Mongabay.co.id

Pasca Cabut Izin Konsesi di Maluku Utara, Bagaimana Selanjutnya?

 

 

 

 

Awal Januari lalu pemerintah mencabut ribuan izin tambang, izin kehutanan, izin pinjam pakai kawasan hutan dan hak guna usaha di Indonesia termasuk di Maluku Utara. Di provinsi ini pemerintah mencabut 11 izin kehutanan.

Di Malut, berdasarkan Salinan SK Menteri Kehutanan Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) No.01 Januari 2022 soal pencabutan izin konsesi, baik kehutanan dan perkebunan total 222.041, 07 hektar. Ada satu izin masih evaluasi yakni SK 368/Menhut-II/09 atas nama PT. Tunggal Aghatis Indah Wood Industries Unit I dengan luas 73.375,00 hektar.

Pencabutan pemegang izin kehutanan dan perkebunan sawit di Malut ini jadi angin segar bagi warga karena kuasa lahan skala besar akan berkurang, tetapi sekaligus kekhawatiran kala lahan-lahan itu hanya berpindah tangan ke perusahaan baru.

“Kita berharap jangan sampai terjadi seperti itu [lahan hanya beralih tangan ke perusahaan skala besar yang baru]. Pemerintah perlu memikirkan agar hak kelola ke masyarakat,” kata Faisal Ratuela, Direktur Perkumpulan PakaTiva Maluku Utara.

 

Baca juga: Presiden Cabut Izin Jutaan Hektar, Saatnya Kembali ke Rakyat dan Pulihkan Lingkungan

 

Arsyad Hasyim, warga Desa Sarno mengatakan, saat terbit izin pengelolaan kayu kepada PT Nusa Pala Nirwana (NPN) di Gane Barat Utara, Halmahera Selatan, seluas 28.000 hektar sebagian besar warga menolak. Ada sebagian kecil warga mendukung dan memengaruhi warga lain hingga muncul persoalan di tengah masyarakat.

“Kami minta pemerintah tidak lagi mengeluarkan izin yang memberi ruang kepada perusahaan untuk mengelola lahan sementara masyarakat hanya kebagian konflik,” katanya.

Dia minta, pemerintah memikirkan nasib generasi ke depan. Saat ini, kebun makin terbatas, warga juga kesulitan memperoleh kayu untuk pembangunan di desa.

“Sekarang ini mau dapat kayu kualitas kelas I untuk bangunan rumah di kampung sudah susah. Dulu sebelum ada perusahaan kayu, warga bangun rumah itu kayu masih dekat dan tersedia,” katanya.

Menurut Faisal, pemerintah perlu memikirkan pengembalian kelola hutan atau lahan kepada masyarakat, misal lewat program perhutanan sosial hingga bisa memberikan ruang besar bagi warga.

 

Hutan Halmahera, tempat hidup Orang Tobelo Dalam, yang terus tergerus. antara lain jadi tambang-tambang skala besar lain. Dengan cabut izin yang baru dilakukan pemerintah, harapannya membuka peluang perlindungan hutan dan kelola hak hutan oleh masyarakat. Foto: Opan Jacky

 

Munadi Kilkoda, Ketua AMAN Maluku Utara bilang, evaluasi perizinan di dua sektor kehutanan dan pertambangan ini harus jadi momentum penting perbaikan kebijakan tata kelola sumberdaya alam di Maluku Utara. Jadi, katanya, tak boleh lagi gunakan cara-cara menggadaikan sumberdaya alam, tanpa menghitung keselamatan lingkungan dan kepentingan warga.

“Harus lebih banyak belajar dari pengalaman sebelumnya. Banyak izin tambang ternyata memberi dampak buruk bagi lingkungan dan masyarakat,” katanya.

Banyak terjadi, katanya, ketika izin keluar tanpa ada konsultasi dengan masyarakat adat. Warga juga tidak memiliki posisi tawar kuat dengan investasi.

“Di banyak kasus hampir tidak ada ruang partisipasi warga dalam membicarakan kepentingan investasi. Padahal, investasi itu beroperasi di atas wilayah adat dan memberi dampak langsung kepada mereka. Cara seperti ini di kemudian hari banyak menimbulkan masalah. Baik konflik perebutan lahan juga masalah lain.”

Radios Simanjutak, dosen Program Studi Kehutanan, Universitas Halmahera mengatakan, pemerintah bisa berikan hak kelola hutan/lahan lewat perhutanan sosial di lokasi-lokasi dengan izin dicabut. Dengan begitu, katanya, masyarakat akan mendapatkan akses dan bisa mengelola hutan sekaligus menjaganya dengan ada pendampingan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

 

Kerusakan pulau-pulau kecil di Maluku Utara, karena tambang. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

Langkah ini, katanya, perlu, hingga mengurangi kesenjangan kuasa lahan dengan izin tak keluar lagi untuk perusahaan atau skala besar.

“Memamg orientasi pengusahaan hutan harus diubah atau beralih dari skala korporaasi ke masyarakat agar terbangun sentra-sentra ekonomi di desa desa yang berbasis sumber daya alam.”

Dia mendukung langkah pemerintah mencabut ribuan perizinan itu. Radios bilang, sudah sangat layak izin-izin yang pasif atau tidak beroperasi itu perlu dicabut. Di Kecamatan Loloda, Halmahera Utara, misal, selama ini perhutanan sosial tak bisa jalan karena masih ada izin PT Nusa Niwe Indah. Saat ini, izin perusahaan sudah dicabut hingga sangat memungkinkan keluar persetujuan perhutanan sosial.

“Sebelumnya, ada pengajuan warga agar hutan dikelola melalui program perhutanan sosial hanya terhambat karena ada izin perusahaan. Ini kesempatan besar bagi warga segera mengusulkan model pengelolaan hutan,” katanya.

Dinas Kehutanan Malut mengatakan, mereka belum dapat salinan pencabutan izin oleh pemerintah pusat. M Akhmad Zakih, Sekretaris Dinas Kehutanan Malut mengatakan, pada prinsipnya bila izin dicabut maka peruntukan kawasan selanjutnya mengacu peta peruntukan kawasan hutan di KLHK.

 

Exit mobile version