Mongabay.co.id

Ketika Perubahan Iklim Picu Penyakit Demam Berdarah

 

 

 

 

Yuliati, baru saja membersihkan area sekitar rumah. Sebuah wadah kecil, di bawah keran dispenser di ruang tengah dia ambil dan buang airnya. Yuliati membersihkan dengan kain bersih sebelum memasang kembali di tempat semula.

Bagi sebagian orang, air dalam wadah kecil itu terlihat sepele. Bagi Yuliati itu mengkhawatirkan karena bukan mustahil air yang terkumpul dari tetesan air minum itu jadi rumah bagi nyamuk berkembang biak.

“Yang sepele begini sering tidak mendapat perhatian padahal bisa jadi sarang jentik,” kata perempuan yang tinggal di Kelurahan Kedungmundu, Kota Semarang ini.

“Dulu, banyak kasus DBD. Jadi, jangan sampai terulang.”

Yuliati layak waspada. Kota Semarang pernah jadi salah satu episentrum kasus DBD di Indonesia. Pada 2010, angka sempat menembus 5.000 kasus. Belakangan, berkat sejumlah program, angka penyakit karena nyamuk aedes aegypti itu berhasil ditekan.

“Tiap Jumat pagi warga bersih-bersih lingkungan. Semua yang berpotensi jadi tempat nyamuk bertelur dibersihkan. Seperti selokan, bawah pohon, semua dibersihkan termasuk dispenser. Biasa di bawah itu ada sisa air yang luput dari perhatian,” katanya.

Abdul Hakam, Kepala Dinas Kesehatan (Kadinkes) Semarang, mengatakan, pemantauan jentik jadi salah satu program unggulan Kota Semarang dalam menekan kasus DBD. Sebuah aplikasi dibuat guna mendukung sistem pelaporan secara terpusat di tingkat kota.

“Kami punya aplikasi Tunggal Dara untuk memudahkan sistem pelaporan jentik secara terpusat,” katanya, baru-baru ini.

Keunggulan sistem ini, masyarakat dapat melaporkan temuan jentik nyamuk dengan cepat guna segera menindaklanjuti tak sampai 24 jam.

Tunggal Dara, katanya, merupakan akronim dari Bersatu Tanggulangi Demam Berdarah. Sistem yang digagas sejak 2015 itu bagian dari program Asian Cities Climate Change Resilience Network) dan mendapat dukungan dari Mercy Corps Indonesia.

Melalui sistem ini, masyarakat dan kader dapat melaporkan langsung hasil pemantauan jentik secara cepat.

Dia nilai Tunggal Dara cukup efektif. Dari 1.508 RW di Kota Semarang, 1.403 atau 93% aktif pelaporan.

“Dari sisi pelaporan cukup efektif untuk mempercepat informasi agar segera ditindaklanjuti Puskesmas,” kata Hakam.

Selain itu, dari sisi kejadian, kasus DBD cenderung menurun dibanding tahun-tahun sebelumnya. Kendati demikian, ancaman kasus DBD merebak seperti satu dasawarsa silam bukan berarti selesai.

Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Kementerian Kesehatan menyebutkan, tren kasus DBD di Indonesia cenderung meningkat dalam tujuh tahun terakhir. Pada 2014, tercatat 100.347 kasus lalu sampai Agustus 2021 tercatat 30.000 kasus. Kenaikan kasus DBD juga terjadi di Kota Semarang.

 

 

 

Hakam bilang, sebelumnya Kota Semarang sempat tercatat sebagai penyumbang kasus DBD terbesar di Jawa Tengah. Berkat sejumlah program, katanya, kasus bisa ditekan.

“Termasuk 2021, grafik kasus DBD Kota Semarang sampai Juli 2021 masih terkendali. Dibandingkan tahun 2020, kasus bulanan lebih rendah.”

Bila dibanding periode sama tahun lalu, terjadi penurunan sampai 50%. Penurunan kasus DBD tidak bertahan lama. Memasuki semester kedua 2021, kasus DBD bermunculan.

Pada November lalu, warga terkena DBD 36 orang. Walhasil, sampai awal Desember ini, total kasus DBD di Kota Semarang mencapai 280 orang dengan enam kematian.

Anies, Pakar Kedokteran Lingkungan, Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, mengatakan, DBD di Semarang, pertama kali muncul pada 1969, seperti tertera dalam Peraturan Daerah (Perda) 5/2010 tentang Pengendalian Penyakit DBD. Temuan kasus dalam jumlah besar hingga berstatus kejadian luar biasa (KLB) pada 1973 dan 2010.

Kala itu, DBD melanda Semarang hingga fogging dengan cairan insektisida melalui pesawat udara. Sejak itu, Semarang termasuk satu kota endemis DBD di Indonesia.

Pemkot Semarang mengesahkan Perda Nomor 5/2010 tentang Pengendalian Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD). Beleid ini jadi payung hukum merumuskan kebijakan, perencanaan dan pelaksanaan bagi para pihak terkait pengendalian DBD.

Dinas Kesehatan Kota Semarang coba terapkan konsep “One Health” dalam menanggulangi DBD sejalan dengan pendekatan yang disebutkan Kementerian Kesehatan.

Dalam konsep ini, pelibatan multi sektor jadi kunci agar penanggulangan zoonosis berjalan efektif. Penanganan zoonosis memerlukan kerjasama berbagai bidang seperti kesehatan, lingkungan, hingga pertanian. Konsep One Health itu pula yang coba diterapkan Dinas Kesehatan Kota Semarang dalam menanggulangi DBD.

Hakam katakan, pandemi COVID-19 sejak Maret 2020 sempat menimbulkan kekhawatiran atas upaya pengendalian DBD di Semarang. Berkat kerjasama dan sinergi para pihak, kekhawatiran itu tak terjadi.

Upaya pengendalian, katanya, antara lain pembentukan kader pemantau jentik dari lingkungan sampai rumah tangga.

Anies, Pakar Kedokteran Lingkungan, Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, mengatakan, DBD di Semarang, pertama kali muncul pada 1969, seperti tertera dalam Peraturan Daerah (Perda) 5/2010 tentang Pengendalian Penyakit DBD. Temuan kasus dalam jumlah besar hingga berstatus kejadian luar biasa (KLB) pada 1973 dan 2010.

Kala itu, DBD melanda Semarang hingga fogging dengan cairan insektisida melalui pesawat udara. Sejak itu, Semarang termasuk satu kota endemis DBD di Indonesia.

Pemkot Semarang mengesahkan Perda Nomor 5/2010 tentang Pengendalian Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD). Beleid ini jadi payung hukum merumuskan kebijakan, perencanaan dan pelaksanaan bagi para pihak terkait pengendalian DBD.

 

Baca juga : Bagaimana Jika Nyamuk Punah dari Planet Bumi? Apa yang akan Terjadi?

Salah satu sudut Kota Semarang. Perubahan iklim yang terjadi mengancam peningkatan kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) di wilayah setempat. Foto: Widya Andriana

 

Dampak perubahan iklim?

DBD tergolong sebagai zoonosis, yaitu penyakit infeksi yang penularan dari hewan ke manusia. Infeksi ini bisa karena mikroorganisme penyebab penyakit (pathogen) seperti bakteri, virus atau parasit. Patogen dapat berpindah dan berkembang dalam tubuh manusia melalui serangkaian mutasi genetik.

Sugiyono, ahli zoonosis Badan Riset Nasional (BRIN) mengatakan, manusia, hewan dan lingkungan memiliki keterkaitan erat atas timbulnya penyakit, termasuk DBD. Menurut dia, perilaku masyarakat dengan membiarkan genangan air tempat nyamuk bertelur berkontribusi atas kemunculan penyakit ini.

Perubahan iklim, katanya, berpotensi meningkatkan intensitas hujan, dan memperbesar peluang banyak genangan.

“Itu berarti nyamuk-nyamuk berbahaya berpotensi meningkatkan populasi,” katanya. Satu cara mengantisipasi, dengan mengontrol perkembangan nyamuk melalui pemantauan jentik.

Anies juga berpandangan sama. Perubahan iklim, katanya, membawa ancaman bagi sektor kesehatan, termasuk penyakit DBD.

“Karena itu, sangat penting membangun kesadaran perubahan iklim tak hanya soal hujan dan cuaca. Termasuk yang patut diwaspadai adalah sektor kesehatan, sekalipun dampak tak langsung. Ini harus dibangun,” kata Anies.

Dia bilang, zoonosis merupakan jenis penyakit yang ditularkan hewan atau media lain yang terinfeksi. Perubahan iklim, katanya, tidak hanya mempengaruhi perilaku aedes aegypti, selaku vektor penyebab DBD namun pola perkembangbiakan berlangsung lebih cepat.

Tri Satya Putri Naipospos, pakar kesehatan hewan dari Center for Indonesian Veterinary Analytical Studies (CIVAS) mengatakan, perubahan iklim akan membawa konsekuensi pada aspek lingkungan. Ia menyebabkan temperatur, kelembaban, curah hujan jadi tidak stabil. Situasi itu, akhirnya mempengaruhi perilaku agen patogen.

Perubahan temperatur dan kelembaban, katanya, akan berdampak pada penyebaran dan ekologi penyakit hewan menular (zoonosis). Dari sisi frekuensi dan sebaran, juga diprediksi meningkat seiring peningkatan curah hujan tinggi dan banjir.

“Artinya, perubahan iklim terhadap agen pathogen maupun vektor akan berdampak terhadap dinamika populasi, siklus pertumbuhan (perkembangbiakan) dan penyebaran penyakit,” terang penulis buku Kesehatan Hewan untuk Kesejahteraan Manusia ini.

Nyamuk, katanya, memiliki kemampuan lebih untuk beradaptasi dengan kondisi cuaca tak menentu.

Penelitian Risqa Novita, ahli biomedis dari Puslitbang Biomedis dan Teknologi Dasar Kesehatan, Kementerian Kesehatan menyatakan, sekitar 45% kesehatan seseorang dipengaruhi kondisi lingkungan.

“Sedangkan faktor lain, seperti perilaku menyumbang 30%, pelayanan kesehatan 20%, dan keturunan hanya 5%,” sebut laporan yang rilis akhir 2020 itu.

Perubahan iklim, katanya, bukan hanya mempengaruhi siklus hidup nyamuk juga intensitas hisapan. Selain lebih cepat berkembang biak, nyamuk lebih aktif menggigit.

Tidak terbatas pada jam-jam tertentu karena nyamuk merupakan hewan ectothermic, yakni suhu tubuh tergantung pada suhu lingkungan (temperature ambient).

Nyamuk, katanya, memiliki kebiasaan menggigit di dalam maupun luar rumah pada malam hari. Setelah menggigit, nyamuk beristirahat di dalam maupun di luar rumah.

“Temperatur udara yang paling kondusif antara 25-30 celcius dan kelembaban udara 60-80%.”

Menurut Sugiyono, musim hujan hangat dapat menyebabkan nyamuk bertahan hidup sepanjang tahun. Bahkan, banyak spesies nyamuk secara mengejutkan ternyata mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan berbeda. Tidak hanya di daerah tropis, juga subtropis.

Saat makin memperluas jangkauan mereka, dalam waktu yang sama, nyamuk-nyamuk juga akan beradaptasi dengan kondisi baru.

“Dengan makin berkembang populasi nyamuk, potensi penyebaran agen penyakit atau virus yang dibawa pun makin besar,” katanya, seraya bilang satu cara mengantisipasi risiko penularan dengan menekan populasi nyamuk.

 

 

 

Pemerintah pun menyadari ada ancaman peningkatan kasus DBD sebagai akibat perubahan iklim. Secara khusus, DBD diprediksi turut menyebabkan kerugian negara hingga Rp31 triliun. Sektor lain juga turut terdampak perubahan iklim adalah pertanian, air bersih, kelautan dan kawasan pesisir total Rp115 triliun pada 2024.

“Nilai kerugian belum mempertimbangkan konsumsi, investasi, dan juga variabel lain,” tulis Bappenas.

Bappenas pun pada April 2021, menerbitkan dokumen pembangunan berketahanan iklim (PBI) terdiri dari enam serial buku.

Merujuk dokumen itu, beberapa daerah di Indonesia diprediksi mengalami peningkatan kasus DBD imbas perubahan iklim, termasuk Kota Semarang. Bappenas memasukkan Semarang sebagai daerah prioritas.

“Peningkatan suhu jadikan bakteri dan mikroba mudah berkembang biak. Dampaknya, ancaman penyakit meningkat, termasuk zoonosis,” kata Anies.

Dia menilai, kajian Bappenas sebagai upaya mitigasi agar publik lebih adaptif menyikapi ancaman dampak kesehatan dari perubahan iklim. “Nyamuk memiliki kemampuan beradaptasi lebih tinggi terhadap suhu lingkungan daripada hewan lain. Karena berkembangnya lebih cepat, populasi pun jadi lebih banyak.”

 

Baca juga : Nyamuk Wolbachia, Harapan Baru Atasi Demam Berdarah

Nyamuk Aedes aegypti penyebab demam berdarah. Foto: Paul I. Howell, MPH; Prof. Frank Hadley Collins/Centers for Disease Control and Prevention [CDC]/Image Number: 9534 via Britannica.com

 

Nyamuk lawan nyamuk

Ada cara lain mengatasi DBD, lewat penerapan teknologi bakteri wolbachia. Cara ini digagas World Mosquito Program (WMP) dan mulai dikembangkan di banyak negara serta dinilai cukup berhasil mencegah penularan penyakit mematikan ini.

Di Indonesia, penerapan uji coba nyamuk ber-wolbachia dipusatkan di Yogyakarta. Riris Andono Ahmad, peneliti pendamping WMP Yogyakarta dan Direktur Pusat Kedokteran Tropis FKKMK Universitas Gajah Mada (UGM) menyampaikan, penelitian pengembangan teknologi wolbachia mulai 2011.

Usai memastikan keamanan wolbachia, penelitian lanjut dengan pelepasan di area terbatas. “Enam tahun berjalan, tepatnya 2017, uji efikasi wolbachia dengan metode randomised trial di Yogyakarta,” katanya, dalam keterangan tertulis kepada Mongabay, belum lama ini.

Secara teknis, pelaksanaan uji ini dilakukan dengan membagi wilayah Yogyakarta menjadi 24 klaster. Rinciannya, 12 klaster sebagai lokasi penyebaran wolbachia, dan 12 klaster lain sebagai pembanding atau klaster kontrol. “Hasil uji efikasi wolbachia ini cukup menggembirakan, yaitu wolbachia efektif menurunkan 77% kasus dengue, dan menurunkan 86% kasus dengue yang dirawat di rumah sakit.”

Serupa disampaikan Warsito Tantowijoyo, ahli epidemologi merangkap team leader WMP Yogyakarta.

Wolbachia, katanya, merupakan bakteri alami yang terdapat pada 60% serangga dan hanya hidup di dalam tubuh serangga.

Pada tubuh aedes aegypti, wolbachia bekerja dengan menekan, merebut makanan dalam sel yang akhirnya menghambat perkembangan virus dengue.

Dengan begitu, saat nyamuk menggigit, tak terjadi transmisi virus ke tubuh manusia. “Artinya, saat terjadi gigitan, virus pada nyamuk tidak sampai masuk ke manusia karena sudah di-block bakteri tadi.” Keberadaan wolbachia mampu mengendalikan replikasi virus dengue untuk berkembang biak.

Praktiknya, rekayasa genetik ini dilakukan dengan menitipkan ember berisi telur nyamuk ber-wolbachia di rumah-rumah warga atau fasilitas umum. Setelah telur nyamuk berkembang dewasa, akan menghasilan turunan wolbachia.

Proses penggantian telur nyamuk ber-wolbachia setiap dua minggu sekali dalam enam bulan. Hasilnya, daerah dengan sebaran nyamuk wolbachia, mampu memproteksi diri dari serangan kasus DBD.

Hasil penelitian ini sudah rilis pada jurnal the New England Journal of Medicane (NEJM). Teknologi ini juga sudah dikaji dalam pertemuan ke-13 WHO Vector Control Advisory Group pada 7-10 Desember 2020.

Saat ini, WMP Yogyakarta menjalin kerjasama dengan Pemkab Sleman melalui Dinas Kesehatan mulai mengimplementasi teknologi wolbachia.

Selanjutnya, pada 2022, kembali diterapkan di Kabupaten Bantul. “Perlu ada peran aktif semua pihak agar teknologi ini dapat diimplementasikan di daerah lain untuk mempercepat upaya nasional melawan dengue,” kata Eggi Arguni, selaku Diagnostic Team Leader WMP Yogyakarta.

Kemenkes menyambut baik temuan ini. Pada 21 November lalu, delapan perwakilan kabupaten/kota di Indonesia juga diundang untuk menjajaki kemungkinan penerapan metode ini, termasuk di Kota Semarang.

Achmad An’am Tamrin, Stakeholder Engagement and Policy Specialist WMP Yogyakarta mengatakan, sejauh ini, tak ada kendala berarti dari usaha penerapan teknologi wolbachia di tempat lain. Kendati sempat ada kekhawatiran masyarakat, dengan intensitas sosialisasi penerapan wolbachia bisa diterima dengan baik.

A’am mengatakan, selain Sleman dan Bantul, beberapa wilayah di Indonesia juga menyatakan minat memanfaatkan nyamuk wolbachia dalam menanggulangi DBD, antara lain, Boyolali, Bontang, Batam, Nusa Tenggara Timur, hingga Bali.

“Saat ini kami menyusun strategi bagaimana supaya teknologi ini bisa diterapkan ke wilayah-wilayah lain di Indonesia. Paling tidak untuk sosialisasi. Kalau implementasi perlu menunggu banyak proses. Termasuk regulasi, apakah sudah sinkron atau belum. Atau malah memerlukan regulasi baru.”

Saat ini, mereka masih berkoordinasi dengan Kemenkes, terutama Direktorat Jenderal Pengendalian dan Pemberantasan Penyakit (P2P) maupun Balitbangkes yang kini berada di bawah Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).

Menurut Hakam, pemanfaatan wolbachia sebagai instrumen lain dalam menanggulangi DBD sangat memungkinkan. Hal itu, katanya, bergantung perkembangan kasus dan situasi lapangan.

“Semoga wolbachia jadi satu upaya dalam menangani DBD di Indonesia.”

 

Kader Kesehatan menunjukkan ember berisi telur nyamuk ber-Wolbachia yang akan dititipkan di rumah warga. Foto: Dokumen WMP

***********

 

Liputan A. Asnawi ini mendapat fellowship dari Earth Journalism Network.

Exit mobile version