- Maret 2022 dijanjikan akan menjadi momen perdana penerapan kebijakan penangkapan ikan secara terukur di Indonesia. Waktu tersebut dijanjikan, karena Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) masih harus menyelesaikan pembuatan regulasi yang akan melindungi kebijakan subsektor perikanan tangkap itu
- Selain penangkapan ikan secara terukur yang dilaksanakan dengan sistem kontrak, KKP juga akan memulai penerapan penarikan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dengan sistem pascaproduksi. Penerapan tersebut diyakini lebih baik dibandingkan sebelumnya dengan praproduksi
- Khusus untuk penerapan terukur dengan menggunakan sistem kontrak dan kuota tangkapan, KKP akan melaksanakan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI) 718 yang mencakup Laut Arafuru dan Laut Timor bagian Timur
- Sementara, penerapan penarikan PNPB dengan sistem pascaproduksi akan mulai dilakukan bersamaan pada Maret di Laut Jawa dan Laut Sulawesi, serta Selat Malaka. Sistem tersebut dijanjikan lebih baik, dan tidak akan ada kecurangan dalam bentuk apapun
Pelaksanaan kebijakan penangkapan ikan secara terukur masih terkendala oleh regulasi yang mengatur tentang hal tersebut. Ada dua regulasi yang sedang disiapkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dan ditargetkan bisa selesai pada Februari mendatang.
Keduanya akan berbentuk Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) dan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan (Kepmen KP). Dengan waktu yang tersisa sekarang, penyusunan regulasi diharapkan bisa mencakup semua hal yang berkaitan.
Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Perizinan dan Kenelayanan Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap KKP Mochmad Idnillah mengatakan, jika pembuatan regulasi bisa tepat waktu, maka kebijakan akan mulai diterapkan pada Maret mendatang.
Untuk tahap awal, tidak semua Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI) akan melaksanakan kebijakan penangkapan ikan secara terukur. Melainkan, hanya di dua zona saja yang akan dilaksanakan, dari total enam zona yang ditetapkan.
Keduanya, yaitu zona 5 yang mencakup Laut Jawa dan Laut Sulawesi yang ditetapkan untuk menjadi lokasi percontohan kegiatan pengumpulan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dengan sistem pascaproduksi. Sistem tersebut diyakini bisa memperbaiki sistem praproduksi yang dilaksanakan sejak lama.
Kemudian, zona 3 yang mencakup WPPNRI 718 dan meliputi perairan Laut Arafuru dan Laut Timor bagian Timur, direncanakan akan menjadi lokasi percontohan untuk penerapan penangkapan ikan secara terukur dengan menggunakan sistem kontrak.
baca : Penangkapan Terukur, Masa Depan Perikanan Nusantara
Mochmad Idnillah menjelaskan, sistem kontrak akan diberlakukan kepada seluruh pelaku usaha yang mengajukan perizinan untuk bisa menangkap ikan di Laut Arafura. Sebelum diberikan perizinan, mereka semua akan terlibat dalam seleksi berupa administrasi, keuangan, dan juga kelayakan kapal.
“Kita akan berlakukan beauty contest untuk menyaring para pelaku usaha yang bisa mendapatkan kuota menangkap ikan di Laut Arafura,” jelas dia seusai kegiatan Bincang Bahari yang digelar di Jakarta, Kamis (20/1/2022).
Mengingat Laut Arafura dan WPPNRI 718 secara keseluruhan berlokasi di zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia, maka kapal perikanan yang akan diberikan perizinan untuk menangkap ikan adalah kapal yang ukurannya besar atau sekitar 100 gros ton (GT).
Pengaturan kapal tersebut akan dilakukan saat proses seleksi dilaksanakan dan prioritas perizinan akan diberikan kepada kapal perikanan yang dimiliki para pelaku usaha lokal. Semua kapal yang akan dioperasikan, tidak harus dibuat di dalam negeri, namun bisa juga di luar negeri.
Menurut dia, karena ada kebebasan untuk menggunakan kapal buatan mana, maka diprediksi akan terjadi kenaikan investasi, di mana akan banyak permintaan pembuatan kapal untuk di dalam dan luar negeri.
“Dibuka PMA (penanaman modal asing) dan PMDN (penanaman modal dalam negeri),” jelas dia.
Selain para pelaku usaha yang baru mengajukan perizinan, zona penangkapan ikan secara terukur juga terbuka bagi para pelaku usaha yang sudah memiliki izin untuk menangkap ikan di zona yang dimaksud. Jika kondisi itu dialami pelaku usaha, maka mereka dibolehkan untuk melakukan migrasi sesuai dengan kontrak yang sudah disepakati dengan KKP.
Mochamad Idnillah memperkirakan akan ada tambahan PNBP senilai Rp3-4 triliun pada 2022 ini. Namun, prediksi tersebut bisa terpenuhi jika semua zona sudah menerapkan kebijakan penangkapan terukur dengan sistem kontrak dan penarikan PNBP dengan sistem pascaproduksi.
baca juga : Pengawasan Terintegrasi untuk Penangkapan Ikan Terukur Mulai Awal 2022
Khusus untuk penangkapan ikan terukur dengan sistem kontrak, akan diberlakukan di empat zona yang mencakup WPPNRI 711 (perairan Selat Karimata, Laut Natuna, dan Laut Natuna Utara), 717 (perairan Teluk Cendrawasih dan Samudera Pasifik), dan 715 (perairan Teluk Tomini, Laut Maluku, Laut Halmahera, Laut Seram, dan Teluk Berau).
Kemudian, WPPNRI 718 (meliputi perairan Laut Aru, Laut Arafuru, dan Laut Timor bagian Timur), 571 (perairan Selat Malaka dan Laut Andaman), dan 572 (perairan Samudera Hindia sebelah Barat Sumatera dan Selat Sunda).
Kebijakan dengan menetapkan kuota tangkapan tersebut, diyakini akan bisa menyeimbangkan kegiatan ekonomi dengan ekologi. Hal itu, karena dalam praktik perikanan tersebut ada pengaturan ekologi yang dilakukan melalui sumber daya ikan (SDI) di setiap zona penangkapan.
“Saat eksploitasi SDI terjadi, maka sudah bisa dikontrol terkait hasilnya,” terang dia.
Pendaratan Ikan
Selain perizinan dan kuota penangkapan, para pelaku usaha juga harus mematuhi aturan saat kebijakan tersebut diterapkan nanti. Aturan yang dimaksud, tidak lain adalah kewajiban untuk mendaratkan ikan hasil tangkap di pelabuhan perikanan terdekat yang ada di kawasan zona penangkapan.
Jika ternyata pelaku usaha memilih untuk tidak mendaratkan ikan di pelabuhan di dalam zona penangkapan, maka pilihan yang bisa diambil adalah dengan mengirimkan ke pelabuhan yang dituju dengan menggunakan kapal ikan angkut.
Sebagai lokasi percontohan, Laut Arafura akan mendapat pengawasan ekstra ketat di awal masa penerapan kebijakan penangkapan ikan secara terukur. Lokasi tersebut dipilih, karena selama ini menjadi favoritt bagi kapal-kapal berukuran besar untuk menangkap ikan.
Dia menerangkan, potensi SDI yang bisa dikelola di perairan laut tersebut besarnya mencapai 1,4 juta ton dengan potensi investasi diperkirakan mencapai nilai Rp35,18 triliun. Besarnya potensi ekonomi tersebut, menegaskan bahwa eksploitasi bisa terjadi kapan saja.
Untuk itu, dengan penangkapan secara terukur, diharapkan eksploitasi tidak terjadi dan SDI bisa dikendalikan dengan baik untuk kepentingan ekonomi secara nasional. Juga, untuk kepentingan pertumbuhan ekonomi lokal di sekitar zona penangkapan.
“Kita inginnya nelayan atau pelaku usaha bisa bergabung menjadi badan usaha yang besar. Jadi, sama-sama berkembang dengan kebijakan yang baru ini,” sebut dia.
baca juga : Menjaga Laut Arafura dan Timor Tetap Lestari dan Berkelanjutan
Adapun, untuk kuota tangkapan yang akan diberikan kepada pelaku usaha, jumlahnya minimal mencapai 100 ribu ton atau bisa digunakan oleh kapal perikanan dengan jumlah sekitar 100-200 unit. Dia berjanji kalau pemberian kuota tidak dijamin tidak akan disalahgunakan oleh para pelaku usaha.
Penetapan kuota tangkapan ikan sendiri, dilakukan KKP dengan merujuk pada hasil kajian stok ikan terbaru yang sudah dilaksanakan oleh Komisi Nasional Pengkajian Stok Ikan (Komnas Kajiskan). Kebijakan tersebut yang melibatkan ilmu pengetahuan itu, diharapkan bisa menjaga keseimbangan antara kesehatan laut dan pertumbuhan ekonomi.
Khusus untuk penarikan PNBP pascaproduksi, KKP akan melakukan uji coba penerapan di Pelabuhan Perikanan Samudera Cilacap (Jawa Tengah) dan Pelabuhan Perikanan Nusantara Kejawanan, Cirebon (Jawa Barat). Dengan demikian, rencana menerapkan penarikan PNBP bidang perikanan tangkap seutuhnya pada 2023 diharapkan akan berjalan lancar.
Untuk tahun ini, penarikan PNBP dengan sistem pascaproduksi akan diberlakukan di zona 5 dan 6 yang mencakup Laut Jawa dan Laut Sulawesi, serta Selat Malaka. Kebijakan tersebut akan dilakukan dengan pengawasan ekstra ketat agar tidak kecurangan ataupun bentuk tidak terpuji lainnya.
Direktur Usaha dan Investasi Direktorat Jenderal Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan KKP Catur Sarwanto pada kesempatan yang sama menjelaskan bahwa kebijakan yang akan dimulai pada Maret mendatang itu memang sudah menarik minat para investor, baik di dalam maupun luar negeri.
“Beberapa sudah mulai menunjukkan minat. Tentunya kita perlu memberikan informasi,” ucap dia.
Sebelum menyambut para calon investor, KKP akan memastikan bahwa regulasi yang dibutuhkan sudah selesai dan tidak ada kendala. Dengan kata lain, akan dilakukan sinkronisasi lebih dulu berkaitan dengan regulasi yang akan diberlakukan nanti.
Melihat capaian investasi pada 2021, investasi yang paling diminati pada sektor kelautan dan perikanan, adalah pada perikanan budi daya, perikanan tangkap, dan pengolahan. Adapun, investor paling banyak berasal dari Singapura dan Cina.
Adapun, prognosa investasi bidang kelautan dan perikanan pada 2021 nilainya mencapai Rp6,02 triliun, di mana investasi terbesar ada di perikanan budi daya sebanyak 30 persen, disusul pengolahan 27 persen, lalu perikanan tangkap, dan perdagangan.
Keuntungan lain dari penerapan kebijakan penangkapan secara terukur, menurut Catur Sarwanto adalah akan terciptanya pemerataan pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Selama ini, pertumbuhan selalu berfokus di pulau Jawa saja.
baca juga : Penangkapan Terukur dan Penerapan Kuota Apakah Layak Diterapkan?
Salah satu perusahaan rintisan (start up) yang fokus pada usaha perikanan, eFishery, menjadi salah satu pelaku usaha yang berani memanfaatkan potensi dengan melibatkan inovasi dan teknologi. Upaya tersebut, dinilai akan membawa perikanan dari usaha tradisional ke ranah modern.
CEO eFishery Gibran Huztaifah bahkan mengakui besarnya potensi investasi kelautan dan perikanan di Indonesia. Hal ini merujuk pada tingginya minat pasar global atas produk perikanan, ketersediaan lahan untuk budi daya dan kekayaan sumber daya ikan, hingga sudah tersedianya inovasi teknologi untuk mendukung peningkatan volume dan kualitas produk yang dihasilkan.
Dia menilai upaya KKP untuk melakukan revitalisasi tambak udang tradisional seluas 45.000 hektare menjadi modern adalah langkah sangat tepat. Dengan demikian, volume produksi bisa bertambah dan kelestarian lingkungan tetap bisa terjaga.
“Kalau kita ngomongin budi daya, Indonesia ini paling besar. Sayangnya prosesnya selama ini tidak dikelola secara profesional,” pungkasnya.