Mongabay.co.id

Resahnya Petani Kopi Lampung Terhadap Perubahan Iklim

Biji kopi arabika yang merah dipetik dari pohonnya. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

 

Petani kopi di Pekon Sedayu, Kecamatan Semaka, Kabupaten Tanggamus, Provinsi Lampung mulai merasakan dampak perubahan iklim.

Rendy Hassarudin menuturkan, cuaca tidak menentu dan curah hujan yang tinggi menyebabkan hasil panennya menurun. Selain kopi, dia juga menanam tanaman multi purpose tree species (MPTS) untuk menambah penghasilan. Tanaman yang dimaksud adalah durian, pala, jengkol, petai, dan alpukat.

“Beberapa tahun lalu dengan perawatan seadanya, hasil penen kopi menjanjikan. Sekarang sangat jauh, untuk mendapatkan satu ton/hektar sangat sulit,” ungkap Rendy yang juga Ketua Gabungan Kelompok Tani Hutan [Gapoktanhut] Lestari Sejahtera, pertengahan Desember 2021.

Gapoktanhut Lestari Sejahtera menggarap Kawasan Register 31 Pematang Arahan, melalui skema perhutanan sosial. Mereka memiliki izin kelola sejak Desember 2019, untuk mengelola lahan sekaligus menjaga kelestarian alam.

Hal serupa dirasakan Sutrisno. Dia menggarap lahan 1,8 hektar untuk tanaman kopi dan campuran  MPTS. Untuk kopi, biasanya didapatkan hasil 1,5 hingga 2 ton, tetapi tahun ini hanya 800 kg. Salah satu sebabnya, hama penyakit yang makin beragam menyerang seperti hama penggerek buah, penggerek batang, kerat daun, juga kutu dompolan.

“Belakangan ini cuaca tiba-tiba hujan dan panas. Buah kopi yang kecil rontok karena hujan dan angin,” terangnya saat penutupan sekolah lapangan petani kopi di Pekon Sedayu, Rabu [14/12/2021].

Baca: Perubahan Iklim Ancam Masa Depan Kopi Indonesia

 

Biji kopi arabika yang merah dipetik dari pohonnya. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Sugriwo, petani sekaligus Ketua Kelompok Tani Hutan [KTH] Mancingan Atas, punya cara sendiri mengantisipasi menurunnya produktivitas kopi, akibat cuaca tidak menentu. Menurutnya, pengelolaan tanah harus benar agar hasil maksimal.

“Tanaman apapun kalau proses pengolahan tanahnya benar, hasil akan bagus,” kata dia

Caranya, dengan membuat rorak di antara empat pohon kopi yang berfungsi untuk menyimpan air, menyediakan unsur hara, dan membuat kompos alami. Rorak merupakan lubang-lubang buntu yang dibuat sejajar kontur bidang olah. Setiap rorak, diameter dan kedalamannya sekitar 50 cm.

“Bila ada buah kurang bagus atau bekas pemangkasan ranting, dibuang ke lubang itu,” katanya.

Mariman, Pendamping Program Sekolah Lapang Pekon Sedayu mengungkapkan, sekolah lapang dan budidaya kopi merupakan medium untuk membicarakan perubahan iklim. Perlu jalan tengah antara budidaya dengan kelestarian hutan melalui sistem agroforestri.

“Bicara perhutanan sosial adalah bagaimana caranya menghasilkan karbon yang cukup melalui pohon bertajuk tinggi. Naungan ini mengurangi laju air hujan sehingga menurunkan peluang gugurnya bunga kopi. Di musim kemarau, berfungsi menyimpan cadangan air dan menjaga kelembaban suhu,” ujarnya.

Ahmad Erfan, Ketua HKm Mitra Wana Lestarai Sejahtera dari Lampung Barat, dalam buku “Lampung dan Masa Depan Sumatera” terbitan Mongabay Indonesia [Juli, 2021] mengungkapkan, pohon tajuk tidak bisa sembarang. Harus pohon yang tidak berebut unsur hara, terutama tanaman legum seperti sengon, gamal, dan lamtoro.

“Akarnya mengikat nitrogen, membantu menyuburkan tanah,” terangnya.

Baca: Kopi Indonesia, Bukan Hanya untuk Dunia tapi juga Benteng Konservasi

 

Biji kopi arabika dijemur hingga kering. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Lampung Yayan Ruchyansyah, menuturkan perhutanan sosial bertujuan memberikan akses bagi masyarakat yang telajur menggarap kawasan hutan. Legalitas bagi masyarakat di sekitar kawasan, guna mempermudah pembinaan.

“Hubungan menjadi dekat dan mudah memberikan masukan terkait teknis budidaya tanaman,” ujarnya, Jumat [17/12/2021].

Menurut dia, konsep pelestarian bertujuan untuk mengembalikan fungsi hutan, tetapi tidak melupakan sisi ekonomi bagi masyarakat. “Bila tanaman bisa dipanen artinya kondisi hutannya pasti sudah bagus. Tajuknya sudah melebar dan bukan hanya satu komoditi,” terangnya.

Baca: Petani Kopi Itu Penjaga Lingkungan dan Intelektualitas

 

Kopi menjadi andalan masyarakat di Pekon Sedayu, Kecamatan Semaka, Kabupaten Tanggamus, Provinsi Lampung. Foto: Chairul Rahman/Mongabay Indonesia

 

Pertanian cerdas iklim

Berdasarkan data citra satelit yang diamati Rainforest Aliance, suhu permukaan di KPH Kotaagung Utara mengalami peningkatan. Pada Januari 2001 sebesar 15.697 °C, sementara di Januari 2019 mencapai 26.888° C. Untuk curah hujan, berfluktuasi. Terendah di tahun 2015 yaitu 2,042 mm/tahun dan tertinggi pada 2010, 2013, dan 2016 yang berkisar antara 3,400-3,700 mm/tahun.

Intan Diani Fardinanti, Coffee Team Manager Indonesia dari Rainforest Alliance, menerangkan petani kopi mulai merasakan dampak perubahan iklim. Menurut penelitian yang ia kutip, curah hujan yang sesuai untuk kopi adalah 1.500 – 2.500 mm/tahun dengan rata-rata bulan kering 1-3 bulan dan suhu rata-rata 15-25 °C. Perubahan iklim juga diperparah dengan tidak banyak perlakuan yang dilakukan petani terhadap lahannya.

“Tanaman kopi itu seperti tanaman lain yang membutuhkan air. Karena tidak diberikan, kopi bergantung air hujan, sehingga kebutuhan itu tidak bisa terpenuhi,” kata dia, Jumat [17/12/2021].

Baca: Menjaga Keindahan Rafflesia dengan Ekowisata, Seperti Apa?

 

Begini penampakan biji kopi yang terserang hama penggerek buah. Foto: Chairul Rahman/Mongabay Indonesia

 

Menurut Intan, perlu dilakukan metode pertanian kopi berkelanjutan guna mengatasi tantangan iklim, yaitu pertanian cerdas iklim. Ada tiga pilar diperlukan. Pertama, meningkatkan produktivitas petani yang berkorelasi dengan mata pencaharian. Caranya dengan pemangkasan dan mengenali hama penyakit kopi.

“Cabang produksi harus dijaga, ketika tidak produktif atau terserang hama harus dibuang. Supaya bisa regenerasi. Kalau pohon kopi terlalu tua, perlu dilakukan peremajaan.”

Menurutnya, harus ada manajemen tanah dengan menjaga mikroorganisme guna menjaga kesuburan. Pada lahan miring, dibuat terasering untuk mengurangi limpasan permukaan tanah oleh air.

“Manfaatnya untuk mempertahankan soil organic metter,” katanya.

Kedua, membuat pertanian yang lebih tahan terhadap dampak perubahan iklim sekarang dan akan datang. Caranya, mengamati varietas kopi paling cocok dengan cuaca yang berubah dan mempertahankan kesuburan tanah walau tanpa pupuk kimia.

Ketiga, mengurangi emisi gas rumah kaca.

“Tentunya dengan tidak melakukan deforestasi lebih jauh di area kelola mereka,” paparnya.

 

 

Exit mobile version