Mongabay.co.id

Menyoal Perpanjangan dan Cabut Izin Usaha Mineral dan Batubara

Tambang batubara di Kalimantan Timur yang menyisakan berbagai persoalan lingkungan. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

 

 

 

 

Awal tahun ini pemerintah mencabut 2.078 izin usaha pertambangan mineral dan batubara (minerba). Menurut Presiden Joko Widodo izin perusahaan minerba ini dicabut karena tak pernah menyampaikan rencana kerja.

“Izin yang sudah bertahun-tahun diberikan tetapi tidak dikerjakan. Ini menyebabkan tersanderanya pemanfaatan sumber daya alam untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat,” kata presiden, awal Januari lalu.

Rinciannya, 1776 perusahaan tambang mineral logam, bukan logam dan batuan seluas 2.236.259 hektar dan 302 perusahaan tambang batubara dengan luas 964.787 hektar.

Wilayah izin tambang ini tersebar di berbagai provinsi yakni Bengkulu, Jambi, Sumatera Selatan, Sumatera Barat, Kalimantan Barat, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Kepulauan Riau, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Gorontalo, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara.

Ridwan Djamaluddin, Dirjen Minerba Kementerian Sumber Daya Alam dan Mineral (KESDM), mengatakan, pemerintah akan menentukan kebijakan pemanfaatan potensi sumber daya minerba ini.

“Hingga dapat berdayaguna dan mencapai tujuan sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat,” katanya. Hingga kini, data detil soal izin-izin tambang mineral dan batubara yang dicabut ini belum terbuka.

Awal tahun ini pemerintah juga memperpanjang izin sebagian pemegang perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara (PKP2B) termasuk PT Kaltim Prima Coal (KPC) di Kalimantan Timur.

Baik pencabutan maupun perpanjangan izin ini jadi sorotan sejumlah lembaga sipil karena tak ada evaluasi penuh dan transparansi dalam prosesnya.

 

Baca juga: Presiden Cabut Izin Jutaan Hektar, Saatnya Kembali ke Rakyat dan Pulihkan Lingkungan

Ilustrasi. Beginilah kondisi hutan yang rusak karena tambang emas. Foto: Junaedi Hanafiah/ Mongabay Indonesia

 

Transparan dan buka data

Aryanto Nugroho , Koordinator Nasional Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, menilai pemerintah perlu menjelaskan lebih lanjut izin yang dikatakan dicabut sedianya sudah, sedang atau akan dicabut.

Pemerintah juga perlu membuka nama perusahaan yang dicabut berikut invetarisasi lahan untuk melihat apakah perusahaan meninggalkan lubang tambang atau pelanggaran lain.

Merujuk Minerba One Data Indonesia (MODI) pad Januari 2022, tercatat ada 5285 IUP, 4 IUPK, 31 kontrak karya dan 66 PKP2B.

“Apakah izin yang dicabut ini termasuk yang ada di MODI atau di luar yang ini?” katanya.

Terlepas apakah izin yang dicabut termasuk terdaftar di MODI atau tidak, katanya, tak hanya mencabut izin perusahaan yang tak punya rencana kerja, pemerintah perlu tegas memberi sanksi perusahaan yang tidak mematuhi kewajiban sesuai perundang-undangan.

Kalau tidak, katanya, bisa berdampak buruk salah satu seperti kegaduhan pemenuhan pasar dalam negeri (domestic market obligation/DMO) versus ekspor batubara bisa terus berulang setiap tahun.

Masih segar pelarangan ekspor batubara awal tahun ini–meski kemudian dibuka — karena perusahaan tak memenuhi kuota DMO.

“PLN masih punya PLTU batubara. Bicara ketahanan energi produksi batubara harusnya memperkuat ketahanan energi. Yang terjadi aneh, pemilik tambang berlomba-lomba ekspor sedangkan ketahanan energi kita rapuh,” kata Ary.

Padahal dalam masa transisi energi, mestinya produksi batubara turun setiap tahun guna meningkatkan bauran energi terbarukan. Bukan menurun, pemerintah memberi jalan perusahaan untuk berlomba-lomba meninggikan produksi batubara dan ekspor.

Rancangan Umum Energi Nasional (RUEN) telah menetapkan produksi batubara per tahun tak lebih dari 400 juta ton. Sejak 2019-2021, produksi selalu di atas target bahkan sempat 600 juta ton. Sedang DMO tak pernah mencapai target 25%.

“Antara kebijakan di atas kertas dalam bentuk perpres tidak dilaksanakan di lapangan. Akibatnya kegaduhan berulang. Sudah sering terjadi negara seperti mengemis-ngemis ke perusahaan batubara agar mau mensuplai kebutuhan dalam negeri.”

Merujuk UU No 3/2020, kata Ary, pemerintah berhak menentukan harga komoditas dalam negeri berikut jumlah produksi. Selama ini, kalau perusahaan tak memenuhi kewajiban DMO tak pernah ada sanksi bagi perusahaan.

Jadi, katanya, wajar kalau saat harga batubara mahal, bahkan sampai US%140-160 per ton, sementara harga DMO hanya US%70 per ton, perusahaan memilih ekspor semua batubara dan tak mengindahkan kewajiban domestik.

 

Baca juga: Jangan jadikan Cabut Izin Akhur Penegakan Hukum Lingkungan

Tongkang batubara di sungai Mahakam di Samarinda, Kalimantan Timur. Foto : Kemal Jufri/Greenpeace.

Evaluasi menyeluruh

Melky Nahar, Manajer Kampanye jaringan Advokasi tambang Nasional juga menuntut evaluasi menyeluruh perusahaan minerba terutama terkait perusakan lingkungan, sebelum memberikan perpanjangan izin.

“Sebagian besar PKP2B yang selesai masa izin diberikan perpanjangan tanpa proses yang transparan. KPC, Adaro, Kideco, selama ini tak pernah ada penegakan hukum ketika ada pelanggaran, sejak tahapan tambang dan produksi. Banyak catatan kelam. Sayangnya, tak pernah ditindak hukum tegas,” kata Melky.

Evaluasi pemerintah sejauh ini, katanya, sebatas administrasi tanpa melihat pelanggaran perusahaan di lapangan.

KPC, misal, meski sudah habis izin akhir tahun lalu, namun tetap beroperasi sebelum perpanjangan keluar.

“Apa yang dievaluasi dan bagaimana evaluasi tak pernah dibuka ke publik terutama ke sekitar tambang. Tiba-tiba diperpanjang.”

Korporasi, katanya, dengan mudah mengendalikan kebijakan negara. “Pelanggaran dibiarkan, tak ada penegakan hukum, bisa tetap operasional sebelum perpanjangan.”

Pembiaran ini, katanya, tak lepas dari relasi ekonomi elit perusahaan dengan pejabat negara. KPC milik Aburizal Bakrie, salah satu elit Partai Golkar yang diketahui bagian dari pemerintah saat ini. Elit ini pula yang berperan melancarkan UU Minerba dan omnibus law yang lebih banyak berpihak pada industri ini.

Karena itu, tak heran kalau saat melakukan pelanggaran lingkungan, negara sulit menindak karena permainan elit politik.

Catatan Jatam dan Fraksi Rakyat Indonesia Kutai Timur, sejak beroperasi 39 tahun lalu, KPC menimbulkan banyak dampak lingkungan dan sosial.

Desa-desa di sekitar konsesi seperti tujuh desa di Kecamatan Bengalon, Rantau Pulung, setiap tahun terjadi banjir dan pencemaran sungai yang berdampak pada ribuan warga.

Di Tebangan Lembak dan Keraitan bahkan desa berada di atas tanah konsesi. Masyarakat, umumnya Suku Dayak Basap, relokasi ke sebuah pemukiman baru, KPC Segading Resettlement.

Menurut Erwien F Syuhada dari Fraksi Rakyat Indonesia Kutai Timur, relokasi ini tak membawa kesejahteraan bagi masyarakat karena lahan terbatas. Masyarakat Adat Dayak Basap juga kehilangan tradisi leluhur seperti berkebun dan berburu.

“KPC punya visi, more than mining, untuk memenuhi kebutuhan elektrifikasi. Di sana listrik dan air sulit,” kata Erwien.

Masyarakat Dayak Basap, katanya, pernah memenangkan gugatan atas lahan pertanian mereka, namun KPC banding. Kini gugatan dalam proses kasasi. Selama 2012-2020, menurut FRI, ada 18 kasus antara KPC dan masyarakat sekitar.

Sebagai salah satu perusahaan tambang besar di Indonesia, kehadiran KPC mestinya berdampak signifikan bagi perekonomian daerah. Data statisik Kutai Timur, sejak 2016-2020, laju pertumbuhan ekonomi selalu di bawah 10%. Bahkan sempat minus 3% pada 2016 dan 2020.

“Padahal produksi KPC selalu meningkat,” katanya.

Tahun 2019, produksi meningkat 60,78 juta ton. Ironisnya, kemiskinan di Kutai Timur terus bertambah.

Mengutip data Pemkab Kutai Timur, pada 2016-2021, angka kemiskinan bertambah dari 8.000 jiwa jadi 35.000 jiwa.

“Pada tahun terakhir izin KPC, kemiskinan bertambah 1.000 jiwa menjadi 36.000.”

Dengan kata lain, kata Erwien, kehadiran industri tambang tak membawa dampak baik ke masyarakat.

Pernyataan Bupati Kutai Timur, Ardiansyah, bahwa perpanjangan izin KPC penting untuk pendapatan daerah, tidaklah tepat. Data Pemerintah Kutai Timur menunjukkan, 31% masyarakat Kutai Timur adalah petani. Hanya 10% masyarakat bergantung pada tambang. Sisanya, hidup dari usaha mikro lain.

Haris Retno, akademisi Universitas Mulawarman sepakat proses evaluasi izin harus dibuka ke publik. Dari perspektif hukum, katanya, regulasi pertambangan saat ini kembali pada masa sebelum reformasi.

“Represif. Karena terlihat bagaimana pemberlakuan hukum semata-mata menjamin keberlansungan eksploitasi pertambangan semata,” katanya. Sedang persoalan di pertambangan tak jadi pertimbangan.

Hal lain yang menunjukkan sifat represif hukum pertambangan saat ini, katanya, dengan lemahnya penegakan hukun saat berhadapan dengan modal dan hanya tegas saat berhadapan dengan rakyat.

Keadaan ini terlihat saat pembentukan UU No 2/2020 tentang Mineral dan Batubara yang disahkan tanpa partisipasi masyarakat.

 

Tambang batubara di Kalimantan Timur yang menyisakan berbagai persoalan lingkungan. Awal tahun ini ada perizinan tambang batubara yang memasuki masa perpanjangan. Pemerintah didesak lakukan evaluasi menyeluruh sebelum berikan izin perpanjangan Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Exit mobile version