Mongabay.co.id

Ekowisata Mangrove di Kepulauan Riau, Upaya Jaga Hutan Bermanfaat Ekonomi bagi Masyarakat

 

 

 

 

Puluhan orang yang ikut fine bike Asosiasi Travel Agent Indonesia (Astindo) Kepulauan Riau (Kepri) duduk santai di pondok kayu di kawasan ekowisata mangrove Pandang Tak Jemu, Kecamatan Nongsa, Kota Batam, Kepri, belum lama ini. Mereka melepas penat sambil menyeruput kelapa muda.

Ekowisata ini dikelola masyarakat Pandang Tak Jemu. Mereka meyakini ekowisata itu lebih mensejahterakan masyarakat sekitar tanpa campur tangan investor.

Selain menyediakan kelapa muda, masyarakat juga menjual oleh-oleh, mulai kerajinan hingga makanan khas Melayu. Seluruh produk ini bikinan warga sekitar lokasi wisata di Kecamatan Nongsa, Kota Batam.

“Begitu juga untuk kesenian tari, setiap ada acara kita tampilkan tari Melayu, penari dari anak-anak sini juga,” kata Gerry, pengelola Ekowisata Mangrove Pandang Tak Jemu kepada Mongabay, baru-baru ini.

Pria asli Nongsa ini mengatakan, mangrove Pandang Tak Jemu ada sejak ratusan tahun lalu dengan akar pohon besar. “Tugas kita yang paling berat, menjaga mangrove tetap utuh seperti ditinggalkan nenek moyang,” katanya.

Konsep ekowisata mereka adalah edukasi, konservasi serta meningkatkan ekonomi masyarakat lokal. Ekowisata mangrove, katanya, sebaiknya dikelola murni masyarakat lokal tanpa melibatkan investor.

Ketika ekowisata mangrove melibatkan badan usaha swasta akan mengurangi porsi masyarakat sekitar. “Di sini semua masyarakat dari penanaman, pengelolaan hingga penjagaan,” kata Gerry.

 

 

Dia berharap, pemerintah memberikan bantuan yang betul-betul berbasis masyarakat. “Mangrove adalah rumah kami, disini alhamdulillah, masyarakat memiliki pengetahuan kuat untuk tetap merawat mangrove.”

Di Kepri, ekowisata mangrove tak hanya di Batam. Ada juga di Bintan. Iwan Winarto, pengelola Desa Wisata Mangrove Pengudang, Bintan, aktif merawat ekosistem pesisir termasuk mangrove berbasis masyarakat.

“Karena banyak desa wisata disini menggunakan modal investor, kita berharap ini tetap berbasis masyarakat,” katanya belum lama ini.

Iwan juga pernah ditawari oleh pemodal untuk mengelola wisata mangrove Pengudang itu. Dia menolak dan tetap mempertahankan berbasis masyarakat. “Seluruh kebutuhan wisata disini masyarakat yang sediakan,” katanya.

 

Baca juga : Hutan Mangrove Maluku Utara Kian Terdesak

Wisatawan berswafoto di ekowisata mangrove Pandang Tak Jemu. Foto: Yogi ES? Mongabay Indonesia

 

Berbasis masyarakat

Muhammad Yusuf, Kepala Kelompok Kerja Partisipasi dan Kemitraan Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) mengatakan, inti ekowisata mangrove adalah partisipasi aktif masyarakat.

Selain berbasis masyarakat, ekowisata juga harus memberikan sumbangan positif terhadap pembangunan ekonomi daerah, pemanfaatan lingkungan sebagai perlindungan, memiliki muatan pendidikan dan rekreasi.

Beberapa kriteria ekowisata terdiri dari konservasi melindungi lingkungan untuk kegiatan pariwisata, menyajikan produk layak pasar (pendidikan, pembelajaran, rekreasi) dari nilai karakteristik (alam dan budaya) setempat.

“Mengikutsertakan aktif masyarakat dalam kegiatan  pariwisata juga termasuk kriteria ekowisata,” katanya dalam materi “Rencana Pembangunan Kawasan Ekowisata Mangrove Berbasis Masyarakat, belum lama ini.

Yusuf menyebutkan, berbagai strategi pengembangan ekowisata terpadu berkelanjutan, perlu dukungan masyarakat melalui tahapan proses persiapan di tingkat lokal, dan pembinaan kemampuan masyarakat.

“Harus juga diperhatikan distribusi manfaat finansial dan non finansial ke masyarakat secara adil dan merata, kemudian keanekaragaman hayati.”

Hampir semua kabupaten dan kota di Kepri memiliki potensi ekowisata mangrove, seperti di Tanjungpinang, Bintan hingga Batam, tetapi hutan mangrove juga terancam penebangan buat arang bakau, ataupun penimbunan untuk kepentingan ‘pembangunan.’

Salah satu kondisi hutan mangrove di Tanjungpinang. Agung Suryahatta, Bidang Perencanaan Pembangunan Penelitian dan Pengembangan Daerah Kota Tanjungpinang mengatakan, peta penggunaan lahan 2019 skala 1:500 luas mangrove di Tanjungpinang 1.426,29 hektar atau hampir 10% dari luas kabupaten itu.

Kondisi mangrove di Tanjungpinang, bervariasi dari kerapatan tinggi hingga sangat rendah.

Dalam rencana pembangunan jangka menengah daerah Tanjungpinang, hutan mangrove akan jadi potensi alam sebagai atraksi wisata baru berkelanjutan. Saat ini, di sana memiliki berbagai obyek wisata mangrove seperti Panglima Bulang di Kampung Bulang, Kampung Ikan Medong, dan wisata mangrove proklim di Kampung Bugis.

Beberapa peneliti menemukan ancaman mangrove di Kepulauan Riau. Seperti penelitian Pusat Penelitian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Universitas Maritim Raja Ali Haji Tanjungpinang, Dony Apdillah.

 

Baca juga : Situs Mangrove Bangko Tappampang Takalar Terancam Industri Arang

Ekowisata mangrove Pandang Tak Jemu, di Kota Batam, salah satu titik hutan mangrove yang masih terjaga di Kepulauan Riau. Masyarakat menjaga hutan mangrove dan hasilkan manfaat ekonomi. Foto: Yogi ES?Mongabay Indonesia

 

Dony meneliti selama tiga bulan di Pulau Bintan dan memperlihatkan, tutupan mangrove berkurang karena beberapa faktor seperti pemekaran wilayah, penambangan bauksit dan ekspansi perkebunan.

Meskipun di beberapa wilayah pesisir mengalami penurunan, di beberapa tempat juga terdapat tutupan mangrove yang masih stabil, seperti daerah Teluk Sebong. Di kawasan ini, katanya, mangrove dirawat dengan baik.

Dony memperlihatkan data, tutupan mangrove meningkat sejak penghentian tambang bauksit di Bintan. Dalam 2014-2018, luas tutupan hutan mangrove naik, dari 4.815 hektar jadi 8.010 hektar pada 2018.

Tata kelola hutan mangrove juga bermasalah di Bintan. Banyak Doni temukan kawasan mangrove berada di lahan milik perusahaan swasta. “Misal, di Senggarang 53% berada di bawah PT BMW, lahan masyarakat hanya 15$, padahal untuk mengelola mangrove masyarakat harus punya kawasan.”

Untuk itu, katanya, perlu sinergitas antara masyarakat dan perusahaan, seperti di ekowisata mangrove Pengudang, 95% daratan dikuasai perusahaan, tetapi mangrove dikelola masyarakat lokal.

Dony katakan, ekowisata yang tepat berbasis atau memberdayakan masyarakat lokal yang membentuk kelompok-kelompok kecil. Pengelolaan ekowisata kolaborasi dengan pemerintah, perguruan tinggi, pengusaha, dan media juga baik. “Yang jadi masalah, semua jalan, tetapi jalan sendiri.”

Ada lagi penelitian Universitas Gadjah Mada (UGM) menemukan ancaman serius mangrove untuk jadi arang di Kota Batam. “Penelitian berpusat di Kecamatan Galang, dan Belakang Padang,” kata Eny Faridah dari Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM dalam acara itu.

“Tantangan kelestarian hutan mangrove adalah deforestasi dan degradasi antara lain, penebangan melebihi kapasitas pemulihan.”

Eny melihat ekosistem mangrove di Batam belum rusak parah, tetapi mengkhawatirkan karena pembangunan dan penduduk meningkat. “Kalau sudah rusak, regenerasi mangrove itu lambat,” katanya

Hendrik, Koordinator Akar Bhumi Indonesia (ABI) mengatakan, pemanfaatan mangrove mesti diawali pelestarian atau memperhatikan ekologi, tak sekadar ekonomi. “Menurut kami, menjaga ekologi jadi syarat utama ekowisata mangrove.”

 

Foto udara penampakan penimbunan mangrove di Tanjungpiayu Kota Batam Provinsi Kepulauan Riau. Penimbunan dilakukan di lahan program RHL KLHK RI sampai saat ini masih berlangsung. Foto : Yogi-Eka Syahputra/Mongabay Indonesia

 

*******

Exit mobile version