Mongabay.co.id

Upaya Memulihkan Sungai-sungai di Banjarmasin

 

 

 

 

 

Anak-anak meloncat dari atas jembatan kayu dengan riang. Mereka menghempaskan tubuh ke sungai. Larut bersama ban yang dipegangnya, dengan penuh tawa dan senyuman. Pemandangan ini jadi keseharian di sungai-sungai di wilayah Pekapuran, Kelayan, Pekauman, di Banjarmasin, Kalimantan Selatan.

Dulu, sungai-sungai ini merupakan jalur lalu lintas warga Banjar sehari-hari. Kini, sungai mengalami pendangkalan hingga jauh dari aktivitas manusia. Dulu, masyarakat Banjar jadikan sungai sebagai denyut nadi kehidupan, sebelum permukiman berpindah ke daratan.

Berdasarkan aliran, Sungai Banjarmasin yang bermuara di tiga sungai induk, yaitu Sungai Barito, Martapura dan Kuin Alalak. Martapura sungai terpanjang, sekitar 25.066 meter dan lebar 211 meter. Barito, merupakan sungai terlebar, 725 meter dan panjang 11.500 meter. Kuin Alalak, lebar 50 meter dan panjang 425 meter.

Mengapa dijuluki kota seribu sungai? Sekitar 98.46 kilometer wilayah merupakan kepulauan terdiri dari sekitar 25 pulau kecil (delta), dipisahkan sungai-sungai antara lain Pulau Tatas, Kelayan, Rantauan Keliling, Insan, Kembang dan lain-lain.

 

Pulihkan sungai

Belakangan ini, pasca banjir yang menggenangi sepanjang Januari-Februari 2021, bahkan Desember lalu, Pemerintah Banjarmasin mulai menaruh perhatian. Pemerintah Banjarmasin mulai fokus pemulihan sungai-sungai di kota itu.

Doyo Pudjadi, Ketua Satgas Normalisasi Sungai, mendapat tugas membenahi sungai-sungai Banjarmasin yang sudah menyempit karena ada pembangunan rumah di bantaran sungai terutama yang menghalangi aliran air hingga tersumbat dan tak mengalir lagi.

Dia mengupayakan pembongkaran rumah atau bangunan di atas sungai demi mengatasi sungai yang menyempit. Hanya sebagian yang patuh.

Langkah itu, katanya, guna menormalisasikan sungai di Kota Banjarmasin yang kini mengalami pendangkalan. “Ketika dikeruk oleh eksavator, luar biasa air cepat sekali mengalir ke jembatan Kuripan,” katanya.

Pengerukan sungai dilakukan bersama. Tim Satgas Normalisasi Sungai juga dibantu RT, RW, kelurahan,camat, polda, polresta, kodim, koramil, pemerintah daerah maupun kejaksaan di Banjarmasin.

 

Akhmad Arifin, pegiat lingkungan yang getol dalam menyuarakan isu sungai di Kalsel. Foto: M Rahim Azra/ Mongabay Indonesia

 

Hizbul Wathony, Kepala Bidang Sungai Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Kota Banjarmasin, mengupayakan bersama tim mengeruk sungai untuk membuka arus kecil. Setidaknya sudah banyak sungai mendapat perawatan antara lain, Sungai Juragan Kusin, Tungku, Jagad Baya, Kidaung, Sutoyo hingga di sepanjangSsungai Ahmad Yani.

Pada 2011 di Banjarmasin, terdata 102 sungai, kini bertambah jadi 174 sungai. Dinas PUPR Banjarmasin, sungai terbagi dalam tiga kategori:, sungai besar lebar 50 meter, sungai lebar 15-50 meter dan sungai kecil, rata-rata lebar di bawah 15 meter.

“Penambahan sungai mayoritas berada di Banjarmasin Selatan sekitar 30%. Kami targetkan Desember 2019, sudah iterbit SK Penetapan Aset Sungai terbaru oleh Walikota Banjarmasin,” ucap Thony.

Ibnu Sina, Walikota Banjarmasin, mengatakan, ada pengerukan sungai pada 2019 hingga sungai bertambah. Upaya normalisasi terus dilakukan dengan target sampai 200 sungai. “Upaya pengerukan ini, adalah menormalisasi sungai yang ada. Kemudian, langkah penataan,” katanya.

Mengingat kota ini sebagai The River City, katanya, maka upaya menormalisasikan sungai terus dilakukan untuk menciptakan tata ruang yang baik.

Menurut dia, fokus mereka sekarang demi menata keberlangsungan Kota Banjarmasin pasca banjir.

“Ini sudah selesai untuk lelang, kenapa lelang? Karena kita baru menganggarkan di Banggar DPRD untuk penanggulan banjir kemarin,” katanya.

Karena keterbatasan sumber daya manusia, kata Ibnu, tidak semua sungai dapat dinormalisasi dan mereka lakukan secara bertahap. “SDM kita terbatas. APBD kita juga terbatas, jadi kita memprioritaskan pada sungai-sungai tertentu.”

Dia memprioritaskan normalisasi sungai di kawasan Jalan Veteran, Jalan Ahmad Yani, Jalan Sungai Lulut dan sekitar.

“Mudah-mudahan, kita dapat hidupkan kembali sungai-sungai Banjarmasin. Kemudian sebagai kota dengan sebutan seribu sungai, wajar memiliki sungai yang tertata dengan baik. Bukan hanya fungsi drainase atau pengendali banjir, tetapi sebagai sarana transportasi sungai.”

Akhmad Arifin, pegiat lingkungan yang getol dalam menyuarakan isu sungai ini bercerita, peradaban masyarakat Banjar itu di sungai, bahkan seluruh aktivitas dalam perdagangan harus lewat jukung (perahu). Begitu juga kehidupan lain, seperti mandi, cuci piring dan lain-lain.

“Perubahan itu kita sadari karena laju peningkatan mobilitas penduduk mempengaruhi pembangunan kota. Banyak komplek, dan bangunan berjejer di pinggiran sungai. Akhirnya ada penyempitan,” katanya kepada Mongabay, beberapa waktu lalu.

Tak henti dalam menyuarakan isu sungai, Arifin pun bergabung dalam organisasi Masyarakat Peduli Sungai (Melingai) Banjarmasin, sebagai Kepala Bidang Konservasi Sungai. Upaya itu, katanya, sudah berlangsung sejak 2015.

Bersama aktivis lingkungan lain, dia menyoroti isu degradasi daerah aliran sungai (DAS), pencemaran limbah sampah rumah tangga maupun pabrik, hingga isu jembatan, bangunan dan gedung (JBG) yang berdiri di atas sungai.

Arifin mengingat, kejayaan alur sungai sebagai denyut nadi kehidupan orang Banjar. Terlebih, dia pernah jadi pemandu wisata selama 14 tahun.

Dia mengenalkan banyak destinasi sungai kepada wisatawan lokal maupun mancanegara di Bumi Kayuh Baimbai ini.

Wisatawan perlahan berkurang sembari perkembangan zaman kian pesat. Kalau diingat, kata Arifin, Banjarmasin dulu masih asri dengan pohon rimbun, sungai-sungai yang mengaliri di sepanjang kota.

 

Sungai di Banjarmasin. Dulu sungai-sungai di kota ini punya banyak kegunaan, dari tempat perdagangan, lalu lintas sampai keperluan sehari-hari warga. Kini, kondisi sungai sudah menurun, terjadi pendangkalan di ana-mana. Foto: M Rahim Azra/ Mongabay Indonesia

 

 

Sungai di Banjarmasin

Potret kejayaan Banjarmasin dulu, kata Arifin, sebagai kawasan perdagangan, baik rempah-rempah maupun barang hasil hutan seperti galam, rotan, damar, kapur barus, karet dan lain-lain.

Jalur sungai, katanya, sebagai interaksi utama dalam menghubungkan kehidupan warga sekitar.

Di Jalan Ahmad Yani Kilometer 2, kata Arifin, tepatnya di depan Komplek Kebun Bunga itu sebagai pangkalan pedagang kayu galam dan Jukung Tiung kerap melintasi sebagai pengangkut barang.

“Jukung tiung memang berfungsi sebagai alat pengakut barang yang tidak bermesin, cuma menanjak gunakan sebilah bambu. Bayangkan, jukung tiung itu besar ukurannya dan pernah melintas di tengah kota yang saat ini orang lewati, Kini, sudah tidak bisa lagi,” kata pria kelahiran 1958 itu.

Rata-rata, ukuran jukung tiung panjang 17-23 meter dan lebar antara 4-5-6 meter. Kala itu, jukung tiung mampu membelah sungai-sungai kecil yang dulu jadi sentral perdagangan.

“Semoga warga kota sadar, sungai bukanlah tempat sampah. Mengotori sungai adalah perbuatan tercela dan dalam tubuh kita, berisi air berasal dari sungai itu sendiri.”

Mansyur, sejarawan FKIP Universitas Lambung Mangkurat, mengatakan, sungai dalam aspek historis mulai dilupakan masyarakat Banjar. Lewat kearifan lokal, sesuai visi-misi pembangunan Banjarmasin, untuk lebih kembali ke alam dan kembali sungai.

“Saat ini, jika berdasarkan pendataan Dinas PUPR jumlah sungai sebanyak 174 sungai. Data lain menyebutkan Banjarmasin punya 190 sungai. Yang tercatat aktif cuma 102 dan 70 belum bernama. Karena sebagian sungai sudah tertutup sampah dan permukiman,” katanya.

Sebagian besar sungai di Banjarmasin adalah sungai kecil atau kanal dengan rata-rata lebar di bawah 15 meter. Masa lalu, sungai-sungai kecil merupakan kanal-kanal yang dibangun untuk jalur transportasi dan pertanian. Jadi, Banjarmasin itu lebih tepat “Kota Seribu Kanal.”

Secara geografis, katanya, kota ini terletak di aliran Sungai Barito dan Martapura yang memiliki banyak sungai dan kanal (antasan, handil, tatah atau saka).

“Banyak sungai dan kanal yang melintasi bermuara ke Sungai Barito dan dipengaruhi pasang surut air laut Jawa. Dengan sendiri berpengaruh kepada drainase kota dan memberikan ciri khas tersendiri terhadap kehidupan masyarakat,” katanya.

 

Jembatan di pintu masuk ke kanal Kween (Kuin) di Bandjermasin Zuid-Borneo, tahun 1944. Foto: Tropen museum.

 

Awalnya, pemanfaatan sungai sebagai transportasi air, pariwisata, perikanan dan perdagangan. Seiring perkembangan orientasi dari sungai beralih ke darat.

“Rawa yang dahulu untuk perkebunan kelapa jadi tempat tinggal dengan posisi rumah tidak lagi menghadap ke sungai sebagai beranda atau halaman depan rumah.”

Padahal, kata Mansyur, eksotika permukiman tepian sungai lebih terlihat ketika menyusuri sungai dengan perahu atau kelotok, ketimbang melalui jalan darat.

“Eksotika itu tidak terlepas dari pola permukiman yang linier di sepanjang garis sungai dan kanal berupa kampung-kampung tepian sungai yang diantaranya berusia tua.”

Mansyur mengatakan, kehidupan manusia di Banjarmasin hampir 80% sampai ke pedalaman ditandai dengan suatu budaya khas, yaitu kebudayaan sungai. Terlebih, rumah penduduk yang dibuat di atas sungai dengan bahan-bahan dari batang terapung, disusun jadi seperti sebuah rakit. Dalam masyarakat Banjar dikenal dengan ‘rumah lanting.’

“Sedangkan, rumah penduduk yang dibangun di darat merupakan rumah panggung.”

Pada permulaan abad XX bentuk rumah panggung ini menunjukkan status sosial dan posisi geografis daerah Banjarmasin, yang terletak di pertemuan antara Sungai Barito dan Martapura. “Aliran itu memiliki percabangan sampai ke pedalaman (hinterland).”

Magister sejarah dari Universitas Diponegoro (Undip) Semarang ini mengatakan, sungai sebagai sarana transportasi menyebabkan orang Banjar pandai membuat berjenis-jenis perahu. Perahu besar adalah jenis jukung tiung.

“Jukung terbuat dari kayu ulin, sangat kuat dan bertahan lama. Orang Negara dan Bakumpai umumnya sangat ahli membuat perahu. Membuat perahu paling menguntungkan pada masa lalu, khususnya ketika sungai jadi primadona transportasi orang Banjar.”

Dahulu itu, kata Mansyur, orang kaya yang banyak memiliki perahu tiung dan perahu-perahu sewaan disebut sebagai saudagar. Ekspor kayu memberikan pemasukan besar bagi pendapatan Kota Banjarmasin.

Pada 1923, katanya, ekspor kayu dan hasil hutan sekitar 7 juta gulden. Setahun kemudian, nilai ekspor menurun jadi 5,5 juta gulden, terdiri dari 2 juta untuk getah, 2 juta untuk rotan, 1 juta untuk kayu dan 0,5 juta untuk damar.

“Pemerintah Belanda menerima pemasukan dalam bentuk pajak dan cukai ekspor, yang masuk ke kas negara.”

 

Sungai di Banjarmasin. Sungai di kota yang dikenal sebagai “Kota Seribu Sungai” ini kondisinya memprihatinkan. Pemerintah Banjarmasin mulai lakukan pemulihan sungai. Foto: M Rahim Azra/ Mongabay Indonesia

******

Foto utama:

Exit mobile version