Mongabay.co.id

Auriga Bedah Data Kebun Sawit, Hasilnya?

Worker load fresh palm oil fruits using tractor at palm oil plantation.

 

 

 

 

Yayasan Auriga Nusantara menghitung perkembangan data kebun sawit Indonesia sampai 2020, sekaligus membedah sumber lahan yang jadi kebun itu. Dari sana terlihat, mana sawit hasil dari mengubah hutan atau terjadi deforetasi maupun bukan.

Berdasarkan pemetaan dan menggunakan citra satelit luas tutupan sawit nasional pada 2020 mencapai 16,52 juta hektar. Dari angka itu, 58% di Sumatera, 37% di Kalimantan, 3% di Sulawesi, dan 1,7% Papua. Sisanya, kebun sawit ada di Pulau Jawa, Bali Nusa dan Maluku. Secara umum, sekitar 95% tutupan sawit nasional di Sumatera dan Kalimantan.

Yayasan Auriga Nusantara, melakukan perbaikan data sawit 2020 dengan pengecekan dalam lingkup nasional untuk melihat kebun sawit yang belum terpetakan pada 2019. Auriga gunakan citra satelit dengan resolusi lebih tinggi. Ini untuk melihat apakah ada kebun sawit belum ditetapkan pada 2019.

Dedi P Sukmara Direktur Informasi dan Data Yayasan Auriga Nusantara, mengatakan, dari hasil pemetaan, dibandingkan dengan luas tutupan sawit di Indonesia dari sumber Dirjen Perkebunan 2020, Kementerian Pertanian 2019 dan data Auriga 2019.

“Untuk tutupan sawit Kementerian Pertanian 16,3 juta hektar [2010] ini tentu berbeda karena dari tahun saja sudah berbeda. Auriga gunakan data terbaru 2020, Kementerian Pertanian data 2019. Data Auriga 2019, tutupan sawit Indonesia 16,23 juta hektar, ” katanya dalam diskusi daring baru-baru ini.

Tutupan sawit Auriga ini, katanya, tak memasukkan penanaman kembali atau pembersihan lahan 2019. Auriga juga tak mengurangi tutupan sawit 2019 yang saat ini sedang penanaman kembali.

Auriga mendukung pengelolaan data sawit dan tak mempermasalahkan perbedaan data serta bukan harus dipertentangkan. Justru, katanya, bisa jadi kekayaan pengetahuan yang memang terus berkembang dan harus mengadaptasi.

Namun, kata Dedi, perkembangan izin kebun sawit di Indonesia harus dibarengi tata kelola yang baik atau tata kelola sawit keberlanjutan.

 

Penertiban kebun sawit di dalam kawasan hutan di Sumatera Utara. Kebun sawit di Indonesia terluas di Sumatera dan Kalimantan.  Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Selanjutnya, perlu diatur mekanisme keterlibatan partisipasi publik dalam mengeluarkan data sawit. Tentu, katanya, dengan aturan dan mekanisme ketat.

Untuk data yang baik, katanya, harus transparan dan membuka ruang publik ikut serta. Ruang-ruang ini perlu tetapi tetap harus ditentukan standar seperti apa.

Mengenai pengembangan dan metode pendataan dan pemetaan sawit di Indonesia, katanya, dengan data spasial dan karburator ini penting karena akan tertinggal kalau bicara hanya data statistik. Juga akan tertinggal pula kalau hanya bicara peta.

Informasi dan data ini, kata Dedi harus mendukung kebijakan-kebijakan pengelolaan sawit lebih baik.

“Kita memang hanya bicara data tetapi ada perlu satu kanal publik atau satu sistem informasi yang terintegrasi. Bukan hanya bicara tutupan sawit, juga informasi tentang perizinan sawit.”

Jadi, katanya, ketika bicara tentang sawit rakyat atau korporasi sudah terlihat datanya.

Dedi bilang, sudah ada 7,7 juta hektar atau sekitar 48% tutupan sawit di Indonesia sampai tahun 2000 yang sampai saat ini masih eksis. Sisanya, 52% ekspansi dari 2000-2019. Paling tidak terjadi penambahan tutupan sawit dalam dua dekade terakhir seluas 8,4 juta hektar.

Kalau melihat perluasan kebun sawit di daerah, katanya, sebelum 2000 ada di Sumatera, setelah 2003-2019 di Kalimantan. Namun, 10 tahun terakhir perkembangan sawit berpindah ke Papua dan Maluku, meskipun tidak semasif Kalimantan saat ini. Lonjakan sawit di Papua, katanya. mencapai empat kali lipat dari tahun 2000.

 

 

Kalau tahun 2000, hanya 50.000 hektar, 20 tahun terakhir terjadi lompatan empat kali lipat sekitar 250.000 hektar dan menyumbang sekitar 80% tutupan sawit eksis di Papua. Begitu juga Maluku, 96% sawit berkembang dalam dua dekade terakhir.

“Dari data ini bisa terlihat pergeseran-pergeseran tren ekspansi sawit dari Sumatera berpindah ke Kalimantan dan berpindah lagi ke Papua dan Maluku, ” kata Dedi.

Kalau melihat dinamika hutan menjadi sawit, katanya, ada 3,1 juta hektar hutan pada 2000 yang berubah jadi perkebunan sawit pada 2019.

Berdasarkan peta mereka, hutan alam pada 2000 yang jadi sawit atau terjadi deforestasi langsung sampai 2019 seluas sampai 2,9 juta hektar. Lalu kebun sawit dari hutan tetapi tidak langsung–ada transisi dari komoditas lain–sebesar 158.000 hektar. Kemudian, kebun sawit yang tidak berasal dari deforestasi baik langsung maupun tidak langsung 13,1 juta hektar.

Dari data ini, katanya, bisa terlihat mana kebun sawit dari hutan, atau deforestasi langsung dan mana bukan dari hutan.

 

Trend deforestasi dan transparansi

Sementara itu, Timer Manurung, Ketua Yayasan Auriga Nusantara jabarkan soal deforestasi secara umum, termasuk sawit.

“Saat ini, tren deforestasi sedang mengarah ke Indonesia bagian timur. Ini akan mengancam hutan yang seharusnya untuk kawasan konservasi,”katanya.

Tren itu juga terlihat pada aplikasi Mapbiomas Indonesia yang dikembangkan Auriga Nusantara. Ia dibangun bersama jejaring masyarakat sipil dalam negeri dan bekerja sama dengan Mapbiomas Brazil dan Woods & Wayside International. Peta ini bisa melihat transisi luas tutupan hutan dan penggunaan lahan dengan lebih akurat.

Data yang ditangkap Mapbiomas Indonesia pada 2015-2019 menunjukkan, terjadi peralihan lahan cukup signifikan antara lain hutan jadi tumbuhan non hutan 1,7 juta hektar, sawit 416.277 hektar, dan pertanian lain 2,7 juta hektar.

Total deforestasi dalam rentang waktu itu mencapai 5,2 juta hektar.

Hariadi Kartodihardjo, Guru Besar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) mengatakan, korupsi pengelolaan sumber daya alam termasuk bidang kehutanan sudah terinstal ke dalam institusi dan sistem pemerintahan.

Hasil riset 2013 mengenai suap di perusahaan kehutanan masih terjadi hingga sekarang. Konflik lahan dan hutan bertambah meluas, demikian pula tumpang tindih penggunaan hutan dan lahan secara sistematis terus terjadi sampai 77 juta hektar.

Ironinya, semua itu berjalan sesuai peraturan dan pedoman kerja, alias tak melanggar hukum.

Mengapa terjadi? Menurut Hariadi, karena korupsi dalam tata kelola selain melalui penggunaan instrumen negara (state capture corruption)—misal, melalui penetapan pasal-pasal dalam peraturan-perundangan–, juga pelemahan fungsi-fungsi lembaga negara (institutional corruption).

Korupsi ini, katanya, tak lagi hanya dengan barter atau quid pro quo, tetapi melalui regulasi dan prosedur resmi oleh lembaga resmi.

Dalam perizinan, korupsi ini, selain mempermudah dan melonggarkan prosedur izin, juga memperlancar izin. Tetapi, katanya, lembaga perizinan tidak mampu mengendalikan izin-izin yang mereka keluarkan di lapangan.

State capture corruption ini, katanya, dapat pula berupa internalisasi berbagai jenis peraturan daerah, termasuk mengurangi luas kawasan lindung dalam tata ruang. Juga, memudahkan kelompok usaha tertentu menjalankan bisnis di daerah, maupun penetapan kebijakan yang menguntungkan kelompok tertentu dalam peraturan daerah.

“Hal demikian itu berakibat lemahnya penegakan hukum serta pengendalian kerusakan maupun pencemaran lingkungan hidup. Tetapi semua itu sudah berjalan sesuai peraturan-perundangan.”

 

Dulu ini hutan, yang berubah jadi kebun sawit. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Lemahnya aspek kelembagaan yang menyuburkan korupsi, Rimawan, pakar ekonomi, Fakultas Ekonomi Bisnis, Universitas Gadjah Mada (UGM) juga aktivis anti korupsi, angkat bicara.

Dia katakan, salah satu persyaratan kemajuan negara adalah aspek kelembagaan kuat hingga bisa menjamin perkembangan ekonomi dan memberikan manfaat bagi kesejahteraan rakyat.

Pada negara maju, aspek kelembagaan mengatur tata hubungan antar elemen masyarakat hingga menurunkan aspek korupsi. Akhirnya, potensi negara mencapai tujuan pembangunan ekonomi untuk kesejahteraan rakyat akan berhasil.

Dari kajian dan analisis mereka, struktur ekonomi Indonesia sejak Belanda mengambil alih VoC pada 1800 hingga sekarang, masih didominasi ekonomi ekstraktif.

Hipotesis kutukan sumber daya alam, katanya, terjadi pada perekonomian Indonesia. Di mana, negara dengan kandungan sumberdaya melimpah cenderung tidak memiliki sistem kelembagaan yang baik hingga pembangunan ekonomi suboptimal dan tertinggal dari negara yang justru tak memiliki sumberdaya alam berlimpah.

Menurut laporan jurnal KPK 24 Maret tahun 2020, sektor perkebunan sawit ada potensi pajak tidak dipungut pemerintah sekitar Rp18,13 triliun pada 2016. Potensi pajak tahun itu bisa Rp40 triliun.

Salah satu faktor penyebab penerimaan negara rendah, katanya, karena kepatuhan pajak rendah. Kepatuhan wajib pajak (WP) orang pribadi hanya 6,3% dan WP badan 46,3%.

Rimawan mengatakan, pandemi COVID-19 menciptakan kontraksi ekonomi di seluruh dunia. Semua negara menerapkan anggaran defisit, kebutuhan mengkompensasi masyarakat karena pandemi naik, namun rasio pajak turun drastis buntut kontraksi ekonomi. Modal finansial, katanya, jadi langka dan akan terus berlaku hingga 5-10 tahun mendatang.

Kelangkaan modal dapat diminimalisasi dengan menggerakkan modal sosial. Modal sosial hanya berjalan kalau ada kepercayaan. Kepercayaan muncul dari integritas dan transparansi. “Membangun modal sosial dalam jangka panjang hanya akan berhasil jika integritas dan transparansi konsisten antar waktu.”

Ditambah lagi, tuntutan dunia internasional makin tinggi. Dimana keberlanjutan jadi elemen utama dalam ekonomi.

Semua sektor akan terdorong menuju ekonomi hijau atau ekonomi biru yang menempatkan dampak lingkungan dan sosial setara dengan dampak ekonomi.

“Inilah momentum perubahan ekonomi Indonesia guna memutus rantai ekonomi ekstraktif menuju ke struktur ekonomi alternatif yang lebih mendukung pembangunan berkelanjutan,” katanya.

Jadi, sekarang kembali lagi kepada pemerintah dalam menentukan arah pembangunan Indonesia. Sebagai tuan rumah G20, katanya, komitmen Indonesia sebagai negara yang makin bermartabat.

“Tujuan pembangunan berkelanjutan akan makin disorot. Sudah saatnya, rakyat bisa menikmati hasil pembangunan secara adil dan mencapai kesejahteraan yang seharusnya mereka nikmati dari negara yang kaya ini,” kata Rimawan.

Hutan adat Laman Kinipan, yang berubah jadi kebun sawit skala besar. Foto:Meta Septalisa

******

Foto utama:  Yayasan Auriga Nusantara gunakan citra satelit dan pemetaan untuk mendapatkan data terbaru luasan kebun sawit di Indonesia pada 2020. Foto: Shutterstock

Exit mobile version