- Keindahan kembang api dijadikan pesta dalam merayakan penyambutan tahun baru di banyak negara dan juga perayaan hari besar lainnya.
- Dampak dari pertunjukkan kembang api semakin menjadi sorotan, karena terbuat dari bahan kimia berbahaya. Kembang api tidak hanya memicu polusi tanah tapi juga polusi udara yang bisa berdampak serius pada kualitas udara yang kita hirup saat bernapas.
- Sebuah penelitian dari University of Birmingham, Inggris, menjelaskan bahwa kembang api yang menandai perayaan budaya atau nasional dapat menjadi sumber pencemar udara antropogenik jangka pendek dengan dampak signifikan pada kualitas udara lokal.
- Sebagai pengganti kembang api yang tidak ramah lingkungan, sebuah tawaran yang disodorkan adalah dengan mode perayaan alternatif termasuk pertunjukan cahaya, penggunaan lentera dan lilin, replika kembang api berbasis LED, dan sebagainya, yang diharapkan dapat dipromosikan secara berurutan untuk mengurangi paparan langsung terkait emisi kembang api.
Pada setiap acara besar, baik itu festival maupun perhelatan olahraga, biasanya kembang api digunakan untuk melengkapi kemeriahan kegiatan tersebut.
Kembang api dinyalakan pada malam hari untuk memaksimalkan efek cahaya terang dengan latar langit gelap. Seperti sihir yang mengeluarkan nyala warna-warni dan mengembang seperti air mancur di udara, dalam waktu sekejap nyala cahaya itu pun hilang tak berbekas ditelan malam.
Keindahan kembang api, makin semarak terlihat pada pesta penyambutan tahun baru di banyak negara, termasuk di Indonesia, sebagaimana yang terlihat pada pergantian tahun 2021 ke 2022.
Pertanyaannya adalah bagaimana dampak kembang api terhadap kesehatan kualitas udara?
Baca: Akibat Perubahan Iklim, Bentuk Tubuh Hewan Bisa Berubah
Secara definisi, mengutip waste4change, kembang api merupakan misil piroteknik kecil yang meledak dengan cara sangat spesifik, yang kemudian menghasilkan bunyi ledakan kencang bersama dengan letupan warna-warna cerah di udara. Warna-warna yang dihasilkan itu, merupakan hasil dari reaksi fisika dan kimiawi, karena berasal dari garam logam padat serta bahan-bahan peledak yang akan menghasilkan warna saat dipanaskan pada suhu tertentu.
Warna-warni pada kembang api pada dasarnya bisa bekerja karena terbuat dari berbagai bahan kimia. Sejumlah warna yang dihasilkan merupakan kombinasi rumit dari berbagai unsur, antara lain magnesium, natrium, fransium, litium, boron, kalium, kalsium, dan berbagai oksidator.
Seiring bertambahnya kesadaran lingkungan, dampak dari pertunjukkan cahaya pyroteknik itu makin menjadi sorotan kritis. Dibuat dari plastik dan bahan kimia berbahaya, kembang api tidak hanya memicu polusi tanah tapi juga polusi udara yang bisa berdampak serius pada kualitas udara yang kita hirup saat bernapas.
World Health Organization [WHO] melaporkan, sebagaimana dikutip dari Deutsche Welle, partikel halus berdiameter kurang 2,5 mikrometer disebut Particulate Matter atau “PM 2,5” sebagai akibat dari letupan kembang api, dapat menembus lapisan pelindung paru-paru dan masuk ke dalam sirkulasi darah. Paparan kronis pada PM2.5 memberikan kontribusi pada penyakit kardiovaskular dan penyakit saluran pernafasan hingga kanker paru-paru.
Baca: Istimewanya Ikan Terbang, Bisa Melayang Sejauh 200 Meter di Permukaan Air
Sebuah studi dari University of Birmingham, berjudul “Air quality during and after festivals: Aerosol Concentrations, Composition and Health Effects” Singh, et al, [2019], menjelaskan polutan udara dari kembang api biasanya terdiri dari PM, karbon hitam [BC], SO2, CO dan NOx. Sebagian besar penelitian tentang kembang api biasanya melakukan pengukuran sebelum, selama, dan setelah acara, untuk mengukur dampak emisi kembang api pada kualitas udara.
Disebutkan bahwa studi-studi sebelumnya telah melaporkan beberapa kali lipat peningkatan konsentrasi polutan termasuk PM10 [PM dengan diameter aerodinamis < 10 m], PM2.5 [PM dengan diameter aerodinamis < 2.5 m], dan NOx selama acara kembang api di seluruh dunia.
Secara rata-rata, penelitian yang sudah dilakukan telah melaporkan konsentrasi antara 2-8 kali lebih tinggi dari hari normal selama acara kembang api. Lonjakan paling tajam dalam konsentrasi biasanya dilaporkan selama dan setelah peristiwa, diikuti oleh penurunan konsentrasi kembali ke tingkat latar belakang dalam waktu 24 jam.
“Dalam kasus kembang api, ada beberapa jenis efek kesehatan yang mungkin terjadi termasuk efek yang berkaitan dengan paparan polusi udara, tetapi juga cedera fisik seperti luka bakar atau kerusakan pada mata,” kata Dr. Ajit Singh dkk, dalam penelitiannya.
Baca: Bukan Hanya Komodo, Hiu dan Pari Juga Terancam Dampak Perubahan Iklim
Beberapa acara di belahan dunia terlihat menggunakan kembang api dalam jumlah banyak seperti Festival Diwali [India], Tahun Baru Imlek [China], Bastille Day [Prancis], Guy Fawkes Night [Inggris], Australia Day [Australia], 4 Juli atau Hari Kemerdekaan [Amerika Serikat], malam tahun baru (seluruh dunia ) dan acara olahraga besar. Menurut penelitian itu, penggunaan kembang api dan api unggun untuk menandai perayaan budaya atau nasional, dapat menjadi sumber pencemar udara antropogenik jangka pendek yang penting dengan dampak signifikan pada kualitas udara lokal.
“Kumpulan literatur saat ini, termasuk data dari berbagai negara di seluruh dunia, memberikan bukti yang jelas tentang dampak peristiwa kembang api terhadap kualitas dan visibilitas udara, meskipun untuk periode waktu yang singkat.”
Meski demikian, dalam penelitian mereka, dijelaskankan bahwa sulit untuk membandingkan secara ketat efek yang dilaporkan dari kembang api berdasarkan kualitas udara, sebagian besar karena sifat sementara dari peristiwa kembang api, karena seringkali hanya berlangsung beberapa jam hingga berhari-hari. Karena, periode waktu yang terbatas dengan sumber kembang api relevan, sebagian besar penelitian cenderung menyertakan jumlah sampel yang terbatas.
“Selain itu, acara kembang api diadakan pada waktu yang berbeda dalam setahun [musim yang berbeda], dan karena kondisi meteorologi yang umum, mungkin sulit untuk membuat generalisasi mengenai proses atmosfer yang mendasari, menyebabkan pengurangan visibilitas,” ungkap para peneliti.
Baca juga: Catatan Akhir Tahun: Wisata Cahaya Malam dan Dampak Negatif Terhadap Kebun Raya Bogor
Menurut mereka, peraturan yang lebih luas tentang penggunaan kembang api akan membantu mengurangi paparan polusi udara. Tetapi, kepercayaan dan praktik sosial budaya yang signifikan sering dikaitkan dengan acara keagamaan atau budaya, sehingga sulit untuk menerapkan peraturan yang ketat.
Sebagai pengganti kembang api yang tidak ramah lingkungan tersebut, sebuah tawaran yang disodorkan adalah dengan mode perayaan alternatif termasuk pertunjukan cahaya, penggunaan lentera dan lilin, replika kembang api berbasis LED, dan sebagainya. Ini dapat dipromosikan berurutan untuk mengurangi paparan langsung terkait emisi kembang api.
Dalam hal kesehatan masyarakat, kesadaran mengenai dampaknya adalah kunci dalam hal perubahan perilaku secara bertahap.
“Peringatan dan nasihat akan pentingnya kesehatan masyarakat, sebelum dan selama acara kembang api, dapat dilakukan,” jelas riset tersebut.