Mongabay.co.id

Memupuk Asa di Tanah Langaleso

 

 

 

 

 

Pagi itu, Dusun III, Desa Langaleso, Sulawesi Tengah ini, begitu lengang. Hanya terlihat beberapa anak kecil bermain di gundukan pasir. Para perempuan berkumpul di bawah pohon kersen saling bercerita. Sepintas kampung hanya ada perempuan dan anak-anak. Lahan kering. Pecah-pecah. Tak ada aktivitas pertanian.

Dusun ini berjarak 14 km dari pusat kota, berada di Kecamatan Dolo, Sigi. Kampung ini hanya berisi sekitar 50 rumah, sebagian sudah tak berpenghuni karena pindah ke hunian tetap, bantuan pemerintah di Desa Pombewe, berjarak 15 Km dari Dusun III.

Dulu, wilayah ini satu dari beberapa wilayah di Sigi yang jadi lumbung beras dan penyuplai bahan baku pangan lain. Produksi pertanian ini jadi sumber pangan masyarakat Sulawesi Tengah hingga jauh ke Pulau Borneo.

Semua berubah. Gempa beberapa menit tiga tahun lalu menghancurkan dan mengambil semua milik mereka. Ruang hidup, sosial, ekonomi bahkan jiwa mereka. Persawahan bak permadani hijau itu berubah jadi padang savana dari lahan pertanian jadi area penggembalaan.

Para pemilik lahan banyak berganti profesi untuk bertahan hidup. Lelaki dewasa jadi buruh bangunan atau bekerja serabutan. Para perempuan tua muda jadi buruh petik ke desa lain.

Saat mereka berjibaku dengan pekerjaan, kampung ini hanya dihuni anak-anak dan lansia. Dusun akan ramai saat para ibu tak bekerja karena masa panen usai.

 

Dulu, di sini tanam padi, kini berganti jagung yang tak memerlukan air terlalu banyak. Irigasi rusak hingga menyulitkan pengairan. Foto: Minnie Rivai/ Mongabay Indonesia

 

Pilih bertahan

Farida sibuk menata belahan kelapa yang dijemur. Sesekali mendongak, menatap langit berharap tak ada mendung. Udara panas menyengat, angin tak sepoi. Angin berhembus datang bersama debu lumpur kering.

Farida tinggal di rumah sementara. Rumah perempuan Suku Kaili Ledo ini berlantai tanah, berdinding papan. Bagian dapur agak tinggi. Tak terlihat perobat rumah. Hanya dipan kayu tanpa kasur berukuran sedang.

Hunian tetap buat Farida belum rampung. Meski ada bantuan pemerintah, pengerjaan rumah itu harus menunggu waktu luang saudara lelaki dan anaknya agar bisa ditinggali. Rumah itu dia kerjakan sendiri karena tidak punya modal lebih untuk membayar tukang.

Di atas dipan kayu, duduk perempuan tua kurus dan pucat. Punggung terganjal bantal. “Itu mama saya. Sakit. Kasian. Sudah tidak bisa jalan. Maka saya tidak pigi cari kerja jauh-jauh, tidak ada yang jaga.”

Anak lelaki Farida berusia 15 tahun, berhenti sekolah dan memilih membantu sang ibu jadi kuli bangunan dengan gaji Rp80.000 perhari.

Perempuan 36 tahun ini menjanda setelah suaminya tidak pernah kembali saat mengantar bibit Jum’at sore, 28 September 2018.

Menurut kabar, sang suami tergulung lumpur panas (liquifaksi) Petobo.

“Sampai sekarang tidak di dapat jasadnya.”

Farida dan keluarga memilih tetap bertahan di dusun karena alasan finansial. Meski lahan tak lagi menghasilkan gabah, setidaknya sayur dan umbi sebagai sumber pangan mereka, mudah tumbuh alias tak perlu beli.

Dulu, desa lumbung padi tetapi kini, beras sulit. Kalau dulu mereka yang memberikan beras, sekarang mereka yang mendapat bantuan beras.

“Memang hidup. Saya juga tidak sangka kalo sampai parah begini. Dulu, belum abis yang dimakan sudah panen lagi. Miskin kami tapi tidak kelaparan.”

 

Bertani sulit, sebagian warga beralih mengembala ternak. Foto: Minnie Rivai/ Mongabay Indonesia

 

Luas Desa Langaleso 3,34 km2 dengan penduduk 2.521 jiwa, terbagi dalam tiga dusun. Dalam “Kecamatan Dolo dalam Angka tahun 2017,” menyebutkan, luas wilayah sawah irigasi 1.115 hektar menghasilkan 134.891 kuintal gabah kering.

Wilayah datar alias tidak berbukit ataupun bergelombang ini merupakan surga bagi kolam perikanan air tawar dan peternakan. Luas kolam ikan di Langaleso 36 hektar.

Hasil pertanian dan perikanan Kecamatan Dolo tak lagi muncul dalam catatan statistik Sigi 2021. Bencana gempa besar yang menyebabkan pencairan tanah (liquifaksi) pada 2018 menghancurkan pertanian dan irigasi di Sigi.

Sekitar 250 hektar sawah milik Desa Jono Oge bergeser dan menimbun sebagian besar Desa Langaleso. Dampak terparah ada di Dusun III, rumah dan sawah tenggelam tertimpa gelombang lumpur berikut penduduk, hewan, bangunan dan kendaraan.

Saluran irigasi Gumbasa sumber air bagi 8.180 hektar pertanian Sigi turut hancur, kini kering. Pengairan sulit hingga petani meninggalkan lahan.

“Pernah kami olah. Airnya pake mesin Alcon, bantuan. Berhasil tapi cuma satu kali.” kata Farida.

Kala itu, dia bersihkan lahan tertimbun, lalu tanam padi. Hanya sekali berhasil panen. Semua usaha bersawah gagal.

Farida pun mencoba menanam cabai dan tomat, bisa panen tidak sampai sepertiga lahan. Tanah seluas satu hektar lalu dia tanami jagung. Jagung, katanya, tidak membutuhkan banyak air. Kali ini, lumayan, setidaknya cukup sebagai cadangan talebe atau nasi jagung untuk beberapa bulan ke depan.

Nasib tak mujur, panen kedua hancur. Persoalan air jadi kendala utama. Mesin pompa bantuan jadi napas baru tetapi perlu dana Rp100.000 per sekali pakai. Farida tak kuat, akhirnya berhenti mengurusi lahan.

Farida dan perempuan lain di Dusun III menjadi buruh petik ke desa atau dusun lain kala musim panen. Upah Rp80.000 untuk satu hari, terkadang mereka hanya tenaga cadangan dan musim panen selalu tak berlangsung lama.

“Maka ini coba-coba ba kopra di sini banyak pohon. Kelapa di kumpul sedikit-sedikit. Beli juga tidak mahal hanya Rp1.500 perbutir tapi sering dapat gratis, syukur. ”

 

Tanah gersang, hari tanpa hutan di Sulteng makin panjang, kalau hujan pun ekstrem hingga berdampak pada pertanian warga. Foto: Minnie Rivai/ Mongabay Indonesia

 

Anomali cuaca

Gagal tanam dan gagal panen yang dialami Farida maupun petani Sigi lain menyebabkan banyak lahan garapan dijual atau disewakan. Mereka yang memiliki modal banyak dari luar wilayah bahkan luar daerah.

Petani tak hanya sulit air, juga persoalan kondisi tanah. Lahan terdampak likuifaksi milik Farida, misal, berpasir hingga sulit digarap.

Lahan yang tidak terdampak likuifaksi bisa diolah tetapi perlu biaya besar. Bantuan mesin pompa Alcon tak menjawab kebutuhan air. Kekeringan datang, hama pun menyerang.

Kala hujan ekstrem, malah membuat tanaman rusak dan petani gagal panen. Pada September 2021, debit air hujan tinggi mengundang banjir yang merendam rumah dan lahan pertanian.

“Kualitas air hujan sekarang sudah berbeda. Kadar asam belum melampaui ambang batas, tapi sudah asam. Ini salah satu faktor yang mempengaruhi panen gagal, rusak dan sebagainya,” kata Asep Firman Ilah, Kepala Stasiun Pemantau GAW Bariri Lore Lindu kepada Mongabay, belum lama ini.

Meskipun panen tidak gagal, tingkat keasaman yang terkandung dalam air hujan akan berpengaruh pada kualitas hasil pertanian dan mengurangi jumlah hasil panen.

Global Atmosphere Watch Palu mencatat, pada November 2021, kadar keasaman (pH-Potential Hydrogen) air hujan di Sulawesi Tengah terkonsentrasi 5.5 di bawah pH ideal 5.6-6.

Asep katakan, cuaca tak menentu merupakan dampak perubahan iklim global dan terjadi di seluruh Indonesia. Di Sulteng, sejak 2018, bencana geo-hidrometeorologi bertambah dua kali lipat. Hari tanpa hujan lebih panjang, berhujan makin pendek tetapi sangat ekstrem. Cuaca tak menentu ini, katanya, membuat petani kesulitan menentukan musim tanam.

Abd. Rauf, dosen Fakultas Pertanian Universitas Tadulako Palu,—terlibat dalam program penelitian perubahan iklim Sulteng—mengatakan, kerusakan tanah pertanian karena guncangan seismik Sesar Palu Koro di Sigi sangat luar biasa.

Irigasi Gumbasa yang jadi penggerak utama roda pertanian tak berfungsi. “Ketika tanah, air, suhu terganggu maka semua akan ikut merasakan dampak, apalagi pertanian, sumber ketahanan pangan sudah pasti yang paling cepat merasakan dampak.”

Aktivitas manusia juga memberi sumbangan besar terhadap percepatan perubahan iklim. Penggunaan bahan kimia berlebihan dan terlalu sering di lahan pertanian, menurunkan kualitas tanah itu sendiri.

Pemanfaatan sampah organik jadi pupuk alami, katanya, masih minim padahal bahan baku melimpah. Kalau praktik pupuk organik jalan, tak hanya membantu meperbaiki unsur hara tanah juga langkah awal menahan laju perubahan iklim.

“Sampah organik itu penyumbang gas rumah kaca, ketika biarkan begitu saja, tidak terkelola dengan baik.”

 

Farida sedang menjemur kelapa untuk kopra. Dia memanfaatkan kelapa yang ada di sekitar. Foto: Minnie Rivai/ Mongbay Indonesia

 

***

Pengairan yang jadi keluhan petani sedikit terjawab dengan selesainya rehabiltasi bendungan dan irigasi Gumbasa tahap I oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Bendungan ini hanya sanggup mengairi sekitar 1.400 hektar pertanian, 6.700 hektar yang lain baru berfungsi setelah pembangunan tahap II selesai pada 2023.

“Tahap II sudah dalam proses, tetap kami (pemkab) kawal,” kata Irwan Lapata, Bupati Sigi kepada Mongabay, Januari lalu.

Selain irigasi, program Sigi Hijau yang sebelumnya sempat berjalan pada 2017 akan kembali berjalan. Program yang sejak awal bertujuan menahan laju perubahan iklim tertunda karena ada gempa.

Program yang berslogan tanam 10.000 pohon produktif/desa itu kini giat kembali.

Irwan mengatakan, perubahan bentang alam karena pergeseran sesar mengundang bencana hidrometeorologi di wilayahnya. DI sana pun, katanya, akan ditanami pohon bah dan bambu.

Gerakan menanam sejuta bambu jadi prioritas Irwan. Bambu yang dia pilih jenis betung (Dendrocalamus asper) karena ukuran besar, kokoh dan bernilai jual tinggi.

Lereng curam, tebing dan lahan kritis menjadi lokasi pilihan untuk menanamnya. Selain berfungsi untuk pembangunan dan cadangan makanan, bambu juga bermanfaat menjaga wilayah bantaran sungai dari erosi dan banjir.

Kalau ditanam di lahan kritis, bisa menstimulasi unsur hara tanah hingga bisa kembali subur.

Irwan yakin, pertanian bakal menggeliat kembali. Farida juga berharap begitu. Dia ingin cuaca bersahabat agar panen tak rusak hingga pertanian hidup seperti dulu lagi.

 

***

 

Tulisan Minnie Rivai ini mendapat dukungan dari WAN-IFRA Women in News – Social Impact Reporting Initiative (SIRI)

 

Exit mobile version