Mongabay.co.id

Cerita Penjaga Hutan dari Timika Papua

 

Vilta membagi para peserta yang berjumlah 20 orang menjadi dua kelompok. Dengan kursi masing-masing mereka berjejer, sambil diam menunduk. Suara satwa diperdengarkan dari sebuah handphone. Mereka diminta menebak nama satwa tersebut.

Seorang peserta mengangkat tangan. “Itu suara Cendrawasih kuning besar!”

Muhammad Fikri, staf Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Papua, yang menjadi penilai, membenarkan jawaban tersebut. Terdengar tepuk tangan memenuhi ruangan. Wajah mereka penuh keceriaan.

Vilta kemudian mengulang lagi proses sebelumnya, memperdengarkan suara satwa yang harus dijawab peserta. Kadang benar, kadang salah. Jawaban yang benar mendapatkan reward panitia.

Begitulah proses games yang dilakukan hari itu, sebagai bagian dari kegiatan pelatihan konservasi alam dan satwa liar yang dilaksanakan oleh Blue Forests di Timika, Kabupaten Mimika, Papua, pertengahan Desember 2021 lalu.

Menurut Vilta, koordinator proyek site Kampung Lestari Blue Forests, kegiatan selama empat hari itu bertujuan menguatkan kapasitas teknis dan memperkenalkan konservasi dasar bagi lima orang calon anggota. Sedangkan bagi 15 orang lainnya menyegarkan kembali pekerjaan mereka dalam melakukan patroli di lapangan, bagaimana monitoring, perkembangannya dan berbagai kendalanya.

“Kegiatan dilakukan secara indoor selama 3 hari dan outdoor selama sehari,” katanya.

baca : Kajian Sebut Jalan Trans Papua Makin Gerus Hutan Papua

 

Pemuda dari dua kampung di Kabupaten Mimika, Nayaro dan Mioko, mengikuti pelatihan konservasi satwa liar, pada pertengahan Desember 2021. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Peserta kegiatan terdiri dari 15 orang anggota Kelompok Jaga Hutan (KJH) Kampung Nayaro dan 5 orang calon anggota KJH Kampung Mioko. Para peserta berasal dari berbagai latar belakang pekerjaan, seperti petani, nelayan, pemburu dan aparat kampung.

“Mereka adalah perwakilan kampung yang rekrutmennya diusulkan oleh pemangku adat dan aparat kampung. Mereka adalah pemuda-pemuda yang dianggap berpotensi melindungi hutan dimana penentuannya ditentukan secara musyawarah.”

KJH sendiri awalnya diinisiasi oleh program USAID Lestari sejak awal tahun 2018. Dalam perkembangannya kemudian berkolaborasi dengan Cabang Dinas Kehutanan (CDK) Mimika yang kemudian mengusulkannya menjadi masyarakat mitra polhut (MMP).

“Karena sifatnya volunterisme maka mereka tidak digaji, namun hanya diberikan biaya operasional lapangan setiap kali melakukan monitoring.”

Model monitoring KJH biasanya dilakukan per tiga bulan sekali, yang dilakukan di beberapa titik yang sejak awal sudah ditentukan.

“Aktivitas monitoring dilakukan melalui crosschek status hutan, kondisi alam, kondisi beberapa lokasi yang direkomendasi di awal apakah ada perubahan yang signifikan entah karena manusia atau kondisi alam yang membuatnya rusak.”

baca juga : Diluncurkan Dana Abadi untuk Pengelolaan Kawasan Konservasi Kepala Burung Papua

 

Kegiatan monitoring yang dilakukan KJH Mame Airafua Kampung Nayaro, Timika, Papua. Foto: Blue Forests

 

Menurut Vilta, dalam perkembangannya, tantangan yang dihadapi lapangan lebih ke faktor support teknis, dimana mereka bekerja dengan peralatan dan kapasitas terbatas.

“Mereka kan diajarkan melihat flora dan fauna, perkembangannya seperti apa, untuk mengukur itu kan butuh teknis-teknis dimana teman-teman juga masih belajar. Kadang teman-teman habis monitoring mereka kesulitan untuk mendata kembali, cuma maksimal secara verbal saja, bahwa kami punya hutan aman, mangrove aman, jumlah satwa aman. Ketika dilaporkan ke level kampung atau CDK, mereka kesulitan bagaimana mempresentasikan secara maksimal,” katanya.

 

KJH Mame Airafua Kampung Nayaro

Samuel Apoka, Ketua KJH Mame Airafua Kampung Nayaro, termasuk yang sangat antusias mengikuti kegiatan ini. Ia sejak awal terlibat di KJH dan sering tampil sebagai juru bicara kelompok.

“Pelatihan ini sangat penting dan bagus karena kami dapat pengetahuan dan berbagi pengalaman. Paling berkesan bagi saya itu diajari bagaimana membaca grafik tentang hitungan satwa, diskusi dan melakukan identifikasi flora dan fauna,” katanya.

Nayaro adalah salah satu kampung di wilayah administrasi Distrik Mimika Baru, Kabupaten Mimika Papua, yang dapat ditempuh sekitar satu setengah jam perjalanan menggunakan bus dari Timika. Kampung ini berada dalam wilayah kontrak karya PT. Freeport Indonesia (PTFI).

Tahun 2018, melalui musyawarah kampung, dibentuklah KJH Mame Airafua Kampung Nayaro. Mame Airafua sendiri berasal dari bahasa Kamoro yang berarti ‘mari kita lihat sama-sama’. Kelompok ini terdiri dari 19 orang pemuda yang bertugas melakukan monitoring dan patroli rutin.

baca juga : Hutan Papua, Bencana Ekologis dan Ekosida

 

Samuel Apoka, Ketua KJH Mame Airafua Kampung Nayaro, mengabdikan diri untuk menjaga hutannya yang mulai berkurang. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Samuel mau terlibat dalam kegiatan pemantauan hutan karena merasa miris melihat kondisi hutan yang semakin berkurang dan tak ada upaya untuk perbaikan. Baginya, hutan harus dijaga karena hutan itu mama yang menghasilkan oksigen terbaik.

“Dulu awalnya saya menolak program ini. Saya protes kalian datang mau bikin apa, karena dulu kan kalau ada yang datang pasti ada kepentingan, jadi semua dicurigai, karena dari dulu itu yang terjadi. Apalagi dari dulu ada pembunuhan karakter yang dibuat perusahaan tentang kami. Saya tak ingin ada yang masuk dan menciptakan hal yang sama,” katanya.

Sikap Samuel berubah setelah melihat dan mendengar di forum-forum yang dilakukan program ini. Ia mulai menyadari adanya manfaat yang mereka bisa dapatkan, gambaran tentang hal buruk yang akan terjadi mulai hilang.

“Kami berharap hutan yang tersisa saat ini masih dinikmati anak cucu kita. Dulu ada yang masuk mengambil satwa, bahkan ada dari anggota kelompok sendiri karena belum tahu aturan, setelah ada kelompok dan mengerti akan aturan mereka mulai bergabung dengan teman-teman Lestari.”

Sikap kritis dan percaya diri anggota kelompok terbangun perlahan. Mereka misalnya mulai berani tampil ke depan menyampaikan ke masyarakat bahwa menjaga hutan itu penting.

“Sekarang banyak masyarakat paham dan mengerti, ketika ada indikasi pembukaan lahan, atau illegal logging cepat sekali informasinya ke kami. Kalau ada yang ambil Kura-kura Moncong Babi langsung lapor ke kami. Kami biasanya selesaikan secara kekeluargaan kalau masih bisa dibicarakan. Sekarang sudah tak ada lagi.”

Kura-kura Moncong Babi  (Carettochelys insculpta) atau muru dalam bahasa lokal memang menjadi satwa endemik kampung Nayaro. Hewan endemik Papua ini populasinya di alam bebas sangat terancam karena merupakan hewan peliharaan populer dan sering diselundupkan ke luar negeri (Cina dan Taiwan) untuk dikonsumsi sebagai obat. Ia hidup di sejumlah sungai di daerah selatan Papua dan di beberapa tempat di Queensland utara.

perlu dibaca : Incaran Perdagangan, Kura-kura Moncong Babi Terus Terancam

 

Kura-kura moncong babi, satwa dilindungi endemik Papua. Foto: Humas Kemenhut

 

Menurut Samuel, sudah menjadi tradisi masyarakat setempat untuk konsumsi daging satwa ini karena kaya protein, meski ada juga untuk kepentingan dijual. Kini masyarakat setempat mulai menyadari pentingnya menjaga satwa tersebut dan bekerja sama dengan pemerintah dalam pelestariannya.

“Tahun 2020 kita ada pelepasan bekerja sama BBKSDA, ada sekitar 5.100 ekor kura-kura moncong babi hasil sitaan yang dilepasliarkan. Kita sudah beberapa kali kerja sama untuk pelepasan. Ada juga pelepasliaran Kasuari Gelambir-ganda yang dilepas hutan Iwawa salah satu hutan keramat di kampung kami.”

Bagi Samuel, selain hutan, satwa di dalamnya juga harus dijaga karena menjadi sumber kebanggaan memiliki satwa yang langka tak ditemui di tempat lain.

“Saya bangga kalau ada satwa yang hanya ada di Papua khusus wilayah selatan. Apalagi Mimika asli. Berarti kami memiliki sesuatu yang hanya satu-satunya di Papua. Kita bisa ceritakan kepada ke anak cucu kita.”

KJH Nayaro sendiri berencana menambah anggota. Minat pemuda Nayaro untuk terlibat karena sebagian besar mereka telah menjadi bagian program ini sejak kecil. Mereka juga menganggap program ini membantu mereka mempertahankan hutan.

“Kita punya tempat cari makan cuma ada di hutan. Hutan itu seperti supermarket, semua ada, makanya harus benar-benar dijaga. Ada beberapa wilayah yang betul-betul kita jaga, apalagi dusun-dusun keramat, kita fokus di situ. Salah satu wilayah di Nayaro sebagai penyangga TN Laurentz. Ini harus dijaga dan kami sampaikan ke masyarakat dan mereka mau,” pungkasnya.

 

Ilustrasi. Suku Asmat, di Kabupaten Asmat, Papua, sedang melakukan satu upacara adat di tengah hutan mereka. Foto : shutterstock

 

 

Exit mobile version