Mongabay.co.id

Ketika Banjir Bandang Landa Pasuruan

 

 

 

 

Saat hujan turun deras, 17 Januari lalu, Seger, warga Kedawung Kulon, Kecamatan Grati, Pasuruan, Jawa Timur, berkeliling melihat kondisi kampung. Sebagai anggota Badan Perwakilan Desa (BPD), berkeliling itu biasa dia lakukan untuk melihat-lihat saluran air atau keadaan Kali Rejoso.

“Dari atas tanggul kan bisa dilihat. Air tinggi atau tidak, mengkhawatirkan atau tidak,” katanya ditemui di rumahnya.

Baru sejenak melihat arus Kali Rejoso, tanggul sungai sisi timur yang berbatasan langsung dengan permukiman jebol. Seolah muntah, air bah tumpah ruwah ke lahan pertanian di sebelahnya.

Seger lari tunggang langgang menuju rumah untuk menyelamatkan harta benda. Terlambat. Dia kalah cepat dengan air. Begitu sampai rumah, TV dan kulkas sudah terendam banjir bandang.

Tiga sepeda motor juga tak sempat dibawa ke tempat aman. Semua terendam, menyisakan spion yang bebas dari genangan. “Benar-benar besar dan deras. Belum pernah yang seperti ini.”

Setyo Tuhu, warga lai juga sebut hal serupa. Saat banjir dia tengah bersantai di rumah bersama istrinya, Wiwik.

Mengetahui banjir bandang, dia mendatangi rumah mertuanya tak jauh dari mesjid. “Ibu tinggal bareng cucu. Sudah sepuh (tua), saya langsung angkat, bawa ke lantai dua mesjid,” katanya.

Banjir dampak luapan Kali Rejoso terbilang besar, jelang tengah malam, ketinggian air mencapai leher orang dewasa.

Warga berbondong-bondong mengungsi ke tempat lebih aman.

Supardi, sepuh dusun setempat mengatakan, banjir ini bukanlah yang pertama. Hampir tiap tahun, wilayah dia tinggal dilanda banjir.

Hanya, banjir malam itu paling parah dalam dua dasawarsa terakhir. “Ini paling parah, sampai satu meter lebih. Di sebelah situ malah dua meter lebih, wong di batas kepala airnya.”

Dari pantauan Mongabay, banjir di Pasuruan pekan lalu cukup parah. Tak hanya permukiman, banjir juga menggenangi Jalur Pantura di Kecamatan Rejoso. Pada 19 Januari lalu, jalur yang menghubungkan Surabaya-Banyuwangi sempat ditutup.

 

Warga Pasuruan menyelamatkan diri dan harta benda setelah banjir bandang merendam desa mereka, 17 Januari lalu. Foto: A. Asnawi/ Mongabay Indonesia

 

Langganan

Banjir bukan hal baru di Pasuruan. Data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), sejumlah wilayah di Pasuruan kerap jadi langganan banjir, seperti Kecamatan Gempol, Beji, Bangil, Kraton, Rejoso, Grati, Nguling hingga Winongan.

Pada 2021, banjir bandang terjadi di Gempol hingga menewaskan dua orang. “Bedanya, tahun lalu banjir lebih banyak di barat seperti Gempol, Beji, Bangil dan Kraton. Sekarang di wilayah timur,” kata Ridwan Haris, Kepala BPBD, melalui sambungan seluler, 20 Januari lalu.

Haris tak mengelak banjir kali ini lebih parah. Parameter sederhananya, jalur Pantura di Rejoso selama dua hari tergenang. Tahun-tahun sebelumnya, tidak pernah terjadi.

“Kami belum analisa komprehensif ya. Tetapi, salah satunya juga karena bersamaan dengan momen puncak pasang air laut. Jadi, tanggal-tanggal ini sedang puncak-puncaknya air pasang,” katanya.

Data BPBD, sekitar 5.017 keluarga terdampak banjir lalu, tersebar di belasan desa di enam kecamatan meliputi Desa Sekarputih (Kecamatan Gondangwetan). Tambakrejo (Kecamatan Kraton) dan Kedawung Kulon (Kecamatan Grati).

Gunawan Wibisono, pakar Hidrologi Universitas Merdeka Malang, mengatakan, ada banyak faktor memicu banjir di Pasuruan, dalam beberapa hari belakangan, antara lain, perubahan iklim yang memicu cuaca ekstrem. Cuaca ekstrem, antara lain bisa ditandai intensitas hujan begitu tinggi dan kemarau berlangsung lebih lama.

“Cuaca kerap berubah, tidak menentu,” katanya.

 

Banjir bandang karena luapan Kali Rejoso, menggenangi Desa Kedawung Kulon, Pasuruan. Desa terendam lebih semeter. Foto: A. Asnawi/ Mongabay Indonesia

 

Penyebab lain, akibat tata guna lahan tak sesuai. Misal, daerah yang dulu kawasan resapan, kini jadi area tambang batu atau tutupan vegetasi jadi tanaman musiman.

Pada konteks Kali Rejoso, katanya, tak lepas dari perubahan tata guna lahan masif di hulu.

Gunawan mengatakan, wilayah hulu Kali Rejoso terdiri dari hutan lindung, budidaya, perkebunan, holtikultura, serta permukiman. Belakangan juga marak pembukaan lahan untuk pertambangan.

Yang jadi persoalan juga, katanya, pola bercocok tanam di hulu DAS Rejoso kurang mendukung prinsip-prinsip konservasi. Tanaman yang ada seperti sayuran, kentang dan tanaman semusim lain.

“Dari sisi kesuburan, lama kelamaan pasti berkurang.”

Pada banjir, katanya, juga memberi kontribusi karena erosi yang terbawa air hujan mengakibatkan sedimentasi, pada akhirnya mengurangi daya tampung sungai.

“Jadi, manajemen pengelolaan banjir tidak bisa lepas dari penataan hulu. Apa yang terjadi di hulu, pasti berdampak pada di hilir, sampai muara.”

Banjir bandang di Pasuruan, 17 Januari lalu. Foto: A. Asnawi/ Mongabay Indonesia

 

******

Exit mobile version