Mongabay.co.id

Derita Petani Penggarap yang Lahannya Dijadikan Relokasi Pengungsi Gunung Semeru

 

Nasib malang dirasakan Rejo (60), petani asal Dusun Banjarejo, Desa Sumbermujur, Kecamatan Candipuro, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur. Pagi itu, bersama istrinya Giem (55) pria berkulit sawo matang ini tengah sibuk menebang pohon cengkeh meskipun kondisinya masih produktif.

Urat tangannya tampak menonjol tatkala ia mengayunkan sebilah kapak ke pangkal pohon dengan nama latin Syzgium aromaticum itu. Tidak lebih dari 15 menit pohon berdiameter 20 cm itupun berhasil ditumbangkan. Setelah tumbang giliran istrinya yang memangkas ranting-ranting pohon cengkeh tersebut, sebelum kemudian dikumpulkan untuk dijadikan kayu bakar.

Rejo terpaksa merobohkannya, sebab lahan garapannya yang berada di kawasan Perhutani itu akan dijadikan sebagai tempat relokasi penyintas erupsi Gunung Semeru. Untuk itu, dia harus rela melepas lahan yang sudah dia garap selama 15 tahun itu walaupun berat hati.

“Kalau orang kecil seperti saya ini hanya bisa menumpang, kalau sudah digusur kayak gini ya tidak bisa berbuat apa-apa,” kata Rejo, disela kesibukannya membersihkan lahan dengan keluasan 250 meter persegi, dipertengahan Desember 2021, lalu.

baca : Rehabilitasi Hutan Diperlukan Pasca Letusan Gunung Semeru

 

Petani menyaksikan lahan garapannya yang diratakan untuk relokasi pengungsi penyintas erupsi Gunung Semeru. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Selain pohon cengkeh, tanaman lain seperti kopi, pisang, kelapa juga habis terbabat. Lanjut bapak dua anak ini, setelah lahan garapannya itu digusur saat ini dia tidak punya pilihan lain untuk bercocok tanam.

Sebab, lahan itu merupakan satu-satunya yang ia garap. Padahal dari lahan garapannya itu dalam sebulan paling tidak dia bisa mendapatkan uang Rp1 juta.

“Setelah ini saya tidak tahu harus bertani kemana, adanya hanya lahan ini,” ujarnya.

Rejo berharap seharusnya petani penggarap seperti dirinya juga bisa mendapatkan ganti rugi, begitu juga dengan petani lain yang lahan garapannya digusur untuk kegiatan pembangunan kawasan relokasi pengungsi yang terdampak Erupsi Gunung Semeru.

baca juga : Dampak Erupsi Semeru Bagi Petani, Begini Upaya Pemulihannya

 

Petugas membersihkan material berupa pasir yang dibawa akibat letusan dan banjir lahar hujan Gunung Semeru. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Ganti Rugi

Sebelumnya, pemerintah Kabupaten Lumajang telah mengusulkan beberapa titik lokasi yang bisa dijadikan tempat relokasi, hal ini menjadi keputusan karena adanya keinginan dari para warga penyintas erupsi Gunung Semeru, sehingga relokasi menjadi opsi. Karena berada di kawasan Perhutani usulan itu kemudian disampaikan ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Pada kesempatan itu ada dua lokasi yang diusulkan oleh Bupati Lumajang, Thoriqul Haq, yaitu lahan produksi petak 4F-1 seluas 79,6 ha di Desa Sumber Mujur, Kecamatan Candipuro, dan di petak 5D di Desa Oro-Oro Ombo, Kecamatan Pronojiwo dengan keluasan 8 hektare.

Setelah mendapatkan persetujuan dari KLHK melalui surat keputusan Nomor 1256/MENLHK/SETJEN/PLA.2/12/2021, proyek pembangunan area relokasi terus digebut. Pembersihan kawasan dengan menggunakan alat berat tersebut melibatkan personil TNI, Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS), Polres Lumajang dan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Sementara area yang diperuntukkan untuk relokasi total luasnya 90,98 hektare.

baca juga : Semeru Masih Erupsi, Bagaimana Penyelamatan Satwa dan Ternak Warga?

 

Pantauan udara dusun Kamar Kajang, Candipuro, Lumajang, Jawa Timur, yang terdampak banjir lahar hujan Gunung Semeru. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Kepala Desa Sumber Mujur, Syafii, mengatakan, selama proses penggarapan area yang akan dijadikan tempat relokasi untuk hunian sementara (huntara) dan hunian tetap (huntap) tidak ada penolakan dari warganya. Hanya beberapa warga mengusulkan agar lahan garapan petani itu ada ganti ruginya. Sementara ini usulan-usulan itu masih ditampung.

Perihal ganti garap, kata Syafii, pihak Perhutani dan Pemerintah Daerah sudah menyiapkan lahan sekitar 247 hektare, jaraknya kurang lebih 7 kilo dari lahan relokasi. “Untuk jenis tanaman milik petani yang habis itu masih kami perjuangkan untuk dapat ganti rugi,” kata Syafii, yang menjabat Kepala Desa sudah 3 periode ini.

  

Terintegrasi

Untuk mengurangi resiko bencana akibat aktivitas vulkanik Gunung Semeru pemerintah membuat kebijakan untuk merelokasi warga yang terdampak. Permukiman penduduk dan juga fasilitas publik di desa-desa yang terdampak berupa bangunan-bangunan pemerintahan dan sekolah juga akan direlokasi.

Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa berdalih, pembangunan hunian sementara (huntara) yang melibatkan berbagai pihak itu bisa menjadi percontohan nasional untuk pembangunan hunian di area relokasi bencana, hal itu karena dinilai konsepnya terintegrasi dengan fasilitas umum, sosial dan ekonomi.

baca juga : Hidup Bersama Gunungapi Semeru

 

Seorang warga duduk di atas pasir pasca erupsi Gunung Semeru yang merendam rumahnya di Dusun Kamar Kajang, Candipuro, Lumajang, Jawa Timur. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Huntara dan hunian tetap (huntap) yang akan dibangun merupakan tipe 60, huntara akan dibangun dibagian belakang tanah kavling dengan ukuran bangunan 6 x 4 meter, sementara huntap akan dibangun di kavling bagian depan dengan ukuran 6 x 6 meter.

Lanjut khofifah, adapun untuk total lahan yang akan digunakan untuk huntara dan huntap mempunyai keluasan 81 hektare, dengan kapasitas tampung sebanyak 2.000 rumah yang dilengkapi dengan fasilitas umum, fasilitas sosial dan fasilitas ekonomi.

“Nantinya, masing-masing keluarga akan mendapatan bagian tanah kavling dengan ukuran 10 x 14 meter lengkap dengan bangunan ukuran 10 x 14 meter,” ujar Khofifah, saat meninjau proyek pembangunan hunian untuk warga yang terdampak erupsi Gunung Semeru di Kabupaten Lumajang, Rabu (05/01/2022).

baca juga : Imbal Jasa Lingkungan bagi Petani di Kaki Gunung Bromo, Seperti Apa?

 

Warga terdampak erupsi Gunung Semeru masih berada di pengungsian Desa Penanggal, Kecamatan Candipuro, Lumajang, Jawa Timur. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Sementara itu, terkait rencana relokasi warga terdampak erupsi Gunung Semeru, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) mengemukakan inovasinya. Melalui tim dari Pusat Penelitian Mitigasi, Kebencanaan, dan Perubahan Iklim (MKPI) ITS, mereka merumuskan konsep hybrid hunian sementara dan huntap.

Hal ini dilakukan supaya menghindari potensi konflik akibat delay yang sering terjadi pada saat pembangunan huntara maupun huntap. Selain itu, konsep modular tahan gempa dan abu vulkanik juga bisa diterapkan untuk fasilitas umum, seperti kantor desa, sekolah, dan puskesmas.

Rumah yang dikonsep bisa dibangun dengan cepat dan bisa dipindahkan secara mudah. Keunggulan lainnya, rumah tersebut bersifat hybrid, yaitu bisa menjadi hunian sementara, kemudian bisa dikembangkan oleh masyarakat menjadi hunian tetap.

Rumah tersebut bisa direduksi seperti ruang studio maupun ditambah menjadi rumah yang lebih luas,” jelas Kepala Pusat Penelitian MKPI ITS, Adji Pamungkas dilansir dari situs ITS.

 

Exit mobile version