Mongabay.co.id

Moncer Baterai Kendaraan Listrik, Suram bagi Laut dan Nelayan Pulau Obi [2]

 

 

 

 

 

 

Di depan pemukiman di Desa Soligi, Kecamatan Obi Selatan, merupakan hutan mangrove dan tempat biasa anak-anak bermain. Di laut depan desa itu, pemerintah Maluku Utara pernah setuju pembuangan limbah tailing nikel melalui proyek deep sea tailing placement [DSTP] atau ‘pembuangan limbah nikel ke laut dalam’ untuk pabrik hidrometalurgi milik Harita Group. Setelah mendapatkan banyak kritik, rencana limbah ke laut dalam batal, kini, perusahaan ajukan pembuangan tailing di daratan.

Izin pembuangan limbah tailing itu diteken KH. Abdul Gani Kasuba, Gubernur Maluku Utara. Ia muncul lewat SK No 502 /12/DPMPTSP/VII/2019 tentang Izin Pemanfaatan Tata Ruang Laut untuk pembuangan limbah tailing di Pulau Obi.

SK dari Gubernur Malut dua periode ini ditentang banyak pihak, terutama warga Pulau Obi karena mengancam ruang hidup masyarakat pesisir. Mereka khawatir, pembuangan limbah tailing di laut menambah kehancuran ekosistem laut, terutama padang lamun, terumbu karang dan biota.

Rencana ini disebut Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) bakal menambah laju perusakan ruang hidup masyarakat pesisir dan pulau kecil.

Dalam Petaka Pembuangan Tailing ke Laut (2001), Jatam menyebut, tailing dalam dunia pertambangan selalu menjadi masalah serius. Limbah yang menyerupai lumpur kental, pekat, asam dan mengandung logam-logam berat itu berbahaya bagi keselamatan mahluk hidup.

Warga lantas demonstrasi berulang kali di kantor Harita Group di Ternate dan Pemerintah Malut di Sofifi, hingga rencana penempatan limbah tailing ke laut dibatalkan tetapi izin belum dicabut Gubernur Maluku Utara.

Keputusan Gubernur Malut bertentangan dengan Peraturan Daerah No.2/2018 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil [RZWP3K] provinsi ini. Dalam aturan ini menyebutkan, perairan Kepulauan Obi tidak boleh untuk pembuangan limbah tailing.

 

Baca juga: Moncer Baterai Kendaraan Listrik, Suram bagi Laut dan Nelayan Pulau Obi [1]

Air laut di Pesisir Pulau Obi, berwarna orange diduga dampak limpahan ore nikel. Foto: Rabul Sawal/ Mongabay Indonesia

 

Daerah ini masuk zonasi perairan tangkap pelagis dan dilewati alur pelayaran lokal. Sisi barat antara Pulau Sula dan Pulau Obi, melintas Selat Lifamatola yang jadi alur migrasi penyu dan lumba-lumba.

Deni Sarianto dalam penelitian berjudul Analisis Daerah Penangkapan Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis) di Sekitar Bacan dan Obi, Halmahera Selatan, menyatakan, Pulau Bacan dan Pulau Obi di Halmahera Selatan, telah lama sebagai penghasil ikan terutama cakalang terbesar di Malut.

Hasil tangkapan nelayan di perairan Bacan dan Obi didominasi cakalang, sekitar 81,85%. Penelitian lain sebut cakalang di laut Maluku ini dapat ditemukan sepanjang tahun.

Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) pada 2017 melaporkan, produk olahan cakalang dari Halmahera Selatan terdistribusi ke berbagai daerah tujuan baik skala lokal maupun ekspor. Pasar lokal di Ternate, Manado, Surabaya, dan Jakarta. Sedangkan pasar ekspor ke Jepang, Amerika dan sebagian Eropa.

Dalam penelitian Rusmawati Labenua dan Muhammad Aris sebutkan, di perairan Obi seperti di Akegula, Kampung Baru, Kawasi dan Soligi, sangat ideal untuk pengembangan budidaya rumput laut.

 

 

***

Ahmad Rusydi Rasjid, Direktur Eksekutif Walhi Malut mengatakan, izin pembuangan tailing terbit di perairan Obi dari Gubernur Malut ini turut menunjang rencana dari proyek korporasi tambang untuk mengolah bahan baku baterai buat kendaraan listrik.

Rencana ini, katanya, contoh bagaimana karut marut tata ruang di ‘Kepulauan Negeri Rempah-rempah’ ini yang mengalami tumpang tindih dalam konteks rezim pemanfaatan lahan.

Dari data Walhi Malut, penempatan limbah tailing di perairan Obi juga sudah mendapat restu dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada 2016 mengingat pemanfaatan lahan dalam kawasan hutan. Izin pinjam pakai kawasan kawasan hutan (IPPKH) sesuai SK Menhut No. 729/2010 dan Kep BKPM No. 43/2016.

Rencana pembuangan limbah tailing dibatalkan, namun izin belum dicabut. Muncul kekhawatiran juga, katanya, soal pembuangan limbah tailing di darat.

 

Baca juga: Cerita dari Pulau Obi, Daerah Penghasil Bahan Baku Baterei Kendaraan Listrik [1]

Nelayan kecil melaut dengan air laut berwarna orange kecoklatan. Foto: Rabul Sawal/ Mongabay Indonesia

 

 

Berdasarkan dokumen yang saya peroleh, PT Trimegah Bangun Persada mengajukan permohonan pertimbangan Gubernur Malut atas rencana pelepasan kawasan hutan untuk lokasi pembangunan kawasan industri Pulau Obi. Permohonan itu diajukan pada 16 Juli 2021 dengan nomor surat 181/TBP/VII/2021.

Dalam surat itu disebutkan, pembangunan kawasan industri Pulau Obi meliputi areal seluas 14.858,29 hektar, terdiri atas hutan produksi 9.839,04 hektar, hutan produksi dapat dikonversi (HPK) 4.058,45 hektar, areal penggunaan lain (APL) 601 hektar dan tubuh air 395,29 hektar.

Kawasan hutan yang dilepaskan, sebut dalam surat, adalah lokasi untuk membangun fasilitas pabrik dan sarana/prasarana penunjang serta rencana pengembangan untuk optimalisasi sumber daya dalam Kawasan Industri Pulau Obi.

“Termasuk untuk lokasi pembangunan dam/bendung untuk penempatan lumpur sisa pengolahan bijih nikel (tailing) di darat sebagai subtitusi dari penempatan tailing di laut dalam (deep sea tailing placement) atau DSTP,” demikian dalam surat yang ditandatangani Donald J. Hermanus, Direktur Utama TBP.

Bila rencana itu juga terjadi, Ahmad bilang akan berisiko menimbulkan kontaminasi tanah dan air bawah tanah oleh unsur-unsur logam.

“Selain itu, pelarutan logam berat oleh air hujan dan oksidasi oleh udara akan meningkatkan luasan lahan cemaran,” katanya.

Kondisi tempat pembuangan tailing di darat, kata Ahmad, umumnya sangat rentan kestabilan lereng, terutama dipicu fenomena alam seperti gempa bumi, banjir, longsoran, ataupun amblesan tanah.

Harita Group yang menaungi PT Trimegah Bangun Persada dan PT Gane Permai Sentosa jadi obyek vital nasional berdasarkan putusan Menteri ESDM No.77 K/90/MEv2019. Upaya ini, kata Ahmad, sebagai pengamanan investasi yang tak lagi bisa disentuh oleh aksi protes semacam demonstrasi.

Melky Nahar, Pekampanye Jatam mengatakan, proyek pembuangan limbah tailing ini jelas menambah laju kehancuran di Pulau Obi. Pembuangan limbah tailing di darat, bakal memperburuk kondisi Obi yang wilayahnya rawan gempa.

Dia bilang, kalau dipaksa bikin bendungan (dam tailing) sewaktu-waktu berpotensi jebol.

“Jika dipaksakan, sumber-sumber kehidupan warga tidak bisa lagi diakses. Jadi, lagi-lagi yang jadi korban kemudian adalah warga dan ruang hidupnya, baik di darat, pesisir dan laut,” katanya.

Bagi Melky, pemerintah memang membuat Pulau Obi untuk kebutuhan kawasan industri besar dengan mengatur dan mendorong agar investasi lancar. Kebijakan-kebijakan pemerintah tentang kesejahteraan ekonomi dan untuk membuat warga keluar dari ‘urusan kemiskinan’ hanya ilusi.

 

Baca juga: Warga Kawasi Terancam Relokasi Ketika Ada Kawasan Industri Nikel [2]

Sungai di Obi dengan air keruh berwarna orange kecoklatan. Air sungai ini mengalir ke laut. Foto: Rabul Sawal/ Mongabay Indonesia

 

Warga sudah terhimpit di tengah industri tambang dan energi masuk Obi. Situasi ini, katanya, tidak hanya dialami ribuan warga Obi yang sekarang hidup, juga bagi anak mereka nanti.

Bayi yang lahir langsung di atas konsesi tambang. Baru keluar dari rahim ibu, sudah tidak punya ruang hidup. Lahan pertanian, katanya, sudah beralih, air sudah tercemar bahkan lenyap. Pesisir laut juga tercemar.

“Jadi, persis Pulau Obi itu memang tidak diarahkan untuk kemudian warga bisa hidup lebih baik.”

Kalau pemerintah berniat baik, katanya, yang didorong itu ialah sektor pertanian, perkebunan, dan perikanan. “Tapi serentak mengubah itu secara total dengan jadikan Pulau Obi sebagai kawasan industri. Ini problem serius yang dialami warga Obi.”

Ahmad mengatakan, aktivitas pertambangan dan smelter di Pulau Obi tidak memenuhi kriteria untuk pembangunan pabrik pengolahan limbah di darat maupun laut.

Dia nilai, pengawasan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Malut tak jelas di kawasan industri ini. Mereka beralasan terlilit anggaran pengawasan dan masih situasi pandemi COVID-19 sejak awal 2020.

Abdullah Assagaf, Plt Kepala Dinas Keluautan dan Perikanan (DKP) Malut menampik pun ada pencemaran di perairan pesisir dan laut karena operasi tambang nikel ini.

“Saya koordinasi dengan dinas (DKP) di Kabupaten (Halsel), tidak ada masalah, tidak berdampak seperti yang kamu sampaikan,” katanya saat ditemui di Ternate, 3 Desember lalu.

Dia bilang, ada Kelompok Pengawas Masyarakat [Pokmaswas] di Obi yang dibentuk DKP Malut. Kelompok ini, katanya, bertugas membantu pemerintah dalam pengawasan dan melaporkan pelanggaran kelautan maupun perikanan.

Abdullah mengatakan, masalah yang dilaporkan ke DKP Malut soal kelangkaan bahan bakar minyak (BBM) yang berimbas pada nelayan. Soal daerah tangkapan jauh, dia akui namun bagi dia nelayan di sana memang memancing tuna jadi wajar.

“Kalau [pembuangan limbah] tailing ini sudah dibatalkan,” kata Abdullah.

Dia katakan, dari hasil pengawasan tim pokmaswas, nelayan di Kawasi sudah tidak mau jadi nelayan. Mereka memilih bekerja sebagai buruh tambang.

“Mereka [nelayan] berpikir dapat uang lebih banyak daripada [menjadi] nelayan. Tentu mereka beralih profesi. Saya tidak tahu apa alasannya, tapi karena tambang menjanjikan jadi mereka beralih,” katanya.

Saya membuka ponsel dan memperlihatkan beberapa dokumentasi air laut yang keruh, limbah ore nikel di Sungai Toduku, dan beberapa dokumentasi lain.

“Intinya torang akan mengambil tindakan tegas bila itu berdampak,” kata Abdullah, tanpa menjelaskan spesifik tegas atau terdampak seperti apa.

 

Kawasan industri nikel di Pulau Obi, Maluku Utara. Foto: Rabul Sawal/ Mongabay Indonesia

 

Apa kata perusahaan? Anie Rahmi, Corporate Cummunication  Harita Nickel, mengklaim, perusahaan telah memastikan praktik penambangan mengikuti kebijakan dan selalu dalam pengawasan pemerintah. Operasi pertambangan, katanya, dengan prinsip dan praktik pertambangan yang baik, bertanggung jawab dan berkelanjutan. Juga memperhatikan aspek pengelolaan lingkungan dan kepedulian sosial.

Dari hasil evaluasi RKL-RPL Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Maluku Utara pada 2021 menunjukkan, perusahaan termasuk paling baik dalam kepatuhan pengelolaan lingkungan dan memiliki semua persyaratan perizinan.

Dari kajian lingkungan, kata Anie, perusahaan berupaya melakukan mitigasi dampak pembukaan lahan untuk penambangan. Tekniknya, lahan-lahan dibuka sekadar keperluan penambangan, termasuk melakukan pengaliran aliran air, pembuatan kolam sedimen dan IPAL dari daerah operasional hingga hilir. Setelah ditambang, vegetasi yang rusak ditanam kembali untuk pemulihan [revegetasi].

“Pemantauan kualitas air di hilir dilakukan untuk memastikan perusahaan mengikuti peraturan yang berlaku,” katanya, melalui keterangan terulis yang diterima 31 Desember lalu.

Anie juga mengatakan, dalam upaya pengelolaan dan pemantauan air, udara, debu, kebisingan, sedimen, ekologi maupun reklamasi, perusahaan melibatkan sejumlah tenaga ahli independen bersertifikat, akademisi serta bimbingan dan di bawah pengawasan pemerintah.

Perusahaan juga melakukan pengukuran emisi dari cerobong PLTU untuk memastikan kepatuhan pada peraturan dan diuji dengan pemantauan kualitas udara amien di sekitar proyek termasuk Desa Kawasi. “Hasil pemantauan menunjukkan mutu udara tidak melebihi baku mutu dan masih baik buat lingkungan masyarakat sekitar.”

Anie tidak menjawab spesifik pertanyaan-pertanyaan soal perubahan kondisi pesisir, air laut dan hilangnya mata pencaharian nelayan dari dampak operasi perusahaan.

Zulkifli H Umar, Ketua Komisi III DPRD Malut, menyayangkan kinerja DLH dan DKP Malut terkait pengawasan di kawasan industri baik di darat maupun laut. Dia mempertanyakan, kerja-kerja instansi pemerintah.

“Apakah cuman di kantor-kantor saja urus sampah di Sofifi?” katanya.

Pemerintah daerah, katanya, mesti betul-betul melihat analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) perusahaan dan menyandingkan dengan kondisi lapangan.

“Kalau tidak sesuai, ya pemerintah harus memanggil perusahaan untuk mengevaluasi.”

Namun dalam pembangunan dam tailing di darat sebagai subtitusi batal ke laut, dia tak melihat ada opsi lain. “Kalau model itu [pembangunan dam tailing] dilarang juga, bagaimana cara perusahaan [produksi].”

“Tinggal bagaimana, perusahaan diminta perkuat dam [tailing di darat] supaya tidak berdampak lingkungan.”

 

 

 

Laut tercemar

Apapun klaim para pihak, kenyataan laut sudah tercemar. Riset Pusat Studi Aquakultur Universitas Khairun berjudul “Status Kualitas Air dan Kesehatan Biota Laut di Perairan Pulau Obi, Kabupaten Halmahera Selatan, Maluku Utara” (2019) memperlihatkan, parameter kualitas air laut di wilayah industri di atas ambang batas dan melampaui baku mutu yang dipersyaratkan pemerintah.

Muhammad Aris, Ketua Peneliti Pusat Studi Aquakultur Unkhair, mengatakan, dari hasil penelusuran di air laut, kadar mineral logam tinggi sekali, terutama di perairan Desa Kawasi dan ke arah Desa Soligi bagian selatan Pulau Obi. Tempat dimana masif pertambangan nikel.

Dari suhu, kecerahan, salinitas, hingga oksigen terlarut di dalam air sudah di atas ambang batas normal. Di laut Kawasi, terdapat banyak sekali partikel lumpur dan di dalam lumpur terdapat mineral logam.

Penelitian ini menemukan, setidaknya ada 12 jenis biota laut yang diduga tercemar logam berat akibat penambangan nikel. Ada kima (Tridacna), kerapu sunu (Plectropomus leopardus), kakap batu (Lutjanus griseus), kakap kalur (Lutjanus sp.), dan kakap merah (Lutjanus campechanus). Juga Lencam (Lethrinidae), kerapu macan (Epinephelus fuscoguttasus), mata bulan (Megalops cyprinoides), tongkol (Euthynnus affinis), selar atau tude (Selaroides leptolepis), bai, dan kuwe (C. Ignobilis).

“Ikan-ikan di laut ini sudah mengalami tekanan (stres). Kami menduga, sudah terjadi akumulasi logam-logam dalam tubuh ikan,” kata Dosen Program Studi Budidaya Perairan [BDP] Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan [FPIK] Unkhair ini.

Hasil uji laboratorium di Institut Pertanian Bogor [IPB] ini dengan membedah seluruh jenis ikan. Di dalam jaringan ikan, disebut terjadi kerusakan berat, mulai dari daging, usus hingga otot. “Karena kami periksa itu di daerah otot, dagingya itu sudah bolong-bolong, banyak sel mati. Begitu ikan dibelah, ada fleg-fleg hitam. Kecurigaan kami, itu logam atau nikel.”

Logam itu tidak bisa dilihat dengan kasat mata, harus dideteksi. Kalau dideteksi, katanya, banyak sekali, karena pencemaran sudah lewat iambang batas yang dipersyarakatkan. Beberapa jenis ikan daging bahkan sudah rusak, sampai-sampai sulit diperiksa karena mengalami kanker kronis atau nikrosis.

“Dugaan saya sederhana saja, laut kita sudah tidak sehat. Di [laut] Kawasi, sudah tidak ada lagi satu makhluk yang bisa hidup. Biota disitu sudah habis. Disitu sudah jadi kubangan lumpur. Kalau sudah terjadi begitu apa yang hidup, karang? Sudah tidak bisa,” kata Aris.

“Jadi, kalau nelayan mau menangkap di sekitar situ, susah, karena memang ikan sudah tidak ada. Kalau lingkungan sudah rusak, manusia mau bikin apa, ikan sudah tidak ada. Ikan sudah hilang, yang bisa lari mereka lari, yang tidak bisa mati.”

Biota laut ini, katanya, terpapar partikel lumpur yang besar sekali, kemudian lumpur tidak berdiri sendiri, dalam lumpur ada mineral logam.

Bagi dia, keadaan ini ancaman serius, terutama pada perkembangbiakan ikan dan kesehatan warga di sekitar kawasan industri terlebih mereka yang mengonsumsi ikan.

“Warga Pulau Obi ini bisa meninggal di luar dari kewajaran karena sudah terpapar dengan ikan yang tercemar. Apakah nanti ketika terjadi kematian yang tinggi atau kejadian ikan mati massal baru semua kaget? Sekarang harus diingatkan, jangan sampai terjadi.”

 

Kondisi perairan sekitar Pulau Obi. Foto: Rabul Sawal/ Mongabay Indonesia

 

Aris bilang, penelitian ini didanai Harita dan belum publikasi. Namun Aris berani membuka hasil riset itu. Menurut dia, hasil riset ini harus dibeberkan agar jadi peringatan kepada perusahaan maupun masyarakat.

Guna mengurangi ikan tercemar dan risiko cemari warga saat mengkonsumsinya, Aris usul ada budidaya ikan di daerah-daerah tertentu yang jauh dari kawasan industri.

Dia khawatir, karena ikan-ikan dari Pulau Obi terdistribusi ke Kota Ternate dan masuk ke pasar. “Bayangkan masyarakat konsumsi ikan dari Pulau Obi yang telah tercemar dan masuk ke tubuh, bisa berbahaya.”

 

 

***

Ruang hidup warga Obi makin sempit seiring ekstraksi sumber daya nikel berlanjut. Industri ini digadang-gadang melancarkan produksi baterai untuk kendaraan listrik. Kendaraan listrik disebut salah satu cara trasisi energi dari fosil ke energi terbarukan, untuk kurangi emisi karbon sektor transportasi.

“Jadi, klaim kemudian ini ramah lingkungan itu tidak benar. Karena dari seluruh tahapan produksinya itu menghancurkan,” kata Melky.

“Kita setuju rendah karbon, tapi tinggi korban.”

Yang dimaksud Melky ‘tinggi korban’ adalah hutan dan lahan menyusut, sumber air dan perairan tercemar, pemukiman bakal digusur, warga terusir dari ruang hidup, kemudian wilayah tangkap nelayan tercemar.

Sebetulnya, kata Melky, industri baterai listrik hanya melayani negara-negara maju dan orang-orang kaya di kota. Warga kampung tetap menjadi korban.

Bagi nelayan kecil yang terbiasa melaut di perairan Obi, perlahan akan tersingkir dan kehilangan mata pancaharian utama mereka.

Kekhawatiran dan keluhan warga hanya bisa meluap dengan memplesetkan nama “Harita” sebagai “hari-hari menderita.” (Selesai)

 

*Liputan Rabul Sawal ini merupakan hasil kolaborasi Mongabay Indonesia dengan Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER).

 

Air laut tercemar. Bicara lingkungan darat dan perairan yang rusak, bukan sekadar soal alam yang rusak atau ruang hidup saat ini yang terancam.  Juga bagaimana nasib anak-anak atau generasi mendatang akan hidup layak dan sehat dalam kondisi lingkungan seperti itu? Foto: Rabul Sawal/ Mongabay Indonesia
Exit mobile version