi hijau, tetapi hanya melakukan kepedulian lingkungan yang tidak terkait dengan pemberian kredit.

“Selama ini, aturan yang tegas tidak ada hanya sebatas etis,” katanya.

Selain itu, perlu ada peraturan kepada perbankan soal pemberian pinjaman ke energi terbarukan.

Jadi, katanya, perbankan tak hanya branding peduli energi hijau. “Ini tidak dijalankan serius.”

Sisil menyinggung mengenai urgensi Undang-undang (UU) Energi Terbarukan.

“UU itu dapat memberikan kepastian usaha bagi pelaku energi terbarukan dan dapat mengatur pemberian insentifnya, hingga bank melihat industri ini akan mampu berkembang,” katanya.

Walaupun demikian, pembahasan RUU Energi Terbarukan mesti dikawal setiap pihak. Langkah ini supaya tidak disusupi energi baru yang berbahaya dan tidak terbarukan seperti nuklir dan gas yang masuk energi fosil dan gasifikasi batubara.

 

 

Anda ingin berpartisipasi menghentikan pembiayaan batu bara? Bisa ditandatangani petisi di link ini.

 

 

*Vera Lusiana. adalah jurnalis di LKBN Antara Riau Artikel ini merupakan karya fellowship “Krisis Iklim & Telisik Kontribusi Pembiayaan Perbankan pada Sektor Batubara” diadakan Mongabay Indonesia dan 350.Org.

 

*******

Foto utama:  Pembangkit listrik angin. Foto: Tri Mumpuni

 

 

 

Exit mobile version