Mongabay.co.id

Sekolah Lapang Berdayakan Warga Nayaro Papua dengan Tepung Sagu

 

Maria Renalda Umapi (30) menunjukkan tepung sagu yang telah dikemas berukuran 1 kg. Ia terlihat bangga menyatakan kalau sagu itu adalah produk kelompoknya, Kelompok Usaha Sagu Nayaro.

“Ini pernah kami tampilkan di hari Pangan Sedunia beberapa tahun lalu,” katanya bangga, ketika ditemui di kantor Blue Forests di Timika, Kabupaten Mimika, Papua, akhir Desember 2021 lalu.

Untuk menghasilkan tepung sagu berkualitas tinggi dan kemasan yang apik butuh perjalanan yang panjang. Bermula dari kegiatan Sekolah Lapang Pesisir (SLP) yang dilakukan oleh Blue Forests di Kabupaten Mimika tahun 2017 silam. Sebanyak 20 orang perempuan dari Kampung Nayaro Distrik Mimika Baru, sebuah kampung yang berdekatan dengan areal konsesi PT Freeport dan Taman Nasional Lorentz.

Di SLP ini mereka banyak hal terkait pengelolaan sagu yang lebih baik, mulai dari cara pengambilan, pengolahan, hingga mengemas dalam bentuk tepung. Mereka juga belajar mengolah tepung ini menjadi makanan seperti pizza sagu, empek-empek, ongol-ongol dan es cendol. Hal yang tak pernah mereka bayangkan bisa dihasilkan oleh sagu.

“Dulu sebelum program USAID Lestari datang kami cuma tahu sagu itu untuk bikin sinole biasa, dibakar dan langsung dimakan. Kami tidak tahu kalau bisa buat beraneka macam kue. Kita kaget kok bisa jadi tepung dan bisa jadi kue, kurang percaya kami. Setelah itu kami dilatih, pelajari pelan-pelan dan akhirnya bisa mengerti dan bikin kue-kue banyak jenis,” jelas Maria.

baca : Ramai-ramai Berkomitmen Selamatkan Sagu Papua

 

Maria menunjukkan tepung sagu produksi Kelompok Usaha Sagu Nayaro di Kampung Nayaro, Distrik Mimika Baru, Kabupaten Mimika, Papua yang sudah dikemas dan siap dipasarkan. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Kelompok Usaha Sagu Nayaro masih eksis hingga sekarang dan produksi puluhan kilogram tepung sagu tiap bulannya. Kalau awalnya beranggotakan 20 orang, meski tidak semua masuk dalam SK kepengurusan.

“Ada sejumlah anggota tidak aktif karena mungkin dianggap tidak ada ‘uang duduk’, hanya datang dikasih makan biskuit-biskuit saja, padahal tidak seperti itu. Banyak pengetahuan bisa diperoleh di sini,” katanya.

Hal paling berkesan bagi Maria karena diajarkan cara mengambil sagu yang berbeda dengan pengetahuan mereka selama ini.

“Kalau selama ini pakai alat manual kami cuma tahu pangkur sagu saja seperti biasa, kalau mau ramas hanya pakai bahan alami saja, misalnya pelepah untuk bungkus sagu. Setelah program ini masuk, kita tahu ada mesin parut.”

Menurut Maria, sebelum mengenal teknologi pengolahan sagu, mereka biasanya menjual sagu dalam bentuk sagu mentah yang disimpan dalam tumang. Pohon sagu ditebang lalu langsung dibungkus dan dibawa ke kota tanpa pengolahan terlebih dulu.

“Setelah tiba di kota biasanya kami buka baru potong-potong. Bagian atasnya kita jual standar Rp50.000, paling murah Rp30.000 per potong.”

baca juga : Menjaga Sagu, Harapan Menuju Kedaulatan Pangan Papua

 

Sekolah lapang di Timika, Papua, mengajarkan metode pengolahan sagu yang lebih baik dan efektif. Foto: Blue Forests

 

Dengan mengolahnya menjadi tepung, hasil pendapatan dari produksi bisa lebih meningkat. Satu tumang bisa sampai 27 kg yang kalau diolah jadi tepung bisa dapat sekitar 10 kg tepung. Dalam bentuk tepung, sagu tersebut juga bisa tahan lama dibanding sagu mentah yang hanya bisa tahan beberapa minggu. Untuk 1 kg tepung sagu kemasan dijual seharga Rp20 ribu.

“Paling penting juga, dari tepung sagu ini bisa bikin macam-macam jenis kue, paling sering bikin es cendol, apalagi kalau ada acara-acara.”

Meski makanan olahan produksi mereka belum dijual secara umum, namun mereka kini bisa memanfaatkan sagu menjadi beraneka jenis makanan olahan, dibanding sebelumnya hanya diolah dalam bentuk sinole yang langsung dikonsumsi.

Melalui SLP untuk sagu ini, Maria yang tamatan SMA ini juga mendapatkan manfaat lain berupa kemampuan berkomunikasi dan rasa percaya diri untuk tampil di depan orang banyak, hal yang sebelumnya tidak bisa dilakukan.

“Sebelum ikut belajar sekolah lapang saya tidak berani tampil di depan umum, atau bicara depan orang banyak, pasti gugup. Setelah saya dikasih kepercayaan begitu saya siap. Banyak juga anggota lain seperti itu, cuma biasanya mereka selalu memberi saya kepercayaan untuk mewakili.”

baca juga :  Sagu, Sumber Pangan Ramah Gambut yang Minim Perhatian

 

Sekolah Lapang Pesisir bagian dari program USAID Lestari yang dalam implementasinya dijalankan oleh Blue Forests di beberapa kampung di Kabupaten Mimika, termasuk kampung Nayaro. Foto: Blue Forests

 

Program USAID Lestari

SLP sendiri bagian dari program USAID Lestari yang implementasinya dijalankan oleh Blue Forests di beberapa kampung di Kabupaten Mimika, termasuk kampung Nayaro.

Menurut Masna Waris, staf lapangan Blue Forests, kegiatan ini dimulai dengan kajian ketangguhan dan dilanjutkan dengan proses pemetaan partisipatif untuk menggali potensi SDA dan kearifan adat setempat dalam pengelolaan hutan.

“Dari survey potensi tersebut didapatkan potensi dikembangkan menjadi komoditas yang dapat dikembangkan warga kampung. Selanjutnya, disepakati dengan warga untuk mengadakan SLP untuk belajar bersama dalam pengolahan sagu yang lebih bersih, ekfektif dan efisien.

Dalam SLP ini, mereka belajar tentang pemilahan sagu dan inovasi baru, karena selama ini warga hanya mengetaui sagu bola atau bakar dan tindis.

Materi-materi yang dipelajari bersama antara lain, mengidentifikasi pohon sagu siap panen berdasarkan pengetahuan lokal masyarakat, memeriksa kandungan sagu, mengukur diameter pohon sagu, menebang pohon, memangkur sagu dan menimbang hasil pangkur sebelum peremasan/pencucian untuk endapan pati.

“Lalu ada materi tentang perbaikan pengolahan sagu dengan metode berbeda, melakukan uji coba pembanding menggunakan alat sederhana seperti terpal sebagai wadah endapan pati sagu dan pelepah sagu, uji coba perbandingan metode pencucian sagu.”

Ada juga diajarkan terkait pengolahan sagu menjadi tepung melalui pengeringan sagu basah selama 3 hari dan bagaimana pengemasan tepung sagu dan olahan sagu yang baik, serta memanfaatkan ampas sagu untuk pupuk kompos pada tanaman organik.

baca juga : Cerita Tiga Mama Suku Moi yang Setia Jaga Dusun Sagu

 

Peserta sekolah lapang belajar membuat aneka macam kue kering dari tepung sagu. Foto: Blue Forests

 

“Akhirnya mereka tahu bahwa sagu bisa diolah menjadi bermacam-macam makanan. Mereka tahu bisa jadi tepung dan bisa jadi banyak produk makanan, inilah yang kita sampaikan. Dampaknya, dari hasil-hasil belajar itu ada yang meneruskan, misalnya kita ajarkan tepung sagu dan kue kering, ada yang bikin es cendol sagu dan dijual. Dari modal Rp20 ribu untuk beli gula merah dan nangka, mereka bikin cendol yang bisa menghasilkan Rp75 ribu. Itu salah satu dampak ekonominya.”

Menurut Masna, penguatan masyarakat melalui SLP USAID Lestari hanya sampai pada tahapan pengolahan saja. Pada tahun 2020-2021 Blue Forests melaksanakan SLP lanjutan yang fokus pada produksi dan pemasaran.

“Setelah melihat pemahaman masyarakat meningkat dan ada perubahan dimana mereka tanpa didampingi bisa bikin tepung sendiri, kami lanjut pada produksi dan pemasaran. Ketika ikut pameran banyak yang pesan dan mereka bisa bikin sendiri. Kini hasilnya bisa dijual ke koperasi, meskipun produksi saat ini masih bersifat perseorangan.”

Menyatukan banyak orang dengan beragam karakter menjadi tantangan tersendiri. Masna melihat seluruh anggota kelompok belum bisa sepenuhnya kompak dalam hal pemikiran ketika berkegiatan.

Tantangan lainnya pada masih kurangnya perhatian pemerintah daerah untuk pengembangan kelompok, meskipun kini sudah mulai ada harapan dengan kehadiran pemerintahan desa/kampung memberi dukungan berupa bantuan peralatan produksi.

“Sekarang sudah ada dukungan pemerintah desa berupa peralatan produksi dan mereka sendiri yang meminta melalui proses Musrembang. Pembangunan rumah produksi juga sudah diusulkan, semoga bisa segera realisasi,” pungkasnya.

 

Ilustrasi. Seorang warga Manurwar, Biak, Papua, sedang mengolah sagu dari pohon sagu dengan kapak tradisional Amau. Foto : shutterstock

 

Exit mobile version