Mongabay.co.id

Cerita Perempuan Pesisir Loli Saluran Kala Alam Tak Seperti Dulu Lagi

 

 

 

 

 

Hari itu, Nana bersyukur, ikan kembung dagangannya laris manis. Dengan modal Rp390.000, dia bisa mengisi termos ukuran kecil dan sedang dengan ikan katombo (kembung) sebesar tapak tangan orang dewasa.

Berjalan kaki dari rumah ke rumah, perempuan 43 tahun ini berkeliling di Desa Loli Oge, Donggala, menjajakan dagangan. Keringat bercucuran membahasi wajah dan kerudung seakan tak Nana rasakan. Dua jam katombo segar habis, laris-manis, Nana, senang.

Dia sisakan tiga kembung untuk lauk anaknya di rumah. Berjalan kaki, Nana pulang ke rumahnya di desa sebelah Oge, Loli Saluran, Dusun II.

Dusun Nana terletak di pesisir barat Teluk Palu, Kecamatan Banawa Selatan, Donggala, Sulawesi Tengah, 23 kilometer arah Utara Kota Palu, Sulawesi Tengah.

Nana dan suami adalah keluarga nelayan. Seperti kebanyakan warga Loli lain, sumber ekonomi, termasuk memenuhi keperluan protein keluarga meeka dari laut Teluk Palu. Kondisi mulai berubah, sumber ikan yang dulu melimpah di laut, kini jauh berkurang.

“Dulu, kami tak perlu jauh melaut bahkan saat musim ikan, tebar jaring di belakang rumah sudah dapat banyak, sekarang susah, ” katanya. Saking banyaknya tangkap ikan, selain mereka jual segar juga kering atau ikan asin, harga pun lebih tinggi dan bisa dsimpan untuk cadangan makanan.

 

Ilustrasi. Nelayan tradisional hanya menggunakan jaring dan pancing untuk menangkap ikan. DI Teluk Palu, Sulteng, nelayan makin sulit karena ikan mulai berkurang. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Masa jaya itu tinggal kenangan sejak sekitar satu dekade ini. Usaha mengeruk perut bumi merambah gunung, hutan dan laut mereka. Di Pegunungan Kamalisi, Gawalise, misal, puluhan perusahaan galian pasir, batu, kerikil melakukan eksploitasi di sepanjang Watusampu dari Kota Palu hingga Banawa, Donggala.

Catatan Yayasan Kompas Peduli Hutan (Komiu) 2019), sekitar 75 perusahaan mengeksploitasi hampir 20,6 hektar tepian gunung. Desa Loli pun terdampak. Hutan hilang, udara bersih berganti partikel debu halus bercampur emisi gas buangan kendaraan berat pengangkut pasir, batu dan kerikil.

Tak luput, pemukiman Nana sekeluarga terkepung tambang galian C.

Mata air, air terjun mulai mengering hingga sumber air bersih berkuran. Dulu, Loli Saluran, berlimpah air pegunungan kini mulai kesulitan.

Pengerukan pun berimbas pada perairan, baik sungai maupun laut. Hutan manggrove hilang, terumbu karang rusak tertimbun batu dan pasir kerukan. Ikan pun menjauh.

Warga seperti Nana pun kehilangan sumber penunjang hidup terlebih nelayan tradisional tanpa kapal mesin.

“Kami ini tidak punya mesin, hanya pake dayung. Kalau melaut jauh susah juga. Hasilnya, tidak bisa diharap. Jangankan 1-2 jam, seharian memancing belum tentu dapat. Sedangkan biaya hidup, sekolah anak, semua naik.”

Nana harus putak otak agar dapur bisa tetap mengepul. “Cari jalan lain. Ambil ikan bukan lagi di laut tapi ke pasar.”

 

Papan pengumuman berlatar rumah Nana hunia sementaradari puing rumahnya yang hancur di hantam tsunami. Foto: Rosmini 2020

 

***

Nana dari Suku Kaili Unde. Bergenerasi, sub Suku Kaili ini mendiami Gawalise, pegunungan yang membentang di sebelah barat Teluk Palu.

Di kaki gunung yang bertemu pantai, pemukiman yang dulu padat menyisakan beberapa bangunan semi permanen. Kebanyakan berbahan sisa puing bangunan tersisa setelah bencana gempa dan tsunami tiga tahun lalu memporak-porandakan pesisir Teluk Palu. Rumah Nana, salah satunya.

Nana bilang, pemerintah beri bantuan rumah dan mereka tidak lagi boleh tinggal di pinggiran laut karena masuk zona merah bencana.

Perumahan bantuan pemerintah menjorok sekitar 500 meter dari bibir pantai di atas lahan lima hektar. Tidak semua warga memilih bantuan rumah, sebagian–terutama yang memiliki lahan–mengajukan bantuan tunai, termasuk Nana. Dia punya lahan agak jauh dari pantai.

Pemerintah beri bantuan dan Rp50 juta, dia belikan bahan bangunan rumah. Bergotong royong, Nana membangun huniannya.

“Dulu, lahan itu kebun karena tidak terurus lebih baik buat rumah saja .”

 

Pesisir Loli yang porak-poranda. Berhadapan dengan tsunami dan waspada dari banjir dan longsor . Foto: Rosmini –2020

 

 

Selain punya lahan, Nana pilih bantuan tunai mandiri juga karena alasan keselamatan dan keamanan. Dia mau memastikan bahan bangunan kuat. Trauma membuat Nana dan keluarga ingin hunian baru bisa bertahan dari guncangan gempa dan dari jangkauan tsunami.

“Kami tau di depan kami itu “om Koro” (sesar Palu Koro) jadi buat tempat tinggal itu harus tahan dan kuat. Kami waspada juga maka kami buat rumah semi permanen juga diatas. Ba siap saja.”

 

Perubahan iklim dan bencana

Kala pesisir rusak terkena hantaman gempa dan tsunami pada September 2018, hidup warga Loli Raya makin terhimpit.

Bukan hanya pemukiman tersapu gelombang, sebagian daratan menghilang ke dasar laut karena downlift pada sesar. Dua tahun setengah mereka bertahan hidup di tenda pengungsian, di atas daratan tersisa.

Wilayah pesisir barat teluk Palu berada di atas Sesar Palu Koro. Gempa dan tsunami berulang kali terjadi sejak generasi sebelum ini. Meskipun begitu, kejadian tiga tahun lalu dirasa sangat berbeda dan traumatis.

Gempa juga menghancurkan dasar laut Teluk Palu termasuk terumbu karang tersisa. Praktis situasi ini membuat nelayan tradisional pesisir barat Teluk Palu makin kesulitan karena pasokan ikan di laut jauh berkurang.

Terdesak kebutuhan ekonomi, para lelaki memilih tak jadi nelayan lagi. Mereka jadi buruh angkut atau sopir truk di tambang galian C, yang muda merantau mencari pekerjaan.

Para perempuan, tua, muda, dan anak-anak–sebagian putus sekolah–, bekerja menjaja ikan keliling, juga menyambi sebagai penarik tambang kapal tongkang pemuat pasir, batu dan kerikil.

Abis bencana lalu semua berubah. Cari makan jadi tambah sulit apalagi cuaca makin susah ditebak. Kalau datang panas minta ampun, pas hujan langsung was-was, takut banjir, longsor, serba salah.”

Beberapa pekan terakhir Nana tidak berjualan. Harga ikan meroket, pasokan di pasar tradisional langka karena cuaca buruk.

 

Loli yang terkepung galian C. Foto: Rosmini –2020

 

Hujan ekstrem dan angin kencang yang kerap terjadi membuat dia khawatir meninggalkan rumah dan anak.

Givents, Direktur Komiu mengatakan, warga yang bermukim di dekat wilayah tambang galian C sangat berisiko.

“Tinggi galian mencapai 113 meter dengan rata-rata kemiringan 740-900, berpotensi volume longsor 7 juta kubik tanah. Itu yang kami ukur.”

Apalagi, perubahan iklim makin parah hingga mendorong cuaca ekstrem. “Masyarakat di sekitar tambang harus betul-betul waspada.”

Anomali cuaca yang tak menentu dan hujan ekstrem, katanya, kemungkinan menyebabkan tanah jenuh hingga bisa jadi pemicu bencana hidrometeorologi seperti banjir, maupun longsor.

Catatan Iklim Sulawesi Tengah 2021 dari BMKG Stasiun Pemantau Atmosfer Global (GAW) Lore Lindu Bariri menyatakan, curah hujan Donggala tercatat 216 mm perhari, masuk kategori paling ekstrem. Suhu rata-rata Sulteng 270C dan maksimum tertinggi 370C.

“Curah hujan 20 mm perhari saja sudah harus mulai waspada, apalagi lebih dari angka itu selama berhari-hari. Semua komponen, bukan hanya masyarakat yang siaga.” kata Asep Firman Ilahi, Kepala GAW Bariri Lore Lindu kepada Mongabay.

Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Donggala mencatat, 13 bencana hidrometeorologi dalam 2021, dengan 12 kali banjir dan satu puting beliung.

 

Nana dan termos biru–pinknya. Ikan tak lagi dia dapat dari laut tetapi beli di pasar, baru dijual. Foto: Rosmini 29/12/21)

 

Dia bilang, peningkatan gas rumah kaca (GRK) merupakan indikator utama perubahan iklim. Sulteng mencatat, karbon dioksida (CO2) tertinggi sebesar 478 ppm (part per million) dan terrendah 399 ppm. Metana (CH4) tertinggi sebesar dia ppm, terendah1.8 ppm.

“Secara umum, perubahan iklim Indonesia di titik 0.890C (0.90C) – 10C.”

Meski belum mencapai kenaikan satu derajat, katanya, lebih baik berupaya menurunkan, bukan menambah penyebab kenaikan suhu udara.

Prediksi Global Atmosphere Watch (GAW) frekuensi bencana hidrometeorologi masa mendatang makin meningkat seiring kenaikan suhu udara, intensitas curah hujan dalam waktu signifikan.

Prediksi curah hujan dengan intensitas lebat lebih 20 mm/jam akan lebih sering. Sulteng, katanya, secara umum berada di bawah 10 mm perjam, tetapi pada 2021 GAW mencatat angka ini naik jadi 48 mm/jam dengan kategori hujan paling ekstrem.

Dampaknya, bencana geo-hidrometeorologi akan lebih sering seperti banjir bandang, longsor dan lain-lain.

Di Loli Saluran, kala angin kencang dan ombak besar, Nana beserta keluarga pindah ke rumah baru. Apabila hujan terlalu deras, mereka akan berlindung ke rumah lama. Kalau angin kencang dan hujan deras bersamaan, Nana juga warga lain memilih ke tepi jalan atau berlindung di mesjid.

Menurut Nana, lebih aman di mesjid, karena bangunan kokoh daripada rumah di tepi laut yang terbuat dari puing reruntuhan rumah lama.

Di belakang pemukiman Loli Saluran, masih ada hutan di bukit kecil tak lebih lima hektar. Miris, karena di sekeliling sudah terjamah eksavator keruk tambang.

Warga Loli berusaha mempertahankan hutan kecil ini sebagai penyangga longsor dan benteng terakhir mereka.

“Hutan ini jalan keselamatan,” kata Nana.

 

 

 

 

 

***

 

Artikel Minnie Rivai ini atas dukungan WAN-IFRA Women in News – Social Impact Reporting Initiative (SIRI).

Exit mobile version