Mongabay.co.id

Menyoal Benih Jagung ‘Unggul’ di Madura, Begini Masukan Ahli

 

 

 

 

Moh. Jamil, enggan menanam benih jagung bantuan pemerintah. Ada desas-desus di masyarakat kalau benih jagung itu tidak tumbuh bagus dan merata, label ditempel ulang karena sudah kadaluarsa.

Tanggal akhir masa edar benih dalam label 13 Maret 2021, di balik bungkusnya tidak ada keterangan tanggal serupa.

Petani asal Desa Sera Tengah, Kecamatan Bluto, Sumenep ini memilih beli benih jagung lain. Dia tanam sekitar lima kilogram jagung, terdiri dari sembilan petak dengan berbagai ukuran.

“Ragu karena kadaluarsa dan terbukti milik tetangga tumbuh nggak merata. Daripada risiko, ya beli lagi di toko, ” katanya Desember lalu.

Masalah Jamil tak hanya soal benih juga kekurangan pupuk dan terserang hama tikus. Jatah pupuk dari kelompok tani kurang memadai.

“Ada tapi tidak mencukupi.”

Jagung Jamil perlu pupuk empat kwintal untuk tiga kali pemasangan. Dia dapat jatah 1.5 kwintal dan beli di luar kelompok tani 1.5 kwintal.

“Kurang sebenarnya, kurang satu kwintal, cuma ya di pas pas-in aja.”

Tibliyah, saudara Jamil, terlanjur menanam jagung bantuan pemerintah. Banyak benih jagung tak tumbuh merata hingga harus menanam kembali bagian-bagian lahan jagung yang tidak tumbuh (a tajuh, dalam bahasa Madura).

Dia tanam benih jagung hibrida tujuh kilogram, dan menghabiskan enam liter benih lagi untuk a tajuh.

Benih jagung bantuan itu dia terima awal bulan puasa oleh kelompok tani ke anggota, ditanam petani pada November, saat masuk musim tanam.

Setelah a tajuh, malah terserang hama tikus. “Pas mareh a tajuh, pas ekakan tikus (setelah selesai ditanam ulang, dimakan tikus),” katanya, awal Januari 2022.

Serangan tikus yang memakan jagung sejak masih berbentuk biji sampai sudah berumur satu bulan, batang pohon digigit sampai roboh.

 

Baca juga: Petani di Madura Tanam Jagung Lokal buat Ketahanan Pangan Keluarga

Benih jagung bantuan yang ditanam tidak tumbuh dengan baik. Moh. Tamimi/Mongabay Indonesia

 

Arif Frimanto, Kepala Dinas Pertanian, Holikultura, dan Perkebunan Sumenep, mengatakan, penempelan ulang tabel informasi di kemasan benih jagung itu memang dari perusahaan dan sesuai regulasi, bukan karena ada pihak-pihak yang sengaja memanipulasi.

Dia menunjukkan surat pernyataan jaminan label benih Betras dari perusahaan pada jurnalis Mongabay.

Dalam surat pernyataan itu dikatakan, ada label “benih unggul bersertifikat” yang ditempel pada kemasan Betras. Perusahaan menyatakan, label itu adalah benar label Betras, bukan label ulang.

Adapun kemasan label lama terdapat tulisan “bantuan benih Direktorat Jenderal Tanaman Pangan tahun 2020” karena memanfaatkan kemasan sisa 2020. Itu bukan benih label ulang dan diperjelas dengan informasi label kosong.

“Itu bukan kita beli, itu bantuan dari pusat,” katanya.

Arif bilang, pada awal pemberian bantuan sudah menginformasikan kepada kelompok tani bahwa mereka bisa mengembalikan kalau tak mau.

Dia benarkan, banyak petani khawatir soal label itu. Untuk memastikan kualitas, sudah uji coba daya tumbuh dan berhasil lebih 80%.

Soal pendistribusian pupuk, katanya, memang harus lewat kelompok tani. Kelompok tani membeli pupuk dari kios khusus yang ditentukan pemerintah.

Arif pun meminta petugas lapangan, mendatangi petani yang mengalami masalah benih jagung ini. Keesokan harinya, tiga penyuluh pertanian mengunjungi lokasi, antara lain, Dewo Ringgih, Koordinator Penyuluh Pertanian Bluto, Dinas Pertanian, Holikultura dan Perkebunan Sumenep.

Dalam kunjungan ke Desa Sera Tengah, itu, Ringgih menjelaskan kepada para ketua kelompok tani dan petani bahwa ketika sudah peroleh benih harus tanam langsung. Bila belum musim tanam, kelompok tani jangan mengajukan bantuan benih. Pengajuan benih, katanya, bila sudah mau tanam atau musim tanam supaya benih tidak rusak atau kadaluarsa.

Mengenai jatah pupuk bagi petani 1,5 kwintal pupuk urea perhektar pada 2021, pada 2022 adalah dua kwintal perhektar pupuk urea, dua kwintal pupuk NPK perhektar.

Ringgih bilang, petani lebih banyak menebus urea daripada pupuk jenis lain. Pada Januari-Februari 2022, kelompok tani akan diundang untuk pendataan ulang tentang kebutuhan pupuk agar di kemudian hari tak ada lagi komplain tentang kekurangan pupuk.

 

Petani saat masang pupuk ke tanaman jagungnya. Foto: Moh. Tamimi/Mongabay Indonesia

 

Benih lokal dan pertanian berkelanjutan

Hayu Dyah Patria, ahli teknologi pangan dan pendamping masyarakat dari lembaga Mantasa, bilang, semestinya petani diberi kebebasan memilih tanam benih yang mereka butuhkan. Pemerintah, katanya, tak perlu terlalu mengambil kontrol terhadap petani. Pemerintah cukup memastikan harga jual panen petani tak anjlok.

“Pemerintah terlalu mengontrol petani. Petani hanya jadi alat bagi pemerintah memenuhi angka-angka yang harus dicapai tanpa memikirkan bagaimana nasibnya, bagaimana pupuk, bagaimana benih, belum lagi air, kemudian obat-obatan dan segala macem yang makin tahun makin meningkat karena di mana-mana seperti itu,” katanya kepada Mongabay.

Kecenderungan pemerintah beralasan soal kerawanan pangan bila tidak menanam “benih unggul.” Jadi, perlu peningkatan produktivitas lahan, peningkatan hasil produksi tani, supaya swasembada pangan. Seakan-akan, katanya, keadaan kacau kalau petani tidak melakukan apa yang pemerintah perintahkan.

“Padahal, kalau kita lihat sejarahnya, pertanian di Indonesia itu lebih kepada pertanian subsisten ya. Keluarga itu bertanam untuk memenuhi kebutuhan keluarga itu sendiri. Setelah kebutuhan keluarga tercukupi, kebutuhan tetangga-tetangganya, baru kalau kemudian ada surplus, dijual.”

Sebagian besar petani lebih tertarik menanam “benih unggul jagung hibrida” daripada jagung lokal karena tongkol lebih besar, batang pohon lebih besar, dan hasil panen lebih banyak. Jagung jenis ini, katanya, harus langsung dijual usai panen karena tidak bisa bertahan lama. Benih lokal punya sifat sebaliknya.

Hayu mengatakan, benih hibrida menghasilkan lebih banyak panen tetapi modal juga lebih besar. “Ketika petani memutuskan menanam jagung hibrida maka paketan harus ikut juga seperti pupuk kimia, pestisida, herbisida. Belum lagi bila harga jatuh saat musim panen.”

Musim depan lagi, katanya, bakal butuh lebih banyak pupuk karena tanah sudah mulai jenuh dan hama mulai menyerang.

“Itu kayak lingkaran setan, kalau mau bicara tentang risiko sosial atau ekonomi, ya pasti lebih berisiko menanam jagung hibrida.”

Kalau jagung lokal, ditanam bukan orientasi pasar. “Ia ditanam untuk pemenuhan pangan keluarga,” kata Hironimus Pala, dari FIAN Indonesia, Januari lalu.

Persentase jagung lokal untuk kebutuhan pasar, katanya, relatif kecil daripada urusan sosial di kampung.

Penanaman “benih unggul” yang monokoltur juga akan mempengaruhi pola makan petani karena di area pinggir lahan tak ada tanaman pangan lain seperti umbi-umbian. Keberagaman hidang di meja makan pun, katanya, akan berubah, hanya satu jenis pangan.

“Kalau mereka tanam pangan kan sudah membantu negara toh. Tanpa sadar itu daripada negara harus impor banyak untuk bagi-bagi ke seluruh pelosok yang kemudian pagi nasi, siang nasi, malam nasi, makannya. Bukan aneka pangan.”

Pala sarankan, petani punya perencanaan lahan atau kebun dengan pola tanam berkelanjutan. Bila petani punya lahan luas, maka diupayakan bisa memenuhi kebutuhan jangka pendek, menengah dan panjang.

 

Tiga orang penyuluh pertanian Sumenep bertemu ketua kelompok tani membahas benih jagung bantuan pemerintah. Foto: Moh. Tamimi/Mongabay Indonesia

 

Jangka pendek, katanya, panen untuk kebutuhan konsumsi. Jangka menengah dengan menanam tanaman seperti kakao dan kopi, juga bisa memanfaatkan lahan sebagai kandang ternak.

“Petani bisa beternak kambing, sapi, atau babi. Kotoran bisa sebagai pupuk. sedangkan laba penjualan ternak dan tanaman bisa untuk memenuhi kebutuhan lain seperti biaya sekolah, kesehatan dan tabungan,” katanya.

Untuk jangka panjang, tanam pohon buat kebutuhan pembuatan rumah, bisa untuk anak-cucu kelak hingga tak perlu menebang di hutan atau beli.

“Tapi kemudian, saya harus akui, tekanan pasar jauh lebih kuat,” kata Ketua Badan Pengurus Yayasan Tananua Flores itu.

Pala bilang, tekanan pasar ini biasa terjadi di kebutuhan jangka menengah, misal, harga kakao dan kopi sedang naik, maka lahan akan ditanami kakao atau kopi. Lahan untuk tanaman pangan pun, katanya, makin sempit.

“Di masa pandemi, mereka yang tidak menanam tanaman pangan, tapi komoditi, jadi kelabakan. Mereka mau makan dari mana? Mereka yang mengembangkan tanaman pangan itu masih aman.”

Pala pernah menganalisis penghasilan petani kemiri di sebuah desa di Flores, Nusa Tenggara Timur. Dia menghitung hasil penjualan panen kemiri dalam satu tahun dengan harga terendah, menghasilkan Rp210 juta.

“Uang itu saya jadikan harga patokan, ternyata dari hasil pengecekan saya itu 60-70% uang itu habis untuk membeli pangan.”

Menurut dia, tanam tanaman komoditi adalah politik kapitalis global yang tak semua orang pahami, seperti distributor beras yang mendapatkan laba lebih banyak daripada petani.

Hayu pun bilang, sistem pangan di Indonesia sangat terkorporasi, terutama perusahaan multinasional yang menguasai benih, pupuk dan pestisida.

Sebenarnya, kata Hayu, kebutuhan makanan di Indonesia lebih dari cukup tanpa harus impor. Apalagi, dengan sistem tanam subsisten, rotasi jenis tanaman, masa pengistirahatan lahan yang memberikan kepada tanah bergenerasi. Berbeda dengan sistem monokultur dan peningkatan produktivitas tanah terus menerus.

 

 

******

Exit mobile version