Mongabay.co.id

Dominan PLTU dan Masih Mau Bangun Baru, Bagaimana Transisi Energi di Sumatera?

Kelompok mahasiswa Cipayung Plus [HMI dan IMM] dan mahasiswa Bengkulu berdemo menolak kehadiran PLTU Teluk Sepang. Foto: Cipayung Plus Bengkulu

 

 

 

 

Pada 2022, Indonesia memegang Presidensi G20       berkomitmen dan mengajak dunia menuju pembangunan berkelanjutan dengan salah satu topik utama transisi energi dari fosil ke energi terbarukan. Di Indonesia, sumber energi utama masih batubara. Desakan bergera beralih ke energi terbarukan ramah lingkungan dan beradilan mencuat. Di lapangan, Indonesia masih terus bangun pembangkit listrik batubara, salah satu di Pulau Sumatera.

Data Yayasan Srikandi Lestari, di Sumatera Utara, misal, ada dua pembangkit listrik tenaga uap batubara dalam proses pembangunan sesuai RUPTL 2020. Ia terletak di Kecamatan Pangkalan Susu, Kabupaten Langkat yaitu PLTU 5 dan 6. Sebelumnya di lokasi ini juga sudah beroperasi PLTU 1,2,3 dan PLTU 4 Pangkalan Susu dengan rincian unit 1-2 kapasitas 2x 400 MW, unit 3-4 kapasitas 2×400 MW.

“Sumatera Utara kaya energi terbarukan mulai dari surya solar panel, air dan lain-lain tetapi tetap bangun PLTU batubara,” kata Sumiati Surbakti, Direktur Yayasan Srikandi Lestari, baru-baru ini.

PLTU batubara, katanya, mencemari lingkungan dan meracuni hidup rakyat yang tinggal di ring 1.

“Entah apa pertimbangan pengurus negara ini menggunakan PLTU batubara di provinsi yang sama sekali tidak memiliki batubara, ”

Selain Sumut, data Sumatera Terang Untuk Energi Bersih (STUEB), wilayah lain di Sumatera juga masih terus bangun PLTU.

Catatan Trend Asia, pada 2021 pemerintah menetapkan produksi batubara terbesar sepanjang sejarah yaitu 623 juta ton. Di penghujung 2021, pemerintah juga menetapkan kalau pada 2022 target produksi batubara 637 juta-664 juta ton.

 

Baca juga: Target Karbon Netral, Indonesia Bakal Setop Bangun PLTU?

 

Olan Sahayu, Direktur Program dan Kampanye Energi Kanopi Hijau Indonesia juga jejaring STUEB mengatakan, pemerintah sepertinya sangat kecanduan membangun PLTU batubara di Sumatera.

Sampai saat ini, pemerintah masih tersandera oligarki atau pengusaha-pengusaha batubara, terbukti dengan peraturan-peraturan yang muncul kemudian komitmen yang tidak sejalan dengan transisi energi. Alih-alih transisi energi, bangun PLTU batubara kemudian pembukaan hutan untuk tambang batubara masih terjadi. “Bukan berkurang malah terus berlangsung hingga saat ini,” katanya.

Menurut dia, batubara merupakan kontributor penghancuran hutan untuk tambang. Di Sumatera, seperti Sumatera Selatan, Bengkulu lalu di Jambi, terlihat kehancuran dengan ada tambang batubara.

Bukan hanya hutan hilang, satwa endemik dan fungsi hutan seperti terjadi Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan. Daerah itu banjir terjadi dampak aktivitas tambang di daerah hulu bahkan sungai tercemar dan rusak parah.

Saat ini, di Sumatera beroperasi 33 PLTU batubara. Dari 33 PLTU yang sudah beroperasi ini, total kapasitas 3566,5 MW. Dalam tahap perencanaan berdasarkan RUPTL 2021 ada 4.000 MW dengan jumlah PLTU yang dirancang ada 14 di Pulau Sumatera.

Menurut Olan, dari kalkulasi itu bisa dihitung batubara untuk PLTU yang sudah beroperasi berkisar 17 jutaan ton pertahun. Untuk PLTU batubara dalam perencanaan itu nanti sekitar 19-an juta ton per tahun. “Inilah kalkulasi kebutuhan batubara untuk yang sudah berproduksi.

Kebutuhan ini, katanya, sangat besar. Kalau lihat dari komitmen transisi energi terbarukan yang adil dan lestari, berbanding terbalik dengan fakta di lapangan. Malah, katanya, tambang batubara dan PLTU terus berjalan bahkan terus dibangun.

“Itu sebabnya kenapa bisa dibilang pemerintah Indonesia masih kecanduan batubara. Aktivitas tambang dan pembakaran batubara sangat berdampak buruk bagi lingkungan ataupun manusia dan makhluk hidup lain, ” kata Olan.

 

Baca juga: Studi Ungkap Polutan PLTU Batubara Sebabkan Kematian Dini

Kawasan tambang batubara milik PT Jambi Prima Coal di Sorolangun. Foto: Feri Irawan

 

Orang-orang elit di Jakarta dan di kota-kota besar tidak pernah merasakan bagaimana dampak langsung yang dirasakan masyarakat yang tinggal sekitar tambang maupun pembangkitnya.

Mereka ada yang tersingkir, penderitaan terus dirasakan, mulai lahan terampas, ruang hidup, sampai kesehatan.

Sementara orang-orang di kota besar hanya menikmati listrik tanpa mengalami seperti masyarakat yang tinggal di sekitar.

Dia mencontohkan dampak langsung masyarakat di dekat PLTU Nagan Raya Aceh, bagaimana masyarakat kehilangan kampung.

Kemudian di Sumatera Utara, bagaimana tangkapan nelayan berkurang, karena laut tercemar limbah batubara. Belum lagi, anak-anak terpapar limbah cair batubara yang dibuang ke laut, mereka mengalami gatal-gatal sesak napas dan penyakit kulit lain.

Kemudian di Lampung dan di Sumatera Barat, sampai sekarang teknologi menangkap abu belum juga diperbaiki.

Di Padang, PLTU paling tua dibandingkan di Sumatera pakai teknologi kuno, banyak mengeluarkan abu beracun.

“Di Sumatera masih gunakan teknologi kuno. PLTU Teluk Sepang Bengkulu, contoh. Setelah dihitung abu batubara yang keluar 700 kilogram per hari. Bisa dibayangkan.”

Seharusnya, Indonesia sudah setop mengambil batubara dari perut bumi. “Setop mendirikan PLTU batubara. Harusnya Sumatera sudah transisi energi.”

Dia bilang, perlu ada kebijakan yang mengatur tak ada ada lagi pendirian PLTU batubara.

Grita Anindarini, Deputi Direktur Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) mengatakan, masalah niat baik jadi salah satu hal utama untuk bisa transisi energi, mulai dari regulasi cepat berubah alias inkonsisten.

Dia contohkan, aturan soal fly ash dan bottm ash keluar dari limbah berbahaya juga insentif besar bagi pengusaha batubara.

 

PLTU Pangka;an Susu di Sumatera Utara. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Kalau ingin konsisten dengan komitmen, katanya, pemerintah pusat harus mengevaluasi seluruh kebijakan. Pemerintah daerah juga mengevaluasi rencana, termasuk beberapa penyusunan peraturan daerah soal percepatan transisi energi.

Fossil Free Universitas Indonesia (UI) mendesak negara ini segera beralih ke energi terbarukan. Dalam penjelasannya melalui email mereka mendorong pemerintah segera meninggalkan energi fosil kotor seperti batubara.

Mochammad Rizqy Maulana, Community Relations Coordinator, Fossil Free UI mengatakan, kalau melihat data dari Climate.gov, suhu bumi meningkat sebesar 0.18˚C per dekade sejak 1981.

Bahkan pada 2020, permukaan bumi lebih hangat 0.98˚C dibandingkan rata-rata suhu di abad ke-21 sebesar 13.9˚C.

Kenaikan suhu bumi saat ini dibandingkan era pre-industrial sebesar 1.1˚C. Dengan asumsi, peningkatan suhu bumi sebesar 0.1˚C sudah cukup memengaruhi cuaca dan iklim, maka kenaikan suhu bumi perlu dikendalikan.

Setiap bencana yang timbul dampak perubahan iklim memengaruhi seluruh aspek kehidupan manusia, mulai ketahanan pangan, ekonomi, dan keamanan.

“Itulah sebab pentingnya kita menjaga suhu bumi dari penyebab krisis iklim, ” katanya.

Kebijakan energi nasional (KEN) yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 79/2014 menargetkan pemanfatan energi terbarukan setidaknya 23% dari bauran energi primer nasional pada 2025 dan mencapai 31% pada 2050.

Sayangnya, katanya, pengembangan energi terbarukan di Indonesia lambat karena disebabkan berbagai faktor, seperti kesenjangan kebijakan.

 

******

Foto utama: Kelompok mahasiswa Bengkulu  berdemo menolak kehadiran PLTU Teluk Sepang. Foto: Cipayung Plus Bengkulu

 

 

Exit mobile version