Mongabay.co.id

Ribut Ekspor Batubara Buntut Indonesia Masih Terbelenggu Energi Fosil

Tongkang batubara di sungai Mahakam di Samarinda, Kalimantan Timur. Foto : Kemal Jufri/Greenpeace.

 

 

 

 

Awal Januari ini, Indonesia ramai dengan isu ‘krisis batubara’ untuk pasokan pembangkit listrik PT PLN. Pemerintah pun menetapkan kebijakan larangan ekspor batubara sementara guna amankan pasokan untuk keperluan dalam negeri (domestic market obligation/DMO). Beberapa negara seperti Korea Selatan dan Jepang, berkirim surat minta Pemerintah Indonesia, buka kembali keran ekspor. Pemerintah nyatakan, utamakan kepentingan dalam negeri seraya lakukan evaluasi atas kebijakan buka tutup ekspor batubara ini.

Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi mengatakan, pemerintah akan mengevaluasi pembukaan ekspor batubara Rabu (12/1/22). Pada Rabu malam, Luhut nyatakan, sekitar 37 kapal berisi batubara mulai jalan untuk tujuan ekspor. Keputusan itu, katanya, hasil dari rapat kordinasi lintas kementerian. Perusahaan bisa ekspor batubara setelah melalui verifikasi, antara lain, mereka patuh terhadap kebijakan DMO.

Sebelum itu, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral mash sempat katakan, kalau larangan ekspor batubara tetap berlaku sampai 31 Januari 2022.

 

 

***

Kebijakan setop ekspor karena ketersediaan batubara PLN diperkirakan di bawah batas aman mencukup kebutuhan selama 15 hari. Pemerintah pun melalui Dirjen Mineral dan Batubara (Minerba) KESDM awal bulan ini mengeluarkan kebijakan larangan ekspor batubara. Beleid ini berlaku, 1-31 Januari 2022 bagi pemegang izin usaha pertambangan (IUP) atau IUPK tahap operasi produksi. IUPK ini kelanjutan operasi kontrak atau perjanjian dan perjanjian karya pengusahaan batubara (PKP2B).

“Langkah ini untuk menjamin terpenuhi pasokan batubara pembangkit listrik. Kenapa semua dilarang ekspor? Terpaksa. Ini sifatnya sementara,” kata Ridwan Jamaludin, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara (Minerba), KESDM, awal tahun ini.

Dia klaim kekurangan pasokan ini, akan berdampak pada lebih 10 juta pelanggan PLN, mulai masyarakat umum hingga industri di Jawa, Madura, Bali (Jamali) dan daerah lain.

Kalau tak ada larangan ekspor, katanya, hampir 20 PLTU dengan daya 10.850 megawatt akan padam.

Pemerintah berjanji, saat pasokan batubara pembangkit sudah terpenuhi, perusahaan boleh ekspor kembali.

Ridwan bilang, pemerintah beberapa kali mengingatkan pengusaha batubara untuk memenuhi komitmen memasok batubara ke PLN. Realisasinya, selalu di bawah kewajiban persentase DMO.

Buntutnya, kata Ridwan, akhir tahun lalu pembangkit PLN kekurangan pasokan batubara. Persediaan batubara aman di PLTU PLN di atas 20 hari operasi.

Dari 5,1 juta metrik ton penugasan dari pemerintah, katanya, hingga 1 Januari 2022, hanya terpenuhi 35.000 metrik ton atau kurang 1%.

“Jumlah ini tak dapat memenuhi kebutuhan tiap PLTU. Bila tak segera diambil langkah-langkah strategis akan terjadi pemadaman meluas.”

 

Baca jugaGenerasi Muda Suarakan Setop Pembiayaan Batubara, Alihkan ke Energi Terbarukan.

Bersegera meninggalkan PLTU dengan tak membangun lagi pembangkit batubara ini dan beralih ke energi terbarukan, satu cara mengurangi krisis iklim. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Bergantung fosil tak aman

Keputusan pemerintah harus menarik ‘rem’ darurat dengan menghentikan ekspor batubara guna menjamin pasokan domestik, menurut Andri Prasetiyo, peneliti dan manajer program Trend Asia, menunjukkan kondisi ketahanan energi benar-benar tak aman dengan mengandalkan batubara atau fosil.

Dia bilang, sebetulnya masalah ini bisa diprediksi dan mestinya dapat diantisipasi sejak awal.

Sejak pertengahan 2021, ketika harga batubara global mulai melambung, pemerintah sudah menyoroti ketidakpatuhan DMO. Hingga muncul surat keputusan pelarangan ekspor terhadap 34 perusahaan. Sanksi, nyatanya tak mampu memberikan efek jera dalam mendorong kepatuhan.

Selain pelarangan ekspor, Presiden Joko Widodo Jokowi juga ‘mengancam’ pencabutan izin bagi perusahaan yang tak memenuhi kewajiban DMO.

“Pemerintah sudah terlanjur menempatkan batubara sebagai energi utama dan belum dapat melepaskan diri secara signifikan. Alhasil, ketika rantai pasoknya bermasalah, bayang krisis energi terasa begitu dekat,” katanya.

Dia bilang, sanksi tegas pencabutan izin perusahaan yang tak patuh DMO seharusnya sebatas ultimatum presiden, tetapi dijalankan.

Beberapa waktu ini, harga batubara di pasar dunia sedang tinggi. Harga batubara acuan global sempat menyentuh angka US$260 per metrik ton. Hal ini bikin perusahaan batubara memilih ekspor.

Data KESDM mencatat kepatuhan ratusan perusahaan tambang batubara memenuhi DMO sangat rendah. Dari target 2021, sebesar 137,5 juta ton, realisasi hanya 63,47 juta ton, sekitar 46%, terendah sejak 2017.

Hingga akhir 2021, hanya 85% perusahaan yang telah memenuhi DMO batubara sebesar 25% dari rencana produksi tahun 2021.

Selain itu, data realisasi DMO PLN menunjukkan, perusahaan batubara raksasa PKP2B juga tak memenuhi DMO, seperti PT Arutmin Indonesia.

Menurut Andri, ke depan ‘krisis-krisis’ batubara bisa berulang kalau pemerintah terus bergantung ke energi kotor ini. Hingga kini, porsi batubara masih mendominasi dalam sistem ketenagalistrikan nasional.

Kondisi ini, katanya, akan jadi implikasi serius bagi ketahanan energi nasional, begitu pun terhadap upaya percepatan transisi energi nasional.

Trend Asia mengusulkan pemberian sanksi tegas hingga pencabutan izin pada perusahaan yang tidak patuh, juga peninjauan kembali harga DMO batubara sebagai solusi jangka pendek mengatasi persoalan ini.

“Ada yang jauh lebih penting dan strategis. Pemerintah harus segera mempercepat transisi energi dengan memilih energi terbarukan,” katanya.

Fanny Tri Jambore, Manajer Pengkampanye Tambang dan Energi Walhi Nasional, mengatakan, apa yang terjadi sekarang bukanlah krisis energi, melainkan krisis ketergantungan bahan bakar fosil.

“Problem utama tata kelola energi di Indonesia, hingga sekarang pembangkit energi listrik masih sentralistik dengan energi masih terbelenggu sumber energi fosil yang dikuasai oligarki,” katanya.

Penyediaan listrik Indonesia hanya dijalankan PLN dengan 60% lebih pasokan listrik Indonesia tergantung batubara. Kondisi ini, kata Fanny, membuat pasokan listrik jadi rentan disandera kepentingan oligarki, sebagaimana yang sekarang terjadi.

Sektor batubara, katanya, salah satu industri ekstraktif sebagai bahan bakar fosil telah lama ditempatkan sebagai anak emas.

“Kemanjaan ini terlanjur diperparah dengan ketidak-tegasan regulasi.”

 

Baca juga: Target Karbon Netral, Indonesia Bakal Setop Bangun PLTU?

Tambang batubara yang menyisakan persoalan lingkungan, terlebih lubang yang tidak direklamasi. Foto: Rhett Butler/Mongabay

Belum lagi, tak ada pemberian sanksi bagi perusahaan batubara pemegang IUP maupun IUPK yang membandel dari kewajiban. Sebagaimana Pasal 158 ayat (3) PP Nomor 96/2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara menyatakan, “perusahaan pemegang IUP atau IUPK tahap operasi produksi dapat menjual ke luar negeri batubaranya setelah terpenuhi kebutuhan dalam negeri.”

Sayangnya, Pasal 158 ayat (3) PP Nomor 96/2021 ini menjadi loyo, dengan tidak ada penegakan hukum kalau itu tak dijalankan. Soal keperluan dalam negeri itu, katanya, tak termasuk dalam ancaman sanksi administratif Pasal 185 PP No. 96/2021.

Ketiadaan sanksi terhadap kewajiban pemenuhan batubara dalam negeri ini, kata Walhi, menyebabkan pengusaha memilih menjual ke pasar atau ekspor.

Dengan begitu, katanya, bahan bakar fosil seperti batubara ini jadi produk rentan langka karena mekanisme pasar mencari keuntungan. Ketergantungan besar pembangkit energi Indonesia terhadap bahan rentan langka ini, katanya, jadi kelemahan besar dalam kepastian pemenuhan energi.

Bagi Walhi, situasi yang dihadapi sekarang harus jadi momentum percepatan transisi energi di Indonesia ke energi terbarukan.

“Kita mengetahui, problem utama tata kelola energi adalah ketergantungan besar terhadap fosil yang rentan.”

Untuk itu, katanya, pemerintah harus berani mengambil langkah ambisius memastikan Indonesia tidak lagi mengalami ketergantungan terhadap energi fosil.

Fanny mengatakan, tahap pertama dari upaya penghentian ketergantungan terhadap energi fosil adalah dengan menutup PLTU batubara tua yang beroperasi lebih 30 tahun. Juga. setop pembangkit dengan efisiensi rendah. Selain itu, sejalan komitmen global pada COP26 yang tertuang dalam Pakta Iklim Glasgow, pemerintah harus menghentikan pemberian izin PLTU baru dan setop subsidi pada energi fosil.

“Mempertahankan pembangkit berbahan bakar fosil seperti sekarang tak lagi masuk akal. Hanya dengan transisi energi terbarukan akan menghindarkan dari risiko krisis energi dan krisis iklim.”

 

******

Foto: Batubara dalam tongkang di Sungai Mahakam, Kalimantan Timur. Terjadi penutupan keran ekspor tak sampai dua pekan, lalu buka lagi memperlihatkan betapa bergantung dari sumber fosil seperti batubara menciptkan kondisi rawan. Sudah waktunya, Indonesia bersegera dan serius beralih ke energi terbarukan.  Foto: Greenpeace

Exit mobile version