Mongabay.co.id

Muro, Kearifan Lokal Lindungi Ikan dan Laut. Seperti Apa?

 

Beberapa anak terlihat sibuk memancing ikan. Tak jauh dari situ, seorang ibu dan  anak perempuannya melakukan hal serupa. Sebuah ember plastik biru dipenuhi ikan tembang. Aktivitas itu ditemui saban hari di pesisir pantai Desa Lamatokan, Kecamatan Ile Ape Timur.

“Wilayah perairan ini dikhususkan bagi para perempuan dan anak-anak untuk memancing ikan dengan alat pancing tradisional,” kata Direktur LSM Barakat, Kabupaten Lembata, NTT, Benediktus Bedil, akhir Desember 2021 lalu.

Ben sapaannya bersemangat bercerita tentang Muro, yang membuat ikan-ikan di perairan Teluk Hadakewa mudah ditangkap warga.

Kabupaten Lembata berada di sebuah pulau diantara 1.190 pulau di NTT. Pulau ini seluas 1.266 km dan berpenduduk 145.685 jiwa. Lembata terdiri dari 9 kecamatan 114 desa, 7 kelurahan dimana 91 desanya ada di pesisir pantai.

Bagi Masyarakat adat Lembata, nilai keragaman hayati di daratan dan laut dilindungi dengan kearifan lokal berupa ritual dan aturan adat yang disebut Muro.

“Dari 114 desa, Barakat sedang memfasilitasi Muro di beberapa desa,” sebut Ben.

Proses untuk menetapkan Muro Laut dimulai dengan kesepakatan bersama masyarakat adat dalam sebuah pertemuan, dilanjutkan dengan sumpah adat di sebuah lokasi yang disebut Namang.

Namang adalah sebuah tempat keramat yang diyakini menjadi tempat pertemuan antara Tanah Langu (leluhur) yang telah meninggal dan Tanah Lolon atau orang yang masih hidup.

Setelah ritual di Namang, dilanjutkan dengan pemasangan Nading, tanda yang bisa dilihat oleh masyarakat setempat bahwa laut dan isinya sedang murung atau tidak boleh diganggu.

“Juga dilakukan penempatan Balela atau tanda batas Muro oleh Kapitan Sari Lewa sebagai pengawas laut,” terangnya.

Setelah proses ini selesai, semua masyarakat desa ikut menjaga wilayah laut tersebut dan mematuhi semua larangan yang ditetapkan.

baca : Menjaga Benteng Terakhir Maluku dengan Tata Kelola Perikanan Berbasis Adat

 

Anak-anak sedang mandi dan menangkap ikan di pesisir pantai Desa Lamatokan, Kecamatan Ile Ape Timur, Kabupaten Lembata, NTT yang masuk kawasan zona penyangga. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Ben katakan, bila kesepakatan adat melalui sumpah adat dilanggar secara sengaja atau tidak sengaja, maka pelaku harus mengakui perbuatannya dan memberi makan Ribu Ratu atau semua masyarakat desa.

Ternak besar seperti kambing dan babi sebagai denda dan juga sebagai upaya pemulihan agar terbebas dari tulah. Jika pelanggaran tidak diakui dan denda tidak dijalankan, malapetaka berupa kesengsaraan dan kematian akan menimpa pelaku dan semua keluarganya.

Ben menyayangkan aturan adat ini berlaku lokal dan tidak mengikat masyarakat atau nelayan dari desa atau wilayah lain.

 “Muro ini dijalankan karena satu kesadaran penting masyarakat asli Lembata bahwa laut dan isinya adalah layanan alam dan tidak disediakan oleh siapapun,” ujarnya.

Karena itu lanjut Ben, harus dikelola untuk kepentingan bersama dalam nuansa persaudaraan dan keadilan sosial agar menunjang ketahanan pangan masyarakat yang dalam istilah lokal disebut Malu Mara Soga Nara.

“Menjaga ekosistem laut juga termasuk dengan melarang penebangan bakau di pesisir pantai karena merupakan habitat ikan, udang dan kepiting berkembangbiak. Juga bisa mencegah erosi,” ungkapnya.

 

 Penetapan Zonasi

Penetapan zonasi juga diterapkan dalam Muro. Terdapat 3 kawasan di Muro laut yang disepakati bersama.

Lokasi pertama, Tahi Tubere atau Jiwa Laut. Lokasi ini sama dengan zona inti. Zona ini menjadi tempat ikan berkembang biak, sehingga ikan tidak boleh diganggu.

Lokasi kedua, Ikan Berewae atau Ikan Perempuan, merupakan zona penyangga. Perempuan dan anak-anak diprioritaskan untuk menangkap ikan di lokasi ini dengan cara dipancing.

Lokasi ketiga, Ikan Ribu Ratu atau ikan untuk umum atau zona pemanfaatan. Lokasi ini akan dibuka dan ditutup sesuai kesepakatan. Ada yang setiap tahun, ada yang tergantung dari kebutuhan umum.

“Ada desa yang Muro-nya yang dibuka 3–5 kali setahun untuk semua masyarakat menangkap beramai-ramai. Hingga saat ini penerapan masih berbeda-beda antara satu desa dengan desa lainnya,” ucap Ben.

Manfaat Muro ada 3 yakni mendukung percepatan pembangunan di kabupaten dan desa, meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan melestarikan lingkungan,

baca juga : Perairan Teluk Hadakewa: Dulu Marak Potas dan Bom Ikan, Sekarang Dilindungi lewat Adat

 

Peta Muro Laut di Kabupaten Lembata, NTT. Foto : LSM Barakat Lembata

 

Ben menyebutkan, bulan  Januari 2017 ketika Barakat didukung oleh CEPF dan Burung Indonesia melalui Program Kemitraan Wallacea untuk perlindungan dan pemanfaatan keanekaragaman hayati secara berkelanjutan di Teluk Hadakewa, saat itu Muro sedang ada di 3 desa sasaran proyek, yaitu Dikesare seluas 15,79 Ha, Lamawolo seluas 1,04 Ha, dan Lamatokan seluas 28,03 ha.

Ia menerangkan melalui program ini, Barakat didampingi Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi NTT, Dinas Perikanan Kabupaten Lembata, dan TNI Angkatan Laut Pos Lembata menetapkan 2 Muro baru di 2 desa.

Di Desa Tapobaran seluas 97,23 ha dan Desa Kolontobo seluas 107,03 ha. Juga memperluas Muro yang sudah dijalankan di 3 desa yakni di Desa Dikesare, Muro Watonohu dan Payong Turu dari 15,79 ha menjadi 92,10 ha.

“Di Desa Lamatokan, Muro Watowara dari 28,03 hektar menjadi 54,36 hektar. Sementara di Desa Lamawolo, Muro Meeting Table dari 1,04 hektar menjadi 11,25 hektar,” paparnya.

Perluasan dan penguatan Muro ini dilakukan melalui FGD bersama nelayan dan masyarakat dan kesepakatan adat bersama para pihak termasuk bupati dan gubernur.

Ben tambahkan, penguatan Muro juga dilaksanakan melalui survey ekologi, survey sosial ekonomi dan sosial budaya, pemetaan partisipatif serta konsultasi publik di tingkat desa, kabupaten,dan provinsi.

Juga lewat kesepakatan SOP pengawasan bersama, melegitimasi pengawas laut, mengadvokasi para sesepuh adat dan pemerintah untuk melegitimasi Muro.

Berbagai strategi pun dijalankan antara lain penyadartahuan, bedah film, bedah hasil survey, konsultasi dan advokasi kebijakan publik.

Muro seluas 358,28 hektar pun disepakati masyarakat di 6 desa untuk dilindungi dan dilegitimasi melalui sumpah adat di Namang,” ucapnya.

Ben bangga, sebab Muro juga dilegatimasi melalui SK Gubernur NTT No.192/KEP/HK/2019 tertanggal 11 Juni 2019 tentang Pencadangan Konservasi Perairan Daerah di Kabupaten Lembata dan Kepmen Menteri KKP No.95/2021 tentang Kawasan Konservasi di Wilayah Lembata.

baca juga : Masa Depan Perikanan Dunia adalah Nelayan Skala Kecil

 

Para perempuan sedang membeli ikan hasil tangkapan nelayan desa mereka di pesisir pantai Lamatokan, Kecamatan Ile Ape Timur, Kabupaten Lembata, NTT. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia.

 

Perbaiki Data

Dekan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Nusa Nipa (Unipa) Maumere, Barnabas Pablo Puente Wini Bhokaleba, kepada Mongabay Indonesia, Kamis (23/12/2021) mengatakan ada banyak cara untuk membatasi upaya penangkapan ikan secara berlebihan termasuk pengurangan alat tangkap, membuka dan menutup areal penangkapan ikan, bantuan subsidi, menerapkan sistem kuota penangkapan dan lainnya.

“Ada banyak cara membatasi upaya penangkapan ikan secara berlebihan dan menjaga kelestarian ekosistem termasuk pembuatan Daerah Perlindungan Laut (DPL) seperti yang dilaksanakan di Lembata dengan sistem Muro,” ucapnya.

Terkait dengan ekonomi biru, Barnabas jelaskan, dalam perikanan  penerapan sampah nol dikedepankan. Tidak meninggalkan sampah atau semua dimanfaatkan.

Ia contohkan, misalnya ikan diproses tapi tulangnya dibuang. Padahal tulangnya bisa dimanfaatkan seperti untuk pakan ternak karena selain bernilai ekomomi, proteinnya pun tinggi.

“Kalau diolah kan bisa memberi dampak lebih bagi masyarakat dan menyerap tenaga kerja,” tegasnya.

Barnabas sesalkan banyak data perikanan yang tidak valid karena tidak berdasarkan pendataan riil di lapangan, seperti produksi ikan yang meningkat padahal tidak ada penangkapan.

“Pembenahan data penting agar kebijakan yang diambil soal perikanan tidak salah,” pesannya.

 

Exit mobile version