Mongabay.co.id

Harimau Masuk Perkampungan di Agam, Kekurangan Satwa Mangsa di Hutan?

Sri Nabilla, di kandang menuju translokasi. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Awal tahun sudah ada kabar konflik harimau dan manusia. Di Agam, Sumatera Barat, satu harimau keluar hutan, masuk perkampungan hingga menyebabkan, warga takut beraktivitas ke kebun. Harimau juga memangsa beberapa sapi warga. Akhirnya, harimau masuk kandang jebak Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumatera Barat di perkebunan sawit, Jorong Kayu Pasak Timur, Nagari Salareh Aie, Kecamatan Palembayan, Agam, 10 Januari lalu.

Ardi Andono, Kepala BKSDA Sumatera Barat, mengatakan, pemasangan kandang jebak merupakan upaya terakhir untuk menghindari kerugian warga lebih besar dan jatuh korban jiwa termasuk keselamatan harimau.

Kandang jebak dipasang setelah 41 hari harimau betina yang diperkirakan berumur tiga tahun ini tak berhasil digiring masuk hutan.

Harimau betina ini mulai muncul dan menampakkan diri sejak 30 November lalu. Data BKSDA Sumbar menyebutkan, sejak awal Desember 2021 sudah empat sapi warga dimangsa harimau.

Pada 1 Desember 2021, sapi Rano dimangsa harimau. Warga lapor BKSDA. Usai mendapat laporan, petugas BKSDA Sumbar melalui Resor Agam langsung turun mengidentifikasi jejak kaki, cakaran dan kotoran harimau. Setelah itu, tim memutuskan memasang kamera trap di lokasi serangan.

Pada 6 Desember, harimau kembali mengejar lima sapi milik Doni Mawardi dan Zara. Tim Resor Agam kembali ke lokasi. Tim bersama masyarakat menemukan jejak kaki harimau dengan ukuran 8-9 sentimeter. Ukuran jejak kaki ini sama dengan jejak harimau pemangsa sapi Rano.

Singkat cerita, baru 10 Januari 2022, harimau yang berulang kali berkeliaran di permukiman warga itu masuk ke kandang jebak.

Harimau ini diberi nama Nama Puti Maua Agam, hasil kesepakatan dengan tokoh adat setempat. Iron Maria Edi, Wali Nagari Salareh Aia mengatakan, ada sejumlah nama diusulkan warga seperti, malanca, buma dan lain-lain hingga akhirnya terpilih nama Puti Maua.

Puti dari bahasa Minangkabau berarti perempuan karena harimau berkelamin betina. Maua, merupakan lokasi penangkapan harimau.

Puti Maua Agam, menambah panjang daftar harimau yang berkonflik dengan warga di Sumbar. Data BKSDA menunjukkan, sejak Januari 2021 sudah 16 harimau Sumatera masuk kebun atau pemukiman warga. Translokasi harimau Puti jadi kasus pertama di tahun 2022.

 

***

Kini, Poti ada di Pusat Rehabilitasi Harimau Sumatera Dharmasraya (PRHSD) Yayasan Arsari. Puti terlebih dahulu menjalani perawatan di PR-HSD Arsari selama 14 hari.

Dokter hewan Daniel Sianipar, tim medis yang ikut evakuasi sekaligus perawatan harimau Puti mengatakan, kondisi harimau terpantau stabil meski menempuh perjalanan cukup melelahkan selama 14 jam.

“Observasi awal ia mengalami dehidrasi dan luka superficial pada kulit. Selanjutnya akan pemeriksaan medis keseluruhan untuk mengetahui keadaan lebih detail, ” katanya.


Meski sehat, Puti tetap menjalani masa karantina 14 hari. Karantina untuk observasi kesehatan dan mengamati perilaku. Kedatangan Puti menambah harimau yang sedang menjalani perawatan di lokasi itu.

Saat ini, PRHSD Arsari sudah menyelamatkan 14 harimau, enam sudah lepas liar. PRHSD Arsari juga rehabilitasi dan observasi bio-diversitas lain seperti beruang, rusa, elang dan berbagai satwa lain.

 

Konflik terus terjadi

Wilson Novarino, dosen Biologi dari Universitas Andalas mengatakan, konflik antara manusia dan harimau sudah tercatat di Sumbar hampir setengah abad lalu (sejak 1970-an). Rentang 1978-1997, menurut penelitian Nyhus & Tilson (2004), Sumbar merupakan provinsi dengan pemberitaan kasus konflik manusia dengan harimau tertinggi.

“Dengan kasus kejadian di Maua Agam, Januari 2022, dan beberapa kasus lain seperti di Padang Pariaman, Pasaman, Solok, Padang beberapa waktu lalu, menunjukkan konflik manusia dengan harimau kejadian berulang,” katanya.

Dengan rentang waktu kejadian sangat panjang (50 tahun), lokasi tersebar, pola spasial–tutupan hutan, jarak dari pemukiman dan peladangan–berbeda, serta bentuk aktivitas masyarakat beragam, katanya, pemetaan dan pendugaan penyebab konflik mesti sangat hati-hati.

Ada harimau melintasi areal pertanian, perkebunan dan lansekap yang didominasi manusia, dia asumsikan sebagai aktivitas mereka berpindah dari satu area hutan kepada areal berhutan lain.

“Harimau jantan muda, mereka butuh ‘merantau’ sebelum menemukan daerah kekuasaan. Secara teoritis, jantan muda paling besar potensi berkonflik dengan manusia.”

Pada kenyataan, berdasarkan data harimau masuk rehabilitasi sebagian besar berkelamin betina muda. Harimau betina, katanya, relatif lebih menetap dibandingkan jantan. Jadi, dia asumsikan konflik terjadi bukan karena perpindahan, namun ada gangguan habitat atau dalam arti mereka terusik aktivitas manusia.

“Yang perlu kita kembangkan adalah pola aktivitas manusia ramah satwa liar. Jika terpaksa buka lahan mestinya bisa dengan tetap menyisakan hutan sebagai daerah habitat satwa liar. Pertanian sudah saatnya lebih ditekankan intensifikasi lahan budidaya dibandingkan ekstensifikasi.”

Sunarto, Research Associate Institute for Sustainable Earth & Resources (I-SER), Universitas Indonesia, menyebut, secara umum ada tiga faktor yang biasa menyebabkan interaksi negatif atau biasa disebut konflik antara satwa (harimau) dan manusia. Pertama, faktor satwa (harimau) itu sendiri, kedua, habitat termasuk ketersediaan mangsa. Ketiga, faktor manusia, terutama terkait aktivititas mereka seperti dalam praktik beternak dan bertani.

Dia berharap, penanganan konflik tak sebatas penangkapan dan pelepasliaran. Beberapa upaya lain sangat amat penting dilakukan antara lain, pertama soal penyebaran penyakit hingga perlu peningkatan pemantauan, pencegahan dan penanganan. Kedua, terkait masyarakat, perlu dialog untuk meningkatkan pemahaman tentang konservasi dan perilaku harimau sekaligus menggali dan menguatkan kearifan tradisi dalam menjaga satwa dan alam. Perlu menguatkan pengetahuan masyarakat dalam mencegah atau menangani interaksi negatif dengan satwaliar seperti harimau.

Ketiga, terkait habitat dan pergerakan harimau, perlu dipelajari kebutuhan habitat, jalur jelajah dan pola penggunaan ruang oleh harimau. Informasi ini, katanya, sebaiknya digunakan untuk menyesuaikan bentuk, lokasi dan waktu aktivitias manusia agar interaksi negatif antara manusia dan harimau dapat dihindari.

 

Puti, di pusat rehabilitasi Dharmawangsa. Puti, harimau di Agam, yang masuk perkampungan dan memangsa sapi warga. Konflik harimau dan manusia terus terjadi, Kini, Puti menjalani masa observasi selama 14 hari sebelum lepas liar. Foto: BKSDA

 

Babi mati massal jadi penyebab?

BKSDA Sumbar, dalam rilis kepada media menyebut, penyebab harimau ini turun dari Cagar Alam Maninjau karena kekurangan pakan. Babi di hutan Agam terserang penyakit African Swine Fever (ASF) hingga menyebabkan kematian massal satwa mangsa ini sekitar 50 ekor.

Wilson bilang, kemungkinan ini bisa terjadi. Dia bilang, ASF sudah tercatat di Tapanalui Utara, Sumut sejak Oktober 2019. Laporan babi mati dalam jumlah besar juga dilaporkan juga di Ogan Komering Ulu (Sumsel) Maret 2021, Seblat (Bengkulu) pada September 2021.

Kemudian, Berbak Sembilang Jambi, babi mati 62 ekor pada Oktober 2021 dan Tanggamus di Lampung pada Januari 2022.

“Secara informal kasus kematian babi dalam jumlah banyak di Sumbar juga terjadi di Pasaman, Sijunjung, Solok Selatan, Dharmasraya.”

Meskipun pada daerah itu juga merupakan habitat harimau, tetapi dari daerah-daerah itu tak semua ada laporan kejadian konflik. Jadi, katanya, perlu kehati-hatian dalam mengidentifikasi penyebab konflik di Agam karena penyebab tunggal ASF.

ASF, katanya, bisa jadi salah satu faktor, dari berbagai penyebab lain yang memicu konflik.

Senada dengan Sunarto, salah satu penyebab konflik mungkin kekurangan mangsa khusus babi hutan karena ASF. “Itu bisa saja terjadi, namun saya belum melihat kajian yang memang dapat memastikan sebagai sebab-akibat utama. Saya berharap ini dapat dikaji lebih mendalam.”

Merebaknya ASF, katanya, memang mengkhawatirkan dan dapat berdampak langsung maupun tak langsung pada satwa serta ekosistem termasuk kehidupan manusia. Bisa jadi, katanya, bukan hanya harimau yang mengalami masalah karena babi hutan berkurang. Babi hutan,   juga memiliki peran sebagai ecosystem engineer bagi tumbuhan dan satwa lain.

 

 

*******

Foto utama: Konflik harimau dan manusia terus terjadi, teranyar di Agam, Sumatera Barat. Setelah 41 hari harimau berkeliaran di perkampungan, BKSDA pun pasang kandang jerat untuk mengevakuasi harimau. Harimau masuk jerat 10 Januari 2022 dan jalani rehabilitasi sebelum lepas liar. Foto ilustrasi: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

Exit mobile version